Friday, March 25, 2016

Bukek Kang Singkang (Goresan di Sehelai Daun) 02

Setelah matanya terbiasa dengan sedikit pantulan cahaya dari luar, Tan Leng Ko dapat melihat goa itu ternyata tidak begitu dalam. Tidak ada yang luar biasa dengan kondisi goa itu selain lembab, baunya juga tidak sedap. Diam diam ia tertawa geli mengingat bau busuk di gang sempit toko buku Gu-Suko. Tempat bersemayam locianpwee sakti itu nampaknya tidak jauh dari bau tidak sedap. Entah itu suatu kebetulan atau suatu kegemaran?Tiba tiba terdengar jeritan kaget Giok Si. Bagaikan kilat tubuh Tan Leng Ko melesat menuju ke arah jeritannya. Mata Tan Leng Ko membelalak kaget melihat seekor ular bersisik putih, kontras sekali dengan bola matanya yangmerah, melingkar tidak jauh dari tubuh Giok Si yang menggeletak di tanah.Melihat kedatangan Tan Leng Ko, ular itu mendongakkan kepalanya memandang curiga. Terdengar suara desis diiringi uap putih yang keluar dari mulut ular itu. Setengah badannya berdiri tegak, lidahnya keluar masukdari rongga mulut yang berwarna hitam. Lidah yang bercabang hitam dan putih!Tan Leng Ko pernah melihat ular sejenis ini, sejenis ular yang ujung ekornyapipih melebar walau ekor ular ini tersembunyi, tertutup daun daun bambu kering. Hanya ada satu hal yang dirasanya tidak beres, setahunya ular Hek Pek Coa merupakan jenis langka yang rasanya jarang diketemui berkeliaran di alam. Apakah ular ini terlepas dari rantainya? Apakah telah terjadi sesuatu di toko buku itu? Rasanya tidak mungkin dengan kesaktian locianpwee itu…Atau sinaga sakti itu dengan sengaja melepaskan Hek Pek Coa kembali ke habitatnya di alam dan kebetulan telah melepaskan ular itu di sekitar goa ini yang jarang dikujungi orang. Tan Leng Ko tertegun. Masakkan ucapannya yang ngawur kepada orang berkedok hitam itu ternyata sekarang menjadi kenyataan?Tan Leng Ko tidak dapat berpikir lama lama lagi, cepat ia mencabut goloknya siap membunuh ular itu.“Jangan kau bunuh dia” seru Giok Si dengan nada lemah sambil menggeliat kesakitan. Badannya dibagian sebelah kiri mengeluarkan asap tipis seperti terbakar sedangkan separuh tubuh lainnya seperti dibungkus lapisan es yang tebal.Hati Tan leng Ko tenggelam melihat dua titik darah di punggung tangan kiri Giok Si yang masih terbalut. Lekas ia menggebah ular beracun itu yang menyelinap kabur, nampak ekornya yang mirip sirip ekor ikan menghilang disela sela semak belukar.Dengan nada kuatir Tan Leng Ko memaksa Giok Si untuk bersila.“Satukan hawa racun itu ke urat nadi Khi Hay, kemudian alirkan perlahan keHwee Tie” perintah Tan Leng Ko kedua tangannya ia tempelkan ke punggung wanita itu menyalurkan tenaga sinkang.“ilmuu… itu…locianpweeee…Hek-Im…” igau Giok Si lemah.Tan Leng Ko teringat dirinya yang juga melantur tidak keruan ketika terkenaracun Hek Pek Coa. Lekas ia bertukas:“Benar, ilmu locianpwee itu khusus untuk menawarkan racun ini. Sekarang kau harus mampu berkonsentrasi untuk mengikuti petunjukku”Dengan susah payah Tan Leng Ko membantu mengalirkan hawa liar itu ke tiga puluh enam nadi penting di tubuh Giok Si. Hampir ia tidak dapat menguasai gelombang hawa panas dingin yang menerjang seperti hempasan badai mengamuk, untung sinkangnya sudah mendapat banyak kemajuan. Perlahan ia mmeberi petunjuk letak nadi yang diperlukan untuk menyalurkan racun tersebut.Secara teratur ia mengalirkan hawa saktinya yang mengalir halus tapi kuat membimbing dan menguasai hawa liar itu. Sering kali Giok Si mengerang kesakitan, bibirnya kering pecah-pecah, kulit wajah kirinya yang halus mengelupas kepanasan. Beberapa kali erangan Entah sudah berapa ratusan kali hawa gabungan itu mengitari tubuh Giok Si. Tan Leng Ko baru menarik tangannya yang bergemetaran, mukanya juga pucat. Tidak sedikit tenaga saktinya yang berhamburan berlebihan. namun ia dapat menarik napas lega ketika mendengar suara dengkur Giok Si yang tertidur!baru ia sadari hari telah menjelang malam. Tan Leng Ko membopong Giok Si pulang dengan diterangi bintang bintang yang banyak bertaburan di langit.oooooOOOOOoooooSudah beberapa hari lamanya Mo Tian Siansu dan Khu Han Beng menempuh perjalanan. Mo Tian Siansu beranggapan daya tubuh Khu Han Beng tidak sekuat dirinya, maka boleh dibilang perjalanan mereka tidak cepat. Hari menjelang sore, pada saat mereka memasuki sebuah dusun kecil. Dahi Mo Tian Siansu berkerenyit ketika ia mendapati semua warung makan tutup, tidak ada yang buka. Selain itu juga ia rasakan kesunyian yang luar biasa, seperti mendadak dusun kecil ini ditinggalkan oleh penghuninya. Setelah kuda mereka menikung ke kanan, di deretan ketiga sebelah kanan, mereka melihat seorang nenek tua yang duduk di kursi goyang di depan rumah gubuknya. Menurut keterangan nenek tua tersebut, hari ini sedang diadakan perlombaaan kayuh perahu yang dihiasi sedemikian rupa hingga berbentuk seekor naga. Perlombaan itu diadakan untuk menghormati Sian Liong Kang, dewa naga penunggu sungai yang dipercayai sebagai pemberi berkah sekaligus pemberi petaka bagi penduduk yang tinggal di bentaran. Perayaan yang dilakukan setiap setahun sekali oleh penduduk setempat, tentu saja mengundang banyak pengunjung. Tidak heran dusun ini terasa sepi sekali.Khu Han Beng menatap lekat-lekat, seperti tertarik terhadap nenek tua tersebut. Cukup lama percakapan antara nenek tua itu dengan Mo Tian Siansu, tapi tidak sekalipun bocah itu melihat nenek tua itu berkedip. Mata nenek tua itu juga nampak janggal. Selain bewarna kelabu keputihan, juga terlihat mati, tidak mengandung suatu perasaan. Sangat bertolak belakang dengan nada suaranya yang ramah.“Kenapa kau sendiri tidak ikut menyaksikan keramaian?” tanya Khu Han Beng tak tahan.Mendengar pertanyaan Khu Han Beng, muka Mo Tian Siansu berubah hebat, cepat ia meminta maaf pada nenek tua itu dan menegur murid keponakkannya.Nenek tua tersebut mengeluarkan suara tawa kecil seperti menemukan sesuatu hal yang lucu. Katanya kemudian:“Jika kau belum pernah melihat seorang buta, tentu belum pernah menyaksikan perayaan tersebut. Kenapa kau sendiri tidak ikut menyaksikan?”Seperti menyadari akan satu hal, muka Khu Han Beng sedikit memerah. Dengan kikuk ia bertanya:“Apakah suara keramaian yang lapat lapat terdengar dari kejauhan itu?”“Yaa, memang suara itu”Tiba-tiba nenek tua itu mengisyaratkan Khu Han Beng agar mendekat. Mo Tian Siansu mengerenyitkan alisnya. Ia tidak begitu mengerti kenapa nenektua tersebut perlu berbisik kepada murid keponakannya. Ia juga tidak mengerti suara keramaian apa yang mereka maksud sebab ia tidak mendengar suara apapun. Yang lebih ia tidak habis mengerti, ternyata setelah dibisiki wajah Khu Han Beng terlihat lebih bingung dari dirinya.Setelah pamitan, mereka menghela kuda, Khu Han Beng memimpin jalan menuju ke tepi sungai. Tak tahan Mo Tian Siansu bertanya:“Darimana kau tahu tempat perayaan itu?”Setelah termenung sejenak Khu Han Beng menjawab:“Bukankah nenek tua itu telah berbisik padaku”“Jika hanya arah petunjuk jalan, kau tentu tidak terlihat bingung seperti tadi” gumam Mo Tian Siansu.“Sebab ia juga berkata satu hal yang aku tidak paham” ujar Khu Han Beng perlahan.“Soal apa?”
"Nenek itu mengatakan ia telah buta dari semenjak kecil dan selama ini dapat hidup berbahagia. Ia ingin aku tidak melupakan hal itu”Mau tidak mau Mo Tian Siansu ikut bingung, ia juga tidak mengerti maksudnenek tua tersebut.“Ia berniat baik. Paling tidak, itu sebuah nasehat yang baik sekali” akhirnya ia berkata pelan.oooooOOOOoooooTersungging sebuah senyum kecil di ujung bibir Mo Tian Siansu melihat kegembiraan Khu Han Beng ketika mata bocah itu berbinar binar menyaksikan keramaian. Namun kening bhiksu tua itu juga nampak berkerut, bagaimanapun juga seharusnya bocah yang dibesarkan di kota Lokyang yang termasuk kota besar tidak patut bereaksi seperti pertama kalimelihat keramian. Tidak salah ucapan piasu she-Tan itu yang pernah mengatakan bocah ini jarang keluar kamar.“Kegiatan perlombaan ini mirip dengan upacara kayuh perahu naga yang sering dilakukan di seluruh Tionggoan, rupanya baru pertama kali kau saksikan”“Yaa, memang pertama kali bagiku” jawab Khu Han Beng likat.Juga pengalaman pertama melihat nenek buta pikir Mo Tian Siansu tapi melihat bocah itu seperti malu, cepat ia mengajak Khu Han Beng berdiri di pinggir sungai yang becek dan berlumpur untuk menyaksikan perlombaan yang baru saja dimulai. Sekitar enam perahu besar yang berjajar memenuhi lebarnya sungai. Setiap perahu memuat sekitar dua puluh lima pasang pengayuh ditambah satu orang yang duduk dibelakang untuk mengemudi dan satu orang pemukul gendang yang duduk di bagian tengah.“Nampaknya pemukul gendang mempunyai kegunaan lain, selain untuk memberi semangat” ujar Khu Han Beng dengan nada bergairah.“Benar! dia malah dianggap jantung sekaligus pemimpinnya. Irama ketukkan gendangnya menentukan keseragaman kayuh yang menentukan lajunya kecepatan perahu” ujar Mo Tian Siansu menerangkan.Khu Han Beng mengangguk, kemudian katanya:“Kukira posisinya yang ditengah mempermudah pengayuh yang di depan maupun yang dibelakangnya untuk mendengar tabuhannya”“Yaa, karena ia harus memperhitungkan arah dan kecepatan angin, derasnya arus sungai, dan perubahan riak air yang menentukan laju perahuotomatis mempengaruhi irama tabuhannya yang kadang cepat, kadang perlahan”Selagi mereka asyik bercakap-cakap, nampak keenam perahu tersebut yang berjarak ketat satu sama lain sudah mendekati batas final. Tiba tiba terjadi satu kejadian yang diluar dugaan Khu Han Beng. Pengayuh pengayuh yang berada di perahu perahu yang tertinggal di belakang, beramai ramai menimpukki batu ke perahu yang berada di paling depan. Bahkan beberapa orang menggunakan galah bambu panjang untuk membalikkan perahu, malah ada yang menyerang pengayuh pengayuh di perahu calon pemenang.Suara riuh dan tepuk tangan penonton membingungkan Khu Han Beng yang menonton. Perkelahian di tengah sungai sudah melibatkan keenam perahu peserta. Mereka tidak hanya menyerang perahu calon pemenang, mereka juga menyerang satu dengan yang lain. Dalam sekejap saja, sudah tiga perahu yang terbalik, beberapa puluh orang yang terlempar keluar dari perahu berteriak ketakutan, tergulung arus sungai yang deras dan dingin. Anehnya, para penonton di bentaran sungai seperti tidak berminat menolong mereka, malah melempari mereka yang tenggelam dengan kueh lemper yang dibungkus daun.Khu Han Beng melirik susioknya sekejap dengan pandangan bertanya. Mo Tian Siansu menghela napas, kemudian katanya:“Kau tentu heran, kenapa tidak ada yang menolong”“Kuheran kenapa susiok tidak menolong mereka” gumam Khu Han Beng mengakui. Semestinya, sudah sepatutnya seorang bhiksu saleh dari Siaulimsi membantu orang yang sedang kesusahan. Dengan muka sedih, Mo Tian Siansu menjawab:“Bukan aku tidak ingin, hanya aku tidak boleh menolong mereka”“Kenapa?” tanya Khu Han Beng heran.“Karena penduduk ditempat ini akan marah padaku jika kuturun tangan. Mereka beranggapan jika ada yang mati tenggelam maka hal ini sudah menjadi kehendak dewa naga yang memilih beberapa manusia sebagai tumbal”“Bukankah orang orang yang malang itu, keluarga mereka sendiri?” tanya Khu Han Beng terkesiap.“Benar! Tapi tradisi ini sudah berlangsung ribuan tahun lamanya. Tiada yang berani menolong walau kerabatnya sendiri. Tidak ada yang berani melanggar atau ikut campur melawan takdir yang sudah ditentukan”“Pernah kubaca di sebuah kitab, jika kita melakukan hal yang benar seperti menolong orang, bukankah dapat tidak usah memperdulikan pendapat orang lain”Mo Tian Siansu tersenyum mendengar uraian Khu Han Beng yang seperti bernada menyindir.“Ucapan bagus! Tapi ada satu hal yang patut kau ketahui. Kau harus dapat menghargai kepercayaan orang lain walau bertentangan dengan kepercayaanmu. Kau tidak boleh melanggar kepercayaan orang lain secarapaksa walau kau anggap kepercayaan mereka salah, bagaimanapun juga mereka mempunyai hak untuk salah”Tiba tiba terdengar suara jeritan dan makian penonton, Khu Han Beng dan Mo Tian Siansu mengalihkan pandangan ke tengah sungai yang entah darimana telah muncul sebuah kapal berukuran besar yang melaju cepat melawan arus sehingga menimbulkan ombak besar yang membalikkan sisa perahu perlombaan. Mo Tian Siansu mengeluarkan seruan tertahan, tubuhnya mendadak mengapung ke sebuah pohon gundul yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Tangannya mematahkan sebuah dahan kecil, dan ketika tubuhnya melayang turun jatuh ke sungai, kembali ia mematahkan potongan ranting kecil yang dengan cepat ia lemparkan ke permukaan air.Ujung kakinya cepat menotol potongan ranting tersebut sebagai pijakkan sehingga kembali tubuhnya mengudara sejauh dua tumbak, mengarah kepada korban yang berjarak masih puluhan tombak dari dirinya, mereka berkutet dipermainkan arus sungai. Baru dua tiga kali lompat, Mo Tian Siansu menghentikan lompatannya. Tubuhnya terapung diatas ranting kecil, naik turun mengikuti riak air. Mulutnya menyeringai kesakitan, ia belum sehat benar dan telah memaksakan diri mengerahkan tenaga sakti yang ia rasakan menyusut banyak.Tiba tiba matanya membelalak lebar ketika ia menyaksikan lima bayangan tubuh yang berkelebat cepat dari kapal laut itu menuju para korban. Seperti pemain akrobatik, dengan manis kaki mereka menutul dayung dayung pengayuh yang terlempar terapung. Ketika tubuh mereka berjungkir balik, tangan mereka meraih dayung tersebut yang kemudian digunakan untuk memukul permukaan air, dan menggunakan daya tolak pukulan untuk memantulkan tubuh mereka beberapa tombak mendekati para korban.Tiga orang dari mereka, menggunakan dayung tersebut untuk mencungkil di ujung ujung, dan di bagian tengah perahu yang terbalik. Daya cungkil yang luarbiasa kuatnya mengangkat perahu panjang tersebut sekitar tiga kaki di udara, menumpahkan air yang memasukki perahu dan mendarat dengan posisi tepat seperti dibalikkan oleh tangan. Ketika perahu tersebut masih menumpahkan air, tubuh tiga orang tersebut sudah bergerak menujuperahu lain yang masih terbalik dan dengan gerakkan kilat mereka mengulang hal yang sama.Sedangkan dua orang lain menggunakan dayung yang mereka pegang untuk mengungkit korban yang tenggelam, yang kemudian melayang persiske perahu yang sudah tidak terbalik. Kecekatan mereka bekerja, ketepatan waktu dan keserasian kerja sama mereka belum lagi penggunaan tenaga yang pas benar benar merupakan suatu pertunjukkan kemampuan yang luar biasa. Mau tidak mau timbul kekaguman dihati Mo Tian Siansu, ia paham pekerjaan itu walau kelihatan mudah sebetulnya suatu perbuatan yang sukar sekali.Ketika perahu tersebut sudah dalam keadaan terapung kembali, arus sungai telah merubah posisinya, toh mereka dapat memperhitungkannya dengan tepat, ungkitan para korban melayang ke perahu tersebut, mendaratdengan perlahan dan tidak ada satupun yang meleset. Dalam sekejap puluhan korban telah berhasil mereka selamatkan, tubuh lima orang itu menggunakan cara yang sama kembali melayang ke kapal berukuran besartersebut. Mo Tian Siansu menghela napas, sambil menahan sakitnya ia mengerahkan ginkangnya, dibantu dengan potongan ranting kecil melayang turun di sebelah Khu Han Beng yang memandangnya dengan pandangan bertanya.“Omitohud! Pinceng tidak tahu siapa mereka, hanya ginkang mereka sudah mencapai tingkatan tertinggi, tataran ‘lari diatas rumput'” Ujar Mo Tian Siansu dengan nada kagum.Satu orang saja yang mencapai tingkatan itu sudah sukar dicari. Dari kapaltersebut malah muncul lima orang, entah dari golongan mana mereka? Matanya menatap kapal tersebut yang melaju cepat walau melawan arus melewati mereka. Posisi kapal tersebut jauh di tengah sungai sehingga Mo Tian Siansu tidak dapat melihat raut wajah mereka, hanya ia dapat melihat puluhan orang berdiri di ajungan kapal.“Yang kuherankan, kenapa susiok mendadak berubah pikiran hendak menolong mereka?”Sambil tersenyum Mo Tian Siansu menjawab:“Yang hendak kutolong adalah korban yang jatuh disebabkan kapal itu. Korban tersebut tidak berhubungan dengan adat istiadat, maka wajib bagi kita untuk menolong”Khu Han Beng termenung sejenak, kemudian mengangguk menerima pendapat susioknya. Sambil ikut tersenyum ia berkata:“Kukira mereka datang dari luar Tionggoan”“Kenapa kau menduga begitu?” “Susunan layar di tiga tiang kapal tersebut seperti gambar yang pernah kulihat disebuah buku, jelas menunjukkan sebuah kapal laut. Lagipula mereka menolong semua orang, nampaknya mereka tidak mengetahui adat istiadat di daratan Tionggoan”Mo Tian Siansu berseru kaget.Perhitungan Khu Han Beng bukan tidak mungkin, apakah mereka rombongan dari Lamhaybun? Ditinjau dari kemampuan lima orang tersebutbukan hal yang tidak mungkin pikirnya dalam hati dengan jantung berdebardebar.Ia menatap Khu Han Beng dengan kagum, ia benar benar tidak menyangka kecerdasan daya pikir bocah ini. Selain pintar, pengetahuan dari hasil baca bukunya juga luas. Yang dipandang, sedang memandang kapal laut tersebut dengan dahi berkerut.“Ternyata memang benar ada” gumam Khu Han Beng dengan nada tertahan.“Apanya yang ada?” tanya Mo Tian Siansu heran.Khu Han Beng menatap susioknya sejenak, kemudian katanya perlahan:“Kukira tadinya semua orang mempunyai mata berwarna malam, ternyata bukan sebuah dongeng mata seseorang mirip sehelai daun”Mo Tian Siansu mengangguk sekenanya, ia tidak begitu mengerti ujung pangkal ucapan bocah itu yang terdengar janggal. Matanya beralih memandang Kapal laut tersebut yang berlayar kian menjauh sehingga terlihat semakin mengecil.Yang Mo Tian Siansu dan Khu Han Beng tidak ketahui, ternyata di kapal laut itu pun terjadi sebuah percakapan.“Tidak rendah ginkang hweesio tua itu” ujar si kurus pendek berkepala botak, salah satu dari lima orang yang menolong para korban.“Ditilik dari pakaiannya tentu seorang tokoh Siaulimpay” terdengar suara merdu, berartikulasi menjawab. Sikurus pendek menatap siocianya yang masih berusia muda sekali, bertubuh tinggi semampai, berjari lentik, kulit tangannya putih halus kemerahan seperti memancarkan cahaya lembut. Sayang sebagian mukanya tertutup cadar, sebuah cadar yang berwarna hijau.“Pantas, dia berkemampuan hebat”“Yaa, memang lumayan” jawab gadis bercadar hijau itu tawar.“Yaa, dibandingkan siocia, tentu saja kepandaiannya tidak berarti” Sigadis bercadar hijau yang dipanggil siocia oleh si kurus pendek seperti menghela napas, kemudian mengatakan sesuatu yang terdengar janggal:“Justru bocah tanggung disampingnya itu yang mungkin harus diperhitungkan kemampuannya”“Maksudmu? Masakkan bocah itu memiliki kepandaian yang lebih hebat dari Hweesio Siaulimpay?” tanya si kurus pendek dengan nada heran.“Di pinggiran sungai becek dan basah, sepatu hweesio itupun nampak terciprat dan terendam lumpur justru sepatu bocah itu nampak masih bersih seperti baru disemir. Sepatunya tidak terendam becek melainkan ia dapat berdiri seenaknya di atas permukaan lumpur tanpa bergerak. Hanya ginkang yang sudah mencapai tataran ‘ringan tiada beban, lenggang tanpa rintang’ yang dapat melakukan hal itu. Suatu tingkatan yang lebih tinggi dari ‘lari diatas rumput’.”Setelah menarik napas panjang, ia melanjutkan dengan menggumam perlahan:“Benar benar diluar dugaanku, di Tionggoan ada yang sudah mencapai tataran ini, apalagi hanya seorang bocah. Sayang dia sedang menengok kesamping,aku tidak sempat melihat wajahnya”Si kurus pendek cukup kenal sifat Siocianya yang hampir tidak pernah memuji orang. Jika bocah itu sampai dipuji, hal itu saja sudah diluar dari kebiasaan. Tak terasa ia menatap dengan terkesima. Siocianya terlihat termenung, keningnya berkerut, matanya yang mencerminkan kecerdasan yang luar biasa, nampak mencorong tajam. Sepasang mata yang bergemelapan indah seperti embun di atas daun yang tertimpa cahaya matahari. Sepasang mata yang berwarna hijau… mirip sehelai daun segar.ooooo0000oooooMALAM HARI CAKRAWALA TIDAK CERAH.Langit gelap diselimuti oleh awan, tidak nampak sinar bulan atau cahaya bintang yang biasanya bertaburan. Di pinggiran sebuah tebing batu yang menjulang tinggi, Mo Tian Siansu yang tertidur dalam posisi bersila, perlahan membuka matanya. Ia terbangun bukan disebabkan dinginnya angin malam yang berhembus kencang, melainkan ia terjaga dikarenakan mendengar suara isakkan tertahan. Dengan tatapan penuh kasih ia menatap Khu Han Beng yang berbaring tidur di sebelah api unggun.Kebetulan wajah bocah itu menghadap ke arahnya, wajah yang biasanya mencerminkan keteguhan hati entah kenapa saat ini mengandung kesedihan hati. Mo Tian Siansu dapat melihat linangan air yang menetes dari mata bocah itu. Menyaksikan Khu Han Beng menangis di dalam tidurnya, rasa haru memenuhi rongga hati Mo Tian Siansu. Dalam beberapa hari mereka menempuh perjalanan, lebih dari satu kali Mo Tian Siansu mendengar Khu Han Beng mengigau dalam tidurnya. Kadang bocahini menyebut yayanya, acap kali ia menyebut ayah ibunya di dalam mimpi. Pernah ia mencoba bertanya apa gerangan yang diimpikan oleh Khu Han Beng tapi bocah itu hanya diam saja, enggan menjawab. Walau bergaul belum cukup lama, Mo Tian Siansu cukup mengetahui bocah ini tidak gemar berbicara, tetapi ketika berbicara juga tidak mirip bicara seorang bocah! Teringat oleh Mo Tian Siansu ketika bermalam di pinggir sungai tempo hari, bocah itu seperti terpekur menatap bulan yang saat itu berbentuk sabit sambil menyantap bekal makanan.“Apa yang sedang kau lamunkan?” tanya Mo Tian Siansu memecah keheningan.Khu Han Beng menatap susioknya sejenak, kemudian menjawab:“Aku sedang memikirkan satu hal yang kuanggap rada janggal”“Hal apa?”“Kadang bulan berbentuk purnama dan kadang berbentuk sabit seperti sekarang, kuheran apa yang menyebabnya berubah sedemikian rupa”Diam diam Mo Tian Siansu terhenyak heran. Dia yang jauh lebih tua, lebih sering melihat perubahan itu malah tidak pernah berpikir mengenai hal itu.“Omitohud! Pinceng tidak tahu apa penyebabnya tapi pinceng pikir, itulah kekuasaan Thian yang Maha Besar” jawab Mo Tian Siansu sedapatnya.Khu Han Beng mengangguk tak acuh, mendadak matanya seperti mengeluarkan kilatan cahaya aneh. Ujarnya perlahan: “Mungkin bentuk bulan itu tidak berubah, hanya terlihat berbentuk sabit karena ditutupi oleh bayangan bumi itu sendiri yang berbentuk bulat”“Darimana kau tahu bumi berbentuk bulat?” seru Mo Tian Siansu heran. Agak ragu Khu Han Beng menjawab: “Aku tidak tahu, hanya pernah kubaca sebuah kitab kuno yang menyatakan bumi seperti bagian telur yang kuning berbentuk bulat” “Omitohud! Permukaan bumi nan luas sekali, rasanya janggal sekali jika penulis kitab itu mengetahui bentuk bulat bumi seperti kuning telur”“Yaa, isi kitab itu memang rada aneh. Malah ada halaman lain yang menyebutkan cara membuat alat untuk mendeteksi gempa”“Apakah kitab itu ditulis oleh Zhang Heng?” tanya Mo Tian Siansu tertarik.Khu Han Beng mengangguk, “Apakah ia sangat terkenal?” katanya berbalik tanya.Tak terasa Mo Tian Siansu menarik napas dalam dalam, katanya:“Dia adalah penasehat andalan kaisar di jaman dinasti Han. Walau sekarang tidak banyak orang yang mengenal namanya, tapi tidak sedikit orang yang telah ia selamatkan dari bencana gempa melalui alat buatannya”Selesai berkata, Mo Tian Siansu menatap Khu Han Beng dengan tatapan kagum. Ia benar benar tidak menyangka bocah ini pernah membaca karya tulis Zhang Heng!“Darimana kau peroleh kitab langka itu?”“Kubeli dari sebuah toko buku” jawab Khu Han Beng singkat.Igauan Khu Han Beng yang menggumam tidak jelas, menyadarkan Mo TianSiansu dari renungannya. Tak terasa ia menarik napas dalam dalam sambil memerhatikan bulan yang telah menampakkan diri dan menerangi jagad raya dengan cahayanya yang lembut. Ia tahu dari posisi bulan yang miring, hari sudah menjelang subuh. Mo Tian Siansu merapatkan jubahnya,malam yang cerah di musim gugur, entah kenapa biasanya jauh lebih dingin dibanding malam yang berawan. Setelah menghela napas, kembali ia melirik ke wajah Khu Han Beng yang masih tertidur.Nampak air mata bocah itu sudah mengering, terlihat bola matanya yang bergerak gerak cepat dibalik kelopaknya. Hanya raut wajahnya tetap tidak berubah, tetap seperti mengandung kedukaan yang dalam. Memang ada segelincir orang yang mampu menyembunyikan perasaan batinnya sehingga tidak terlihat di wajahnya. Hampir mustahil bagi orang lain untuk mengetahui apakah ia sedang marah, gembira, atau sedang sedih.Semuda ini, Khu Han Beng sepertinya sudah mampu melakukan hal demikian. Hanya betapa pun hebatnya seseorang menguasai perubahan wajahnya, ekspresi wajah seseorang ketika sedang tidur tidak mungkin berbohong. Eskpresi wajah Khu Han Beng ketika sedang tidur dapat mencerminkan perasaan batin yang sebenarnya. Mo Tian Siansu yakin adasesuatu beban yang menekan dibatin bocah ini.“Entah apa yang disedihkan bocah ini” gumam Mo Tian Siansu dengan hatiterenyuh. Ia sangat menyukai Khu Han Beng, sayang tidak banyak yang ia dapat lakukan. Bocah itu selain jarang berbicara dan jika berbicara juga membicarakan hal yang umum hampir tidak pernah menceritakan perihal pribadinya.Entah kenapa, sedikitnya setiap kali ada kesempatan Mo Tian Siansu berusaha untuk menyenangkan Khu Han Beng. Ada perasaan kuat yang mendorongnya untuk melakukan hal itu. Semacam insting untuk melindungi, mungkin timbul dikarenakan tidak sepatutnya bocah semuda ini tidur dengan muka muram, bahkan napasnya semakin lama semakin memburu kencang. “Yaya!”jerit Khu Han Beng yang tiba tiba terjaga dari tidurnya.Terkejut Mo Tian Siansu melihat wajah Khu Han Beng yang pucat dihiasi butiran-butiran keringat sebesar jagung. Cepat ia menenangkan Khu Han Beng dengan suara halus.“Kau sedang bermimpi…Hanya sebuah mimpi buruk, tidak lebih”Khu Han Beng menatap susioknya dengan pandangan nanar. Jantungnya berdegup kencang, disela-sela napasnya yang terengah-engah, ia berkata dengan nada parau:“Aku…Aku bermimpi tentang yaya-ku”Hatinya tidak tenang, dia seperti mempunyai firasat ganjil. Jika terjadi sesuatu hal yang buruk menimpa kakeknya, bukan saja ia akan kehilangan satu satunya anggota keluarga yang ia miliki. Ia pun tidak akan pernah mengetahui asal usulnya. Apapun juga, ia harus segera menyusul yaya-nyake Po-Ting. Baru saja ia ingin mengutarakan niatnya, mendadak terdengar suara gemuruh yang pekak, tanah yang didudukinya bergetar keras. Khu Han Beng merasa tubuhnya terombang ambing seakan-akan sedang berada di atas sebuah perahu. Tanah yang di dudukinya berguncang hebat.Sebuah celah yang cukup lebar melata bergerak cepat merekah seperti ular membelah tanah di sebelah kirinya.“Awas!” teriak Mo Tian Siansu kuatir. Khu Han Beng merasakan angin dingin mendesir dari atas kepalanya, ia mendongakkan dengan mata membelalak. Dari pantulan api unggun terlihat batuan-batuan sebesar rangkulan tangan jatuh dengan cepat mengarah ke dirinya. Mo Tian Siansucepat mengumpulkan tenaga mengerahkan Siau Thian Sinkang, tiba-tiba iamengeluarkan seruan lirih. Betapa terkejut ketika ia menyadari aliran tenaga sinkangnya seperti tetesan air, tidak deras seperti biasanya. Ia tahu luka dalamnya yang belum sembuh benar mempengaruhi Sinkangnya. Ia telah merasakan Sinkangnya menyusut banyak ketika mencoba menolong nelayan yang tenggelam. Tapi kali ini, tenaganya seperti hilang, seperti tenggelam di lautan yang dalam. Sambil menggertak gigi, tidak hanya menggunakan tangan, Mo Tian Siansu menggunakan bahunya untuk mendorong bongkahan batu yang jaraknya tinggal satu kaki dari tubuh KhuHan Beng.“Buumm!”Gumpalan darah segar keluar dari mulut Mo Tian Siansu, tubuhnya terhuyung ke belakang. Usahanya menyelematkan Khu Han Beng berhasil, bongkahan batu itu bergeser menimpa tumpukkan api unggun, mengeluarkan dentuman suara keras dan memadamkan penerangan.Khu Han Beng melompat bangun, mendekati Mo Tian Siansu yang duduk terengah dengan tubuh gemetaran.“Seharusnya susiok tidak perlu melakukan hal itu. Aku dapat menyelamatkan diri” kata Khu Han Beng dengan nada menyesal.“Pin…ceng tidak mungkin membiarkan kau terluka” serak Mo Tian Siansu sambil tersenyum kemudian terkulai roboh.
Khu Han Beng tertegun, ia tidak begitu mengerti kenapa susioknya pingsan hanya karena memukul sebongkah batu. Setelah menyenderkan tubuh Mo Tian Siansu disebuah batu besar, ia melirik sekejap pada sekitarnya yang porak poranda seperti digaruk oleh tangan raksasa. Dengan ringan ia berloncatan diantara serakan bongkahan batu batu memasuki hutan yang tidak terlalu jauh. Ia perlu mencari kayu bakar untuk penerangan, mengganti bekas api unggun yang terpuruk. Baru beberapa ranting ia kumpulkan, pendengarannya yang tajam menangkap suara lirih desingan pedang yang ditarik dari sarungnya.Seseorang berkedok hitam menghunus sebilah pedang, menyerang dari atas pohon mengancam jantung Mo Tian Siansu. Dengan kecepatan luar biasa, Khu Han Beng mengerahkan ginkangnya secepat mungkin. Melihat seorang bocah yang entah muncul darimana tahu-tahu berdiri diantara Mo Tian Siansu dan pedangnya, orang berkedok hitam itu tidak menghentikan tusukkannya malah menambah kecepatan ayunan pedangnya sambil menjengek:“Biar kau ikut mampus sekalian”Khu Han Beng dengan tenang menatap ujung pedang lawan yang mengancam ke arah dadanya. Ketika ujung pedang tinggal sejengkal jari, tiba tiba dengan gerakkan yang mudah diikuti pandangan mata, jari telunjuk Khu Han Beng menjentik perlahan.Tiba-tiba seruan kaget keluar dari mulut si kedok hitam, berbareng matanya melotot terkejut bercampur ketakutan.“Ting…! Kraak…!”Bukan saja jentikkan jari bocah itu sangat tepat, bahkan mengandung daya dorong balik yang kuat luar biasa. Pedang orang berkedok hitam itu patah puluhan keping banyaknya dan mencelat kemana-mana, malah ada beberapa keping yang menancap di tubuhnya.Tangan kanannya patah terdorong balik secara paksa oleh arus tenaga balik yang sukar dilukiskan kekuatannya. Sisa gagang pedang ditangannya terlepas, menancap pada sebuah pohon. Mimpi pun orang kedok hitam itu tidak menyangka bakal menderita kekalahan dalam satu gebrakkan saja, kekalahan semacam ini benar-benar suatu kejadian yang aneh dan sama sekali diluar dugaannya,“Kau.,..kau seharusnya tidak menguasai ilmu silat?!” seru orang berkedok hitam itu dengan tercengang, takut bercampur kesakitan.Dia paham sekali walau pedangnya bukan pedang mustika tapi dibuat dari baja pilihan. Dia sendiri yang memimpin proses pembuatan pedang tersebut. Selain dia memakai tenaga pengrajin besi yang paling ahli, juga dia memerlukan 42,990 kati baja pilihan hanya untuk membuat sebilah pedang!Bisa dibayangkan betapa bingung dan ngeri perasaan hatinya melihat pedangnya patah berkeping-keping hanya disebabkan sebuah jentikkan jari. Jentikkan jari itu selain tidak cepat juga bukan ditujukan kepada batang pedang, melainkan tepat pada ujung pedang yang sedang menusuk melebihi kecepatan terbangnya seekor burung!Khu Han Beng tidak menjawab hanya menatap orang berkedok hitam itu dengan dingin. Dengan jeritan jeri orang berkedok hitam itu mengerahkan ginkang melarikan diri. Baru ia melompat beberapa tindak, ia menghentikangerakannya. Meremang bulu kuduk tubuhnya ketika melihat Khu Han Beng mendadak sudah berdiri enam langkah tepat di hadapannya. Cepat ia membalikan tubuh dan berlari sekuat tenaga, namun usahanya sia-sia, kembali ia melihat Khu Han Beng menghadangnya.“Apa yang hendak kau lakukan? Apakah kau hendak membunuhku…kenapakau hendak membunuhku?” tanya orang itu dengan suara gemetar ketakutan.“Bukankah kau tadi hendak membunuh orang?” tanya Khu Han Beng tiba tiba.“Be…benar! ““Bukankah tadi kau tidak menerangkan sebabnya” Orang berkedok hitam itu terdiam, sambil memegang tangannya yang patah meringis kesakitan.Dengan nada hambar Khu Han Beng melanjutkan:“Tidak seharusnya kau bertanya padaku”Orang berkedok hitam itu gelisah bukan main ketika Khu Han Beng mendekati dirinya. Ia paham sukar sekali untuk meloloskan diri, cepat ia berteriak:“Mo Tian Siansu keracunan! Aku tahu cara mengobatinya”Khu Han Beng menghentikan langkahnya, ia berpikir sejenak sebelum berkata:“Darimana kau tahu ia keracunan?”“Coba kau pikirkan. Tidak mungkin seorang bhiksu sakti dari Siaulimpay muntah darah, hanya gara gara memukul sebongkah batu. Ia terluka disebabkan tenaga saktinya telah menyusut hilang terkena racun”Rupanya orang berkedok hitam itu turut menyaksikan peristiwa tersebut. Khu Han Beng mendongakkan kepala, hanya tebing di atas yang cocok menjadi tempat persembunyian orang berkedok ini hingga lolos dari pengamatannya. Entah bagaimana cara orang ini lolos dari bencana gempa tadi.Setelah termenung beberapa saat. Katanya perlahan:“Sebagai imbalan kau ingin kubebaskan pergi”“Benar”Keringat dingin keluar dari tubuh orang berkedok hitam ketika melihat Khu Han Beng termenung tidak segera menjawab. Dengan nada gemetar ia bertanya:“Masakkan kau enggan menolongnya?”“Yaa, sebetulnya aku tidak terlalu ingin”“Kau…?” seru orang berkedok hitam itu dengan heran berbareng terkejut. Bocah ini berjalan bersama dengan bhiksu itu jelas mempunyai hubungan yang tidak biasa. Sungguh diluar dugaannya bocah semuda ini memiliki hati yang tega.“Jika ia tewas, urusanku tentu lebih mudah” gumam Khu Han Beng tak terasa. Ia bukan tidak mau menolong Mo Tin Siansu, hanya jika susioknya tewas ia akan dapat segera menyusul yaya-nya ke Po-Ting.Orang berkedok hitam itu paham, jika Mo Tian Siansu tewas, dilihat dari ketegaan bocah ini jangan harap dirinya bisa selamat.“Bukankah barusan ia telah menyelamatkan dirimu” bujuknya mengingatkan.“Aku dapat menyelamatkan diri. Sebetulnya, ia tidak perlu menolongku” sesal Khu Han Beng sambil menghela napas. Hal inilah yang menimbulkan pertentangan di batin Khu Han Beng. Jika ia menolong susioknya, tentu akan menyita waktu yang tidak sebentar. Lagipula perasaanya mengatakanmakin lama ia mengulur waktu, kakeknya lebih banyak celakanya daripada selamat. Jika ia pergi menyusul yaya-nya, Mo Tian Siansu tentu akan tewas. Urusan mana yang lebih penting? Urusan yang menyangkut hubungan darah, atau kewajiban menolong? Lama ia termenung. Urusan ini benar benar menyulitkannya untuk mengambil keputusan.Lama mereka terdiam. orang berkedok hitam itu menggunakan kesempatan untuk mengikat tangannya yang patah.“Baik! Kau boleh menyembuhkannya” akhirnya Khu Han Beng memutuskan.Badan orang berkedok hitam itu seperti mengendur lega. Beriringan merekakembali ke tempat Mo Tian Siansu bersender. Dengan agak ragu, orang berkedok hitam itu bertanya:“Darimana kutahu kau akan membiarkanku pergi setelah mengobatinya?”“Kau tidak tahu”“Kuingin kau bersumpah”Khu Han Beng seperti mengeluarkan suara tertawa tertahan, katanya:“Tak kusangka kau masih percaya dengan sumpah yang tiada harganya”“Kuingin kau bersumpah mengatas namakan ibumu” kata orang berkedok hitam itu sepatah demi sepatah.Mendadak raut wajah Khu Han Beng berubah hebat. Dengan dingin ia berkata:“Kau tidak perlu mengobatinya, dan tidak usah pergi. Sebaiknya kau mati saja”“Kau…kau… tidak perlu bersumpah, aku akan mengobatinya sekarang juga” tukas orang berkedok hitam itu dengan nada kuatir.Cukup lama Khu Han Beng memandang orang berkedok hitam itu dengan penuh selidik, sebelum akhirnya ia mengangguk perlahan. Diam diam orangberkedok hitam menarik napas lega, lekas ia mengeluarkan sebuah toples kecil dari saku dalamnya dan menuangkan satu butir pil berwarna merah yang langsung dijejalkan kemulut Mo Tian Siansu.Rona hitam di wajah Mo Tian Siansu perlahan menghilang walau masih terlihat pucat. Pernapasannya masih berat, setelah ditunggu sekian lama ia masih belum sadarkan diri.“Kenapa kondisinya masih belum membaik?”“Aku hanya mampu menawarkan racunnya. Untuk luka dalamnya yang parah, kau harus membawanya ke sepasang tabib di gunung Pek Hoa-san”Khu Han Beng menimbang ucapan orang berkedok hitam itu,kemudian katanya:“Buka kedok mukamu!”Orang berkedok hitam nampak enggan melakukan. Katanya:“Tiada yang istimewa di wajahku, kenapa kau ingin melihatnya?”Mendadak Tubuh Khu Han Beng berkelebat, dalam sekejap tangannya memegang kedok hitam dan toples kecil berisi obat anti racun. Orang itu ternyata seorang pemuda, berwajah tampan, berbibir tipis hanya sorot matanya yang terkesan licik nampak jelalatan ketakutan berbareng terkejut.“Aku tidak melihat sesuatu yang luar biasa di wajahmu, kenapa kau enggankulihat wajahmu?”“Dia tidak mengenal diriku” jerit pemuda itu dalam hati. Hatinya lega bukan main. Cepat ia menjawab:“Apakah kau benar benar tertarik ingin tahu urusan pribadiku?”Khu Han Beng termenung sejenak, kemudian katanya:“Semestinya aku bertanya padamu, kenapa kau ingin membunuhnya? Kenapa kau mengetahui ia terkena racun bukan luka disebabkan gempa? Tetapi saat ini aku memang tiada waktu untuk mengurusmu. Suatu waktu aku tentu akan mencarimu. Kau boleh meninggalkan tempat ini”Kembali pemuda itu menarik napas lega, tak tahan mulutnya menyungging senyuman:“Sampai mampus kau tidak bakal dapat mencariku” cemoohnya dalam hati.Seperti memahami arti senyuman pemuda itu, Khu Han Beng menukas perlahan:“Aku yakin dapat mencarimu”“Kau tidak kenal diriku, tidak tahu dimana aku tinggal, bagaimana kau dapat mencariku” tanya pemuda itu tidak tahan.“Sebab kau telah salah ucap”“Apa yang salah kuucapkan?”“Tidak semestinya kau mengatakan aku seharusnya tidak mengerti silat”“Maksudmu?”“Walau aku tidak mengenalmu, kuyakin kau mengenalku. Kau mengenalku tidak bisa silat makanya kau mengatakan kata ‘seharusnya’. Sedikit yang mengenalku tidak bisa silat, sedangkan aku jarang sekali keluar kamar. Ruang lingkup mencarimu sangat terbatas. Makanya kuyakin pasti dapat menemukanmu”Kembali sinar mata orang itu megeluarkan cahaya ketakutan.“aku tidak berbohong di Pek Hoa-san benar benar ada tabib itu…”“Yaa, kutahu kau mengatakan yang sebenarnya”Pemuda itu menatap Khu Han Beng sejenak. Dengan agak ragu ia bertanya:“Maukah kau kembalikan barangku?”Pemuda itu menangkap kedok hitam miliknya yang dilempar oleh Khu Han Beng.“Seingatku, toples kecil itu juga aku yang punya”“tentu kau salah ingat” kata Khu Han Beng lembut.Dengan jantung berdegup, pemuda itu berkata:“Yaa, kuyakin tentu terjatuh di tengah jalan, kumohon diri untuk mencarinya”Khu Han Beng memandang pemuda itu menghilang di telan kegelapan malam. Perlahan ia menoleh ke arah Mo Tian Siansu. Ia harus lekas membawa susioknya ke gunung Pek Hoa-san.Tiba-tiba ia tertegun, baru teringat olehnya dia tidak tahu lokasi gunung itu.Bagaimanapun juga ia kurang pengalaman, ia lupa bertanya pada pemuda itu. Dahinya berkerut, ia berpikir keras mencoba mengingat buku yang mengandung peta Tionggoan yang pernah dibacanya. Setelah mengira-ngira lokasinya sekarang, perasaannya mengatakan untuk menuju ke Pek Hoa-san ia harus menempuh arah ke Barat.Khu Han Beng memandang langit yang kembali mendung gelap tanpa cahaya bulan maupun bintang yang bisa menunjukkan arah. Ia mulai mengomeli dirinya, tadi ia benar-benar tidak memperhatikan arah terbenamnya matahari. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Menunggu hingga datangnya pagi baru menempuh perjalanan? Ditilik dari kondisi Mo Tian Siansu yang parah, Khu Han Beng menyadari ia tidak bolehmembuang waktu.Mendadak ia membungkukkan badan memunguti beberapa potong pecahan pedang. Kedua tangannya meremas, kemudian memilin seperti menggenggam nasi lunak yang baru saja matang. Sungguh mengagumkan,potongan potongan pedang yang terbuat dari baja terlebur menjadi satu. Berbentuk seperti sebuah sendok makan dimana bagian ujung atasnya meruncing. Khu Han Beng memilih sebuah batu ukuran segenggam tangan yang tidak terlalu besar.Kembali ia mengerahkan tenaga saktinya memapas dengan sisi tapak tangannya bagian atas permukaan batu hingga menjadi licin seperti telah dibilah oleh pedang tajam. Dari kantung makanannya, ia mengeluarkan sepotong daging kering dan mengeluarkan hawa yang-kang hingga lemak daging tersebut menetes dibagian licin permukaan batu. Dengan hati-hati ia meletakkan sendok baja itu diatas cairan lemak. Nampak sendok baja itu bergerak memutar perlahan kemudian berhenti. Khu Han Beng tersenyum senang, dari buku yang pernah dibacanya, ia paham ujung runcing yang melengkung dari sendok baja itu akan selalu menunjuk arah selatan.Lekas ia memasukkan batu dan potongan baja itu ke sakunya dan memanggul tubuh Mo Tian Siansu hendak diletakkannya diatas pelana kuda. Lagi lagi ia tertegun, kembali ia kecolongan. Kedua tunggangannya telah menggeletak mati dengan leher tertembus pedang, nampak sisi lehernya jebol beruaran, berlobang sebesar mangkuk. Nampaknya pemuda itu seorang pembunuh yang berpengalaman. Sebelum membunuh korbannya, telah lebih dahulu menutup jalan keluar calon korbannya. Mulut Khu Han Beng bersuit nyaring yang menggetarkan tebing sekitarnya. Ia telah mengerahkan hawa murni untuk mengitari tubuhnya belasan kali, kemudian dengan memikul Mo Tian Siansu, tubuhnya melesat secepat terbang, hilang ditelan kegelapan malam menuju arah barat.

16 comments:

  1. ijin membaca ya Ko,,seru sekali,,,lagian Filosofinya bisa bikin otak udang jadi otak Jenius,,,,tq. tq. tq.

    ReplyDelete
  2. Kemana mencari lanjutan ceritanya?

    ReplyDelete
  3. Seru tapi gak selesai ceritanya

    ReplyDelete
  4. Mana lanjutnya suhu kalau mesti beli di pustaka GK masalah yg penting harga terjangkau GK masalah suhu...

    ReplyDelete
  5. mana lanjutannya walau cerita hayal tapi seri

    ReplyDelete
  6. Apakah ada lanjutannya utk goresan di sehelai daun bab 2

    ReplyDelete