"Nanti dulu, Nona."
Swat Hong berhenti. "kau baik sekali, Saudara Ahmed. Aku berterima kasih kepadamu."
"Bukan itu. kau.... kau harus lukai aku dengan pedang itu. Kalau tidak, aku akan dihukum mati sebagai pengkhianat."
Barulah sadar Swat Hong betapa perwira ini telah menolongnya dengan taruhan nyawa sendiri.
"Kau
adalah seorang yang amat baik, bagaimana mungkin aku tega untuk
melukaimu? Kau sahabatku..... dan ternyata di segala bangsa, ada saja
manusianya yang jahat dan baik, tidak ada bedanya dengan bangsa lain.
Aku mengerti maksudmu, saudara Ahmed, nah, biar kurobohkan aku dengan
totokan!"
Swat
Hong bergerak cepat sekali, dan tahu-tahu dua jalan darah di tubuh
Ahmed telah di totoknya dan perwira itu terguling roboh dan tak mampu
bergerak karena kaki tangannya menjadi lumpuh, tubuhnya lemas tak mampu
bergerak. Swat Hong cepat menyambar botol dan sisa obat penawar,
memasukannya di dalam sakunya, kemudian dia menendang meja kursi sampai
terpelanting ke kanan kiri sehingga menimbulkan kesan seolah-olah di
kamar itu telah terjadi pertempuran, mencabut pedang dari pinggang Ahmed
dan melemparkan pedang di lantai, kemudian dia memegang tangan Ahmed
dan berkata, suaranya terharu, "Selamat tinggal!" Saudara Ahmed. Sekali
lagi terima kasih dan kita takkan bertemu kembali."
Hanya
dengan bibir dan pandang matanya saja Ahmed tersenyum penuh kagum,
mulutnya hanya dapat berkata," Kau..... setangkai bunga di padang
pasir........"
Swat
Hong melompat dan berlari ke luar. Dua orang pelayan wanita yang lari
mendatangi dia tendang terguling dan menjerit-jerit, kemudian dia terus
lari ke luar. Heran juga ketika dia melihat bahwa dugaannya tadi benar
ketika mendengar penuturan Ahmed tentang seorang pemuda bersenjata kipas
dan pedang. Kwee Lun telah datang dan mengamuk di luar pesanggrahan!
Gerakan pemuda itu hebat bukan main karena memang selama satu tahun dia
berlatih dengan tekun. Akan tetapi ternyata para pengeroyoknya juga
merupakan pasukan yang terlatih dan memiliki keistimewaan. Bukan hanya
senjata mereka yang aneh, yaitu pedang ular dan perisai kura-kura, akan
tetapi juga mereka itu membentuk barisan yang kokoh kuat, saling
membantu dan banyak menggunakan perisai untuk berlindung, kemudian
pedang ular itu meluncur dari depan perisai, persis gerakan seekor
kura-kura menyerang dan menyembunyikan kepala di dalam batoknya.
Menghadapi
kepungan yang ketat ini, Kwee Lun merasa kewalahan juga. Akan tetapi
dia mengamuk dengan penuh keberanian dan akhirnya dia dapat membobolkan
kepungan dengan jalan berloncatan ke sana-sini, kemudian mendadak dia
meloncat melewati kepala pengepung yang berada di belakangnya dan begitu
berada di luar kepungan dia berhasil merobohkan dua orang pengeroyok
dengan pedang dan kipasnya. Empat belas orang sisa pasukan itu sudah
mengepung lagi, akan tetapi mendadak terdengar lengking nyaring dan
robohlah empat orang diserang oleh Swat Hong dari luar kepungan.
"Nona Han....!"
"Kwee-toako, mari kita basmi mereka ini!" seru Swat Hong.
Kwee
Lun girang bukan main, tak pernah disangkanya bahwa dara yang hendak
dijadikan korban itu adalah Han Swat Hong. Dia merasa kecelik juga,
karena ternyata bahwa gadis yang akan ditolongnya itu berbalik malah
menolongnya!
"Kita lari saja, Nona. tidak perlu melawan tentara yang amat banyak!"
"Tidak aku harus bunuh dulu si keparat she Bouw....!"
Pada
saat itu terdengar suara hiruk pikuk dan berbondong-bondong datanglah
pasukan besar dipimpin oleh Bouw-ciangkun sendiri! Melihat
Bouw-ciangkun, Swat Hong menjadi marah sekali. Dari mulutnya terdengar
suara melengking nyaring dan tubuhnya melesat seperti terbang cepatnya,
pedangnya menyambar sebagai sinar kilat ke arah Bouw-ciangkun, panglima
ini terkejut, menggerakkan pedang menangkis. Terdengar suara berdencing
nyaring dan pedang di tangan panglima itu patah disusul robohnya
tubuhnya yang berkelojotan karena ternyata lehernya hampir putus
terbabat pedang di tangan Swat Hong!
"Nona,
jangan...." Kwee Lun lari mendekat dan mereka sudah dikepung oleh
ratusan orang perajurit yang menjadi bengong menyaksikan kematian
komandan mereka secara yang sama sekali tidak disangka-sangka itu. Semua
orang menduga bahwa tentu nona yang tadinya melamar sebagai
sukarelawati dan pemuda yang menjadi sukarelawan ini tentulah mata-mata
dari pihak pemberontak!
"Tangkap mata-mata!"
"Bunuh mereka!"
"Tahan
semua senjata....!!" Kwee Lun berteriak dan suaranya mengatasi semua
keributan itu, semua orang menahan senjata dan memandang kepada pemuda
itu dengan marah. Mau bicara apalagi mata-mata yang sudah membunuh
komandan mereka ini?
"Saudara-saudara
sekalian! Kami berdua bukan mata-mata pemberontak, sama sekali bukan!
Bahkan kami adalah musuh-musuh pemberontak. Kami berdua adalah
sungguh-sungguh hendak membantu gerakan Sri Baginda Kaisar untuk
menghalau pemberontak dari kota raja. Akan tetapi celakanya, Nona Han
Swat Hong yang beriktikad baik ini dicurangi oleh Bouw-ciangkun.
Sukarelawati yang gagah perkasa ini, yang akan dapat membantu banyak
sekali kepada Sri Baginda, oleh Bouw-ciangkun hendak dikorbankan sebagai
hadiah kepada panglima Arab, untuk diperkosa! Tentu saja kami melawan
kejahatan ini!"
"Tangkap......!"
"Bunuh.....! Dia telah membunuh Bouw-ciangkun......!"
"Jangan percaya hasutan mulut mata-mata pemberontak!"
Kini
tempat itu penuh dengan perajurit, tidak hanya ratusan, bahkan ribuan
banyaknya. Mereka sudah marah semua karena biarpun di antara mereka ada
yang dapat memaklumi kebenaran ucapan Kwee Lun, namun kenyataan
dibunuhnya Bouw-ciangkun tentu saja menggegerkan dan mengacaukan mereka.
Dengan senjata di tangan mereka sudah mengeroyok dua orang itu.
"Menyesal tidak berhasil, Nona."
"Tidak apa, Toako. Mati di sampingmu membesarkan hati."
"Benarkah?"
"Tentu saja, karena engkau seorang yang baik sekali, Kwee-toako."
"Kalau
begitu, marilah mati bersama!" Pemuda itu dengan wajah berseri sudah
siap dengan sepasang senjatanya, mereka saling membelakangi dan saling
melindungi.
Para
perajurit sudah berdesak-desakan hendak menyerbu. Tiba-tiba terdengar
suara yang halus dan tenang, namun penuh wibawa, "Harap Cu-wi sekalian
tidak menggerakkan senjata.......!"
Sungguh
ajaib sekali. Biarpun ada di antara mereka yang tidak mempedulikan
kata-kata ini dan hendak tetap menyerang, tiba-tiba saja merasa bahwa
tangan mereka tidak mampu bergerak! Terdengar seruan-seruan kaget dan
heran, dan kini semua mata memandang kepada seorang pemuda yang dengan
tenangnya berjalan memasuki kepungan itu, dengan membuka jalan di antara
para perajurit.
Juga
Kwee Lun dan Swat Hong mengeluarkan seruan tertahan. Mereka berdua pun
merasa betapa tangan mereka tidak dapat digerakkan! Otomatis mereka pun
menoleh dan melihat pula seorang pemuda yang memasuki kepungan itu
dengan sikap tenang sekali. Seorang pemuda yang berpakaian sederhana,
agak kurus, matanya memancarkan sinar yang luar biasa, pemuda yang
memandang kepada Swat Hong dengan senyum di bibir.
"Su....
Suhenggggg.....!" Tiba-tiba Swat Hong menjerit, pedangnya terlepas dari
pegangan dan sambil terisak dia lari menghampiri lalu menubruk pemuda
itu yang bukan lain adalah Kwa Sin Liong!
"Suheng..... aihhh, Suheng...... Ibuku....."
"Tenanglah,
Sumoi, tenanglah........" Suara Sin Liong mengandung wibawa yang luar
biasa sehingga Swat Hong yang dilanda kekagetan dan keharuan hebat
karena sama sekali tidak menyangka bahwa suhengnya masih hidup itu,
dapat menenangkan hatinya.
"Suheng..... betapa bahagia rasa hatiku! Suheng, jangan kau tinggalkan aku lagi....."
"Tidak, Sumoi. Tidak lagi."
"Aku
cinta padamu, Suheng! Aku cinta padamu!" Tanpa malu-malu Swat Hong
meneriakkan suara hatinya ini di tengah-tengah kepungan ratusan, bahkan
ribuan orang perajurit!
Kwee
Lun memandang semua itu dan dua titik air mata membasahi bulu matanya.
Dia merasa terharu, juga girang sekali, girang melihat kebahagian Swat
Hong dan sekaligus dia teringat kepada Soan Cu. Dia pun sudah dapat
bergerak, melangkah maju dan berkata, "Kwa-taihiap, sukur bahwa engkau
masih dalam keadaan selamat. Sungguh aku ikut merasa girang...."
Sin
Liong tersenyum kepadanya. "Kwee-toako, engkau seorang sahabat yang
baik. Simpanlah pedang dan kipasmu, tidak perlu melanjutkan pembunuhan
yang tidak ada gunanya ini."
Kwee
Lun menurut, akan tetapi matanya memandang ragu dan sambil menyarungkan
pedang dan menyimpan kipasnya, dia bertanya, "Akan tetapi.... mereka
itu....?"
Terdengar teriakan-teriakan dari para pengepung. "Tangkap mata-mata musuh!"
"Bunuh pemberontak!"
"Tangkap pembunuh Bouw-ciangkun!"
Ribuan
orang perajurit sudah bergerak lagi. Swat Hong memegang lengan
suhengnya dan Kwee Lun juga mendekati Sin Liong. Betapapun juga, gentar
dia menghadapi ribuan orang yang berteriak itu, apalagi dia tidak boleh
melawan. Ketenangan Sin Liong membuat dia mencari perlindungan dekat
pemuda ini.
Sin
Liong memegang lengan sumoinya dan terdengarlah suaranya penuh
kesabaran dan ketenangan yang wajar, "Cu-wi sekalian tahu bahwa mereka
berdua ini bukan mata-mata, dan Cu-wi tahu apa yang telah terjadi. Maka
harap Cu-wi perkenankan kami pergi, kemudian sebaiknya melaporkan kepada
Sri Baginda apa yang telah terjadi sehingga dapat diambil tindakan
tepat, demi ketertiban."
Suara ini demikian halus, akan tetapi mengatasi semua teriakan dan anehnya orang-orang itu tidak berteriak-teriak lagi.
"Kami
hendak pergi sekarang!" Sin Liong memegang lengan Swat Hong dengan
tangan kanannya, memegang lengan Kwee Lun dengan tangan kiri, lalu
menarik kedua orang itu keluar dari kepungan.
Swat
Hong dan Kwee Lun melangkah dengan bengong, merasa seperti dalam mimpi
saja karena ketika mereka melangkah pergi melalui ribuan orang pasukan
itu, tidak ada seorang pun di antara para perajurit yang mencoba untuk
menghalangi mereka, bahkan ajaibnya, tidak ada seorang pun yang
memandang mereka, seolah-olah para perajurit itu tidak melihat mereka!
Dan
memang begitulah. Para perajurit itu pun bengong ketika secara
tiba-tiba setelah pemuda tampan halus itu berpamit, tiga orang itu
tiba-tiba saja lenyap dari situ tanpa meninggalkan bekas! Setelah Sin
Liong dan dua orang temanya pergi jauh, barulah gempar di tempat itu dan
akhirnya Kaisar memperoleh laporan tentang semua peristiwa yang
terjadi. panglima Hussin dikirim pulang dan pimpinan pasukannya
diserahkan kepada Ahmed!
Sementara
itu, Sin Liong, Kwee Lun dan Swat Hong pergi meninggalkan Secuan.
Ketika mereka tiba jauh dari daerah itu, mereka berhenti dan Swat Hong
berkata, "Suheng, mengapa kita meninggalkan Secuan? Aku ingin sekali
menjadi sukarelawati, membantu Kaisar dan membasmi pemberontak yang
telah mengakibatkan kematian Ibu, kematian Soan Cu dan Ayahnya, bahkan
kematian kakek buyutku!"
"Benar
apa yang dikatakan Nona Swat Hong, Kwa-taihiap. Perjuangan menanti
tenaga kita. Marilah kita bertiga membantu kerajaan membasmi
pemberontak."
Sin
Liong menarik napas panjang, memegang tangan sumoinya dan diajak duduk
di atas rumput. Swat Hong duduk dekat suhengnya dan memandang wajah
suhengnya dengan penuh kagum dan kasih sayang.
"Kwee-toako,
benarkah engkau tertarik dengan perang, dengan saling bunuh membunuh
antara manusia, antara bangsa sendiri itu? Betapa mengerikan, Toako.
Menggunakan ilmu silat untuk membela yang lemah, untuk menentang yang
jahat masih dapat dimengerti dan masih mending. Akan tetapi
bunuh-membunuh hanya untuk membela sekelompok manusia lain saling
memperebutkan kemulian duniawi, sungguh patut disesalkan. Mereka itu
hanya ingin mempergunakan orang lain demi mencapai cita-cita sendiri.”
"Aih,
apa yang dikatakan Suheng memang tepat, Kwee-toako. Ingat saja
pengalamanku. Aku jauh-jauh datang untuk menjadi sukarelawati, membantu
mereka, akan tetapi belum apa-apa aku sudah akan dikorbankan demi untuk
menyenangkan hati panglima asing itu."
Swat
Hong berkata kemudian dia menceritakan pengalamannya kepada Sin Liong,
semenjak mereka berpisah dan dia ditolong oleh kakek buyutnya, sampai
dia berpisah dari Kwee Lun meninggalkan ibunya yang menghadapi maut.
"Aku
tidak berhasil mencari Swi Nio dan Toan Ki yang kutitipi pusaka-pusaka
Pulau Es. maka aku berniat membantu Kaisar sekaligus mencari mereka yang
kurasa melarikan diri membawa pusaka-pusaka itu untuk mereka sendiri.
Sungguh menggemaskan!"
"Jangan
tergesa-gesa berperasangka buruk terhadap orang lain, Sumoi. Kelak kita
memang harus mencari mereka dan meminta kembali pusaka-pusaka itu untuk
kita bawa kembali ke Pulau Es."
Kwee
Lun juga menceritakan riwayatnya semenjak dia berpisah dari Swat Hong.
Kemudian mereka minta agar Sin Liong suka menceritakan riwayatnya.
"Bagaimana
engkau yang menurut cerita Kakek buyut dilempar ke sumur ular dan
ditutup dengan reruntuhan guha, dapat menyelamatkan diri, Suheng? dan
selama ini engkau kemana saja?"
Sin
Liong tersenyum. "Aku memang nyaris tewas di sumur itu, akan tetapi
memang agaknya belum tiba saatnya aku mati, maka batu mustika hijau
kepunyaanmu ini telah menolongku, Sumoi." Sin Liong mengeluarkan mustika
hijau itu.
Swat Hong menerima batu itu dan menciumnya. "Terima kasih, kau telah menyelamatkan Suheng!" katanya girang.
Sin
Liong lalu menuturkan dengan singkat keadaannya selama dua tahun di
dalam sumur ular sampai dia berhasil keluar ketika sumur itu dibongkar
oleh Han Bu Ong dan orang-orang kerdil.
"Ahh,
Ibunya yang mencelakanmu, anaknya yang tanpa sengaja menolongmu!" Swat
Hong berseru heran. "lalu bagaimana kau bisa datang ke Secuan dan
menyelamatkan aku dan Kwee-toako?"
"Mula-mula
aku pergi ke kota raja dan mendengar betapa Ibumu, juga Soan Cu telah
tewas di sana, akan teteapi juga bahwa ibu tirimu The Kwat Lin juga
tewas pula. Karena aku menduga bahwa peristiwa itu tentu membuat engkau
dimusuhi oleh para pemberontak, maka aku yakin bahwa kau tentu membantu
Kaisar di Secuan, maka aku segera menyusul ke sini dan kebetulan sekali
melihat engkau dan Kwee-toako dikeryoyok para perajurit." Sin Liong
tidak memberitahukan bahwa sesungguhnya telah terjadi keajaiban pada
dirinya sehingga seolah-olah dia tahu bahwa sumoinya berada di Secuan.
Seolah-olah apa yang terjadi bukan merupakan rahasia lagi baginya!
Tiba-tiba
Kwee Lun bertanya nada suaranya hati-hati dan penuh sungkan,
"Kwa-taihiap, sejak dulu saya tahu bahwa Taihiap memiliki kepandaian
luar biasa. Akan tetapi..... tadi di sana seruan taihiap membuat ribuan
orang berhenti bergerak, bahkan aku pun..... tidak mampu bergerak.
Kemudian....... ketika kita pergi, terjadi keajaiban, seolah-olah mereka
itu sama sekali tidak melihat kita pergi....."
Sin Ling hanya tersenyum dan mengangkat pundak tanpa menjawab.
"Benar! Apa yang telah kau lakukan tadi, Suheng?" Swat Hong juga bertanya.
"Tidak
apa-apa, Sumoi. Engkau pun melihat sendiri. Kita pergi dari mereka, dan
karena tidak ada permusuhan atau kebencian di hatiku, tentu saja mereka
pun tidak melakukan apa-apa."
Swat
Hong memang sejak dahulu sudah tahu akan keanehan watak Suhengnya dan
kadang-kadang ucapan suhengnya tidak dimengerti sama sekali, maka
jawaban sederhana ini cukup baginya. Tidak demikian dengan Kwee Lun.
Pemuda ini menduga bahwa Pemuda Pulau Es itu bukanlah manusia biasa,
maka cepat dia berkata, "Kwa-taihaip, jika Taihiap berkenan, saya.......
saya mohon petunjuk......"
Sin
Liong menoleh, memandang. Mereka bertemu pandang dan Sin Liong
tersenyum lagi. "Kau sebaiknya pulang saja ke Pulau Kura-kura,
Kwee-toako. Dan mengingat engkau suka sekali akan ilmu silat dan aku
yakin bahwa engkau tidak akan menggunakan ilmu itu untuk berbuat jahat,
maka mungkin aku dapat menambahkan sedikit tingkat ilmumu itu. Harap kau
coba-coba mainkan pedang dan kipasmu itu sebaik mungkin."
Bukan
main girangnya hati Kwee Lun. Dia menjura dengan hormat sambil
mengucapkan terima kasih, kemudian dia mencabut pedang dan kipanya lalu
bermain silat di depan Sin Liong dan Swat Hong. Seperti kita ketahui,
dari kitab kuno Sin Liong memperoleh ilmu luar biasa, yaitu mengenal
semua inti ilmu silat dari gerakan pertama saja. Maka setelah Kwee Lun
mainkan jurus-jurus simpanan yang paling lihai dan menghentikan
permainan silatnya, Swat Hong bertepuk tangan memuji, sedangkan Sin
Liong berkata, "Ada kelemahan-kelemahan di dalam beberapa jurusmu,
Toako."
Pemuda
luar biasa ini lalu memberi petunjuk kepada Kwee Lun yang menjadi
terheran-heran, kagum dan girang sekali. Petunjuk-petunjuk itu merupakan
penyempurnaan dari semua ilmu silatnya. Dia menerima dan melatih
petunjuk-petunjuk ini dan demikianlah, sampai hampir sebulan lamanya,
tiga orang ini melakukan perjalanan ke timur dan disepanjang perjalanan,
Kwee Lun menerima petunjuk-petunjuk dari Sin Liong, bahkan Kwee Lun
menerima pelajaran latihan untuk menghimpun tenaga sinkang. Selama
sebulan itu, Kwee Lun memperoleh keyakinan bahwa pemuda Pulau Es ini
benar-benar bukan seorang manusia biasa. Tindak tanduknya, bicaranya,
pandang matanya, dan betapa pemuda itu dapat mengerti ilmu silatnya
lebih sempurna daripada dia sendiri! Maka ketika tiba saatnya berpisah,
dia tanpa ragu-ragu menjatuhkan diri berlutut di depan Sin Liong!
"Harap jangan berlebihan, Kwee-toako," kata Sin Liong.
"Wah, Toako. Apa-apaan ini?" Swat Hong juga mencela.
"Kwa-taihiap,
saya boleh dibilang adalah murid Taihiap. Dan Han-lihiap, agaknya belum
tentu selama hidupku akan dapat bertemu lagi dengan Ji-wi (Kalian).
Perkenankan saya, Kwee Lun, menghaturkan terima kasih dan selama hidup
saya tidak akan melupakan Ji-wi!"
"Hushhhh.....
sudahlah, Toako. Kita berpisah di sini. Engkau ke selatan dan kami akan
terus ke timur. Mari, Sumoi, kita lanjutkan perjalanan," kata Sin Liong
dengan suara tenang dan biasa saja, lalu mengajak sumoinya pergi dari
situ. Swat Hong beberapa kali menengok dan melihat Kwee Lun masih
berlutut dengan mata basah air mata! Dia pun terharu, akan tetapi tidak
lagi merasa sengsara seperti ketika dia berpisah dari Kwee Lun hampir
dua tahun yang lalu. Kini Sin Liong, suhengnya, pria yang dicintainya,
berada di sampingnya. Tidak ada lagi perkara apa pun di dunia ini yang
dapat menyusahkan hatinya lagi!
Sudah
terlalu lama kita meninggalkan Bu Swi Nio dan Lie Toan Ki, dua orang
muda yang dipercaya oleh Swat Hong untuk menyelamatkan pusaka-pusaka
Pulau Es. Benarkah dugaan Swat Hong bahwa mereka itu bertindak curang,
mengangkangi sendiri pusaka-pusaka yang secara kebetulan terjatuh
ketangan mereka itu? Sama sekali tidak demikian dan mari kita mengikuti
perjalanan mereka semenjak mereka meninggalkan kota raja.
Malam
hari itu, mereka berhasil lolos keluar dari kota raja dan semalam
suntuk terus melarikan diri ke barat. Pada keesokan harinya, dengan
tubuh lesu dan lelah, mereka sudah tiba jauh dari kota raja dan selagi
mereka hendak mengaso, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari
belakang. Mereka terkejut dan cepat menyelinap ke dalam semak-semak
untuk bersembunyi.
Akan
teteapi, empat orang yang menunggang kuda itu sudah melihat mereka dan
begitu tiba di tempat itu, mereka meloncat turun, mencabut senjata dan
seorang di antara mereka berseru, "Dua orang pengkhianat rendah,
keluarlah!"
Dari
tempat persembunyian mereka, Swi Nio dan Toan Ki mengenal empat orang
itu. Mereka adalah bekas-bekas teman mereka ketika masih membantu An Lu
Shan dahulu di masa "perjuangan". Karena mengenal mereka dan tahu bahwa
mereka itu adalah orang-orang kang-ouw yang dahulu juga membantu
pemberontakan karena sakit hati kepada kelaliman Kaisar, Swi Nio dan
Toan Ki meloncat keluar. Liem Toan Ki tersenyum memandang kepada kakek
berusia lima puluh tahun yang memimpin romongan empat orang itu. Kakek
ini bernama Thio Sek Bi, murid dari seorang tokoh kang-ouw kenamaan,
yaitu Thian-tok Bhong Sek Bin! adapun tiga orang yang lain adalah
orang-orang kang-ouw yang agaknya tunduk kepada Thio Sek Bi ini, namun
menurut pengetahuan Toan Ki, kepandaian mereka tidaklah perlu
dikhawatirkan. Hanya orang she Thio ini lihai.
"Thio-twako,
kita sama mengerti bahwa perjuangan kita hanya untuk menghalau Kaisar
lalim. Urusan kami di istana The Kwat Lin sama sekali tidak ada
hubungannya dengan urusan perjuangan. Harap Toako tidak mencampuri
urusan pribadi dan suka mengalah, membiarkan kami pergi dengan aman."
"Ha-ha-ha-ha!
Liem Toan Ki, enak saja kau bicara! Setelah berhasil memperoleh
pusaka-pusaka keramat, mau lolos begitu saja dan melupakan teman! Kami
berempat tentu akan menerima uluran tanganmu yang bersahabat kalau saja
persahabatan itu kau buktikan dengan membagikan sebagian pusaka itu.
Demikian banyaknya, buat apa bagi kalian? Membagi sedikit kepada kawan,
sudah sepatutnya, ha-ha!" Thio Sek Bi berkata sambil menudingkan senjata
toya ditangannya ke arah punggung Toan Ki, di mana terdapat buntalan
pusaka yang dititipkan kepadanya oleh Swat Hong.
"Ya,
sebaiknnya bagi rata, bagi rata antara teman sendiri, Saudara Liem Toan
Ki dan Nona Bu Swi Nio!" kata orang ke dua sedangkan teman-temannya
juga mengangguk setuju.
Toan
Ki terkejut. Mengertilah dia bahwa tentu empat orang ini malam tadi
ikut mengepung dan mereka mendengar penitipan pusaka itu oleh Swat Hong,
maka mereka lalu diam-diam mengejar sampai di hutan ini.
"Hem,
saudara-saudara. Kalau kalian tahu bahwa ini adalah pusaka tentu kalian
tahu pula bahwa ini bukanlah milikku, dan aku hanya dititipi saja dan
tidak berhak membagi-bagikan kepada siapapun juga."
“Ha-ha-ha!
Lagaknya! Siapa mau percaya omonganmu? Pusaka-pusaka dari Pulau Es yang
hanya dikenal di dunia kang-ouw sebagai dalam dongeng telah berada di
tangan kalian dan kalian benar-benar tidak menghendakinya? Bohong!" kata
Thio Sek Bi sambil tertawa mengejek.
“Bohong
atau tidak, apa yang dikatakan oleh Ki-koko adalah tepat! kami tidak
akan membagi pusaka kepada kalian atau siapapun juga. Habis kalian mau
apa?" Bu Swi Nio membentak sambil mencabut pedangnya.
"Ha-ha,
wah lagaknya! Kalau begitu, pusaka itu akan kami rampas dan kalian
berdua, mati atau hidup, akan kami seret kembali ke kota raja!" kata
Thio Sek Bi sambil memutar toyanya, diikuti oleh tiga orang kawannya.
Swi
Nio dan Toan Ki menggerakan senjata dan melawan dengan mati-matian.
Ilmu toya yang dimainkan oleh Thio Sek Bi amat hebat dan aneh karena dia
adalah murid dari Thian-tok. Thian-tok (Racun langit) terkenal sebagai
seorang ahli racun dan sebagai pemuja tokoh dongeng Kauw-cee-thian Si
Raja Monyet, maka yang paling hebat di antara ilmu silatnya adalah ilmu
silat toya panjang yang disebut Kim-kauw-pang seperti senjata tokoh
dongeng Kau-cee-thian sendiri! Muridnya ini, biarpun senjatanya toya,
namun dimainkan dengan gerakan yang amat aneh dan sebentar saja Toan Ki
sudah terdesak olehnya.
Namun,
Liem Toan Ki adalah seorang murid Hoa-san-pai yang memiliki dasar ilmu
yang bersih dan kuat. Selain itu, dia sudah mempunyai banyak pengalaman,
bahkan tidak ada yang tahu bahwa dia adalah murid Hoa-san-pai karena
selain dia tidak pernah mengaku karena takut membawa-bawa nama
Hoa-san-pai dengan pemberontakan, juga ilmu silatnya sudah dia campur
dengan ilmu silat lain sehingga tidak kentara benar. Dengan gerakan
pedang yang indah dan cepat, dia dapat menjaga diri dari desakan toya di
tangan Thio Sek Bi.
Di
lain pihak, Swi Nio yang menghadapi pengeroyokan tiga orang itu, tidak
mengalami banyak kesulitan. Wanita muda ini pernah digembleng oleh The
Kwat Lin, sedikit banyaknya telah mewarisi ilmu yang dahsyat dari wanita
itu, maka kini dikeroyok oleh tiga orang lawan yang tingkatnya dibawah
dia, tentu saja dia dengan mudah dapat mempermainkan mereka. Terdengar
Swi Nio mengeluarkan suara melengking berturut-turut seperti yang biasa
dikeluarkan oleh The Kwat Lin dan tiga orang lawannya roboh
berturut-turut dan terluka parah, tidak mampu melawan lagi.
Sambil melengking keras, Swi Nio meloncat dan membantu kekasihnya yang terdesak oleh toya Thio Sek Bi.
"Cring! Tranggggg......!" Swi Nio terhuyung, akan tetapi Thio Sek Bi merasa betapa telapak tangannya panas.
Liem
Toan Ki tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, menubruk maju dan memutar
pedangnya kemudian dibantu oleh kekasihnya dia terus mendesak sehingga
permainan toya dari murid Thian-tok itu menjadi kacau. Akhirnya, tiga
puluh jurus kemudian, robohlah Thio Sek Bi, lengan kanannya terbacok dan
terluka parah, juga pundak kirinya terobek ujung pedang Swi Nio.
"Lekas.....! Kita pakai kuda mereka!" Liem Toan Ki berkata kepada kekasihnya.
Swi
Nio menyambar kendali dua ekor kuda terbaik, sedangkan Toan Ki lalu
mencambuk dua ekor kuda yang lain sehingga binatang-binatang itu kabur
ketakutan. Kemudian mereka meloncat ke atas punggung kuda rampasan itu
dan membalapkan kuda meninggalkan tempat itu.
"Mestinya mereka itu dibunuh, akan tetapi aku tidak tega melakukannya," kata Toan Ki.
"Benar, belum tentu mereka itu jahat."
"Moi-moi, berhenti dulu," tiba-tiba Toan Ki berkata.
Swi Nio menahan kudanya dan melihat kekasihnya seperti orang bingung.
"Ada apakah?"
"Tidak baik kalau kita menuruti permintaan Nona Han Swat Hong pergi ke Awan Merah."
Bu
Swi Nio mengerutkan alisnya dan memandang kepada kekasihnya dengan
penuh selidik. Selama ini, dia selain mencinta, juga kagum dan percaya
penuh kepada kekasihnya yang dianggapnya seorang pria yang gagah perkasa
dan patut dibanggakan. Akan tetapi sekarang dia memandang penuh curiga.
jangan-jangan kekasihnya juga ketularan penyakit seperti empat orang
tadi, menginginkan pusaka Pulau Es! Biarpun dia sendiri belum pernah
membuka-buka pusaka-pusaka itu, namun dia maklum bahwa pusaka-pusaka
Pulau Es yang berada di tangan gurunya adalah pusaka yang tak ternilai
harganya, benda keramat yang tentu mengandung ilmu-ilmu mujijat!
"Koko, apa..... apa maksudmu?"
Mendengar
nada suara kekasihnya, Toan Ki mengangkat muka memandang. Mereka
bertemu pandang dan Toan Ki tersenyum, memegang tangan kekasihnya dan
mencium tangan itu.
"Ihhhh!
kau berdosa padaku, memandang penuh curiga seperti itu!" katanya
tertawa. "Tidak, Moi-moi, tidak ada pikiran yang bukan-bukan di dalam
hatiku. Aku hanya teringat akan bahaya besar kalau kita ke Awan Merah.
Thio Sek Bi tadi adalah murid Thian-kok, sedangkan Thian-kok adalah
suheng dari Puncak Awan Merah di tai-hang-san! Kalau murid dari Sang
Suheng seperti Thio Sek Bi tadi, apakah kita dapat mengharapkan sute
akan lebih baik? Jangan-jangan kita seperti ular-ular menghampiri
penggebuk!"
"Sialan!
Kau samakan aku dengan ular? Koko, kalau begitu, bagaimana baiknya
sekarang?" Swi Nio menghentikan kelakarnya karena menjadi khawatir
juga.
"Swi-moi,
tugas yang kita pikul bukanlah ringan. Apalagi karena agaknya sudah
banyak yang tahu bahwa kita berdualah yang memegang pusaka-pusaka Pulau
Es, maka kurasa langkah-langkah kita tentu akan dibayangi orang-orang
kang-ouw yang ingin merampas Pusaka Pulau Es. Ke mana pun kita pergi,
kita tentu akan dicari oleh mereka."
Swi Nio menjadi pucat. Baru dia sadar betapa berat dan berbahaya tugas mereka. "Aihh, kalau begitu bagaimana baiknya?'
"Tidak
ada jalan lain kecuali berlindung ke Hoa-san. Aku akan minta bantuan
Hoa-san-pai agar suka menerima kita bersembunyi di sana dan
menyembunyikan pusaka di sana. Hanya Hoa-san-pai saja yang dapat
kupercaya dan kiranya tidak sembarangan orang berani main gila di
Hoa-san-pai."
"Engkau
benar, Koko dan aku setuju sekali. Akan tetapi, bagaimana nanti kalau
yang mempunyai pusaka ini menyusul kita ke Puncak Awan Merah dan tidak
mendapatkan kita di sana?"
"Lebih
baik begitu daripada mendapatkan kita di sana tanpa pusaka lagi, atau
mendengar bahwa kita tewas dan pusaka dirampas orang! Sebagai
orang-orang yang sakti, tentu mereka akan dapat mencari kita atau
menduga bahwa aku berlindung ke Hoa-san-pai. Mari kita berangkat,
Moi-moi, hatiku tidak enak sebelum kita tiba di Hoa-san."
Demikianlah,
dua orang itu lalu bergegas melanjutkan perjalanan ke Hoa-san. Setelah
tanpa halangan mereka tiba di bukit itu, Toan Ki mengajak kekasihnya
langsung menghadap ketua Hoa-san-pai yang terhitung twa-supeknya (uwak
guru pertama) sendiri yang tidak pernah dijumpainya. Setelah bertemu
dengan Kong Thian Cu, ketua Hoa-san-pai pada waktu itu, seorang kakek
tinggi kurus yang bersikap lemah lembut dan rambutnya sudah putih semua,
serta merta kedua orang muda itu menjatuhkan diri berlutut.
"Teecu Liem Toan Ki menghaturkan hormat kepada Twa-supek," kata Toan Ki.
"Teecu Bu Swi Nio menghaturkan hormat kepada Locianpwe," kata Swi Nio penuh hormat.
Kakek itu mengangguk-angguk. "Duduklah dan bagaimana engkau dapat menyebut pinto sebagai Twa-supek, orang muda?"
"Teecu
adalah murid dari Suhu Tan Kiat yang membuka perguruan silat di Kun-min
dan menurut Suhu, katanya beliau adalah sute dari Twa-supek yang
menjadi ketua di Hoa-san-pai, sungguhpun Suhu berpesan agar teecu tidak
menyebut-nyebut nama Hoa-san-pai kepada siapapun juga."
Kakek
itu kelihatan terkejut, lalu menarik napas panjang, mengelus jenggotnya
dan kembali mengangguk-angguk. "Tan-sute memang murid Suhu, akan tetapi
sayang, pernah dia membuat mendiang Suhu marah dan mengusirnya. Padahal
bakatnya baik sekalli. Kiranya dia membuka perguruan silat? Dan dia
pesan agar muridnya tidak membawa nama Hoa-san-pai? Bagus, ternyata dia
jantan juga. Di manakah dia sekarang dan bagaimana keadaannya?"
"Suhu telah tewas dalam keadaan penasaran, difitnah pembesar sebagai pemberontak dan dijatuhi hukuman mati."
"Ahhh....!"
"Karena
itulah maka teecu sebagai muridnya yang juga menderita karena orang tua
teecu juga menjadi korban keganasan pembesar pemerintah, lalu ikut
berjuang bersama An Lu Shan, kemudian setelah berhasil tecu mengundurkan
diri karena teecu tidak menghendaki kedudukan apa-apa. Apalagi melihat
betapa An-goanswe menerima bantuan orang-orang dari kaum sesat, maka
teecu mengundurkan diri."
"Bagus,
baik sekali engkau mengambil keputusan itu, karena biarpun engkau tidak
menyebut nama Hoa-san-pai, namun pinto akan ikut merasa menyesal kalau
ada orang yang mewarisi kepandain Hoa-san-pai mempergunakan kepandaian
itu untuk urusan pemberontak. Sekarang engkau bersama Nona ini datang
menghadap pinto ada keperluan apakah?"
"Teecu datang untuk mohon pertolongan Twa-supek. Nona ini adalah tunangan teecu, dia puteri dari mendiang Lu-san Lojin."
"Siancai....!
Lu-san Lojin sudah meninggal? Pinto pernah bertemu satu kali dengan
ayahmu, Nona. Seorang yang gagah perkasa!" Kemudian kakek ini menoleh
kepada Liem Toan Ki dan bertanya, "Pertolongan apakah yang kalian
harapkan dari pinto?"
Dengan
terus terang tanpa menyembunyikan sesuatu Liem Toan Ki lalu
menceritakan tentang penyerbuannya bersama para penghuni Pulau Es,
betapa kemudian puteri Pulau Es telah menitipkan Pusaka Pulau Es kepada
mereka berdua, kemudian betapa mereka dihadang orang jahat yang hendak
merampas pusaka dan mereka mengambil keputusan untuk bersembunyi di
Hoa-san-pai.
Kakek
itu menjadi bengong mendengar penuturan panjang lebar itu, beberapa
kali memandang ke arah buntalan di punggung Toan Ki dan memandang wajah
mereka berdua seperti orang yang kurang percaya.
"Siancai....
kalau tidak melihat wajah kalian berdua yang agaknya bukan orang gila
dan bukan pembohong, pinto sukar untuk percaya bahwa kalian telah
bertemu bahkan bertanding bahu-membahu dengan orang-orang Pulau Es!
Pinto kira bahwa nama Pulau Es hanya terdapat dalam dongeng belaka."
"Karena
teecu yakin bahwa tentu orang-orang di dunia kang-ouw akan saling
berebut untuk merampas pusaka-pusaka ini, maka teecu berdua mengambil
keputusan untuk berlindung di Hoa-san-pai sampai yang berhak atas
pusaka-pusaka itu datang mengambilnya."
Sampai
lama kakek itu termenung dan menundukan kepalanya, dipandang dengan
hati gelisah dan tegang oleh Toan Ki dan Swi Nio. Akhirnya kakek itu
mengangkat mukanya memandang dan berkata, suaranya bersungguh-sungguh.
"Selamanya
Hoa-san-pai menjaga nama dan kehormatan sebagai partai orang-orang
gagah. Entah berapa banyak anak murid Hoa-san-pai tewas dalam
mempertahankan kebenaran dan keadilan, bahkan ada pula yang tewas tanpa
pinto ketahui apa sebabnya dan di mana tewasnya seperti Kee-san Ngo-han,
lima orang murid pinto yang dahulu bertugas melindungi Sin-tong....."
"Aihhhh....!!"
Tiba-tiba Swi Nio mengeluarkan teriakan tertahan dan ketika kakek itu
memandang kepadanya, dia cepat berkata, "Mendiang Subo adalah bekas ratu
Pulau Es yang menyeleweng dan bersekutu dengan Kiam-mo Cai-li Liok Si
memberontak kepada pemerintah. Pernah teecu mendengar penuturan Subo
ketika menceritakan kelihaian Kiam-mo Cai-li bahwa Kee-san Ngo-hohan
terbunuh oleh Kiam-mo Cai-li itu."
Ketua
Hoa-san-pai itu kelihatan terkejut dan sinar matanya menjadi keras,
"Hemm, kiranya iblis betina itu yang membunuh murid-murid pinto....!”
"Akan
tetapi iblis itu telah tewas di tangan Nona Han Swat Hong puteri Pulau
Es yang menitipkan pusaka kepada teecu berdua, Twa-supek," Toan Ki
berkata.
Kakek
itu mengangguk-angguk dan mendengarkan penuturan mereka berdua tentang
penyerbuan hebat di kota raja, di dalam istana dari The Kwat Lin, bekas
Ratu Pulau Es yang minggat dan melarikan Pusaka-pusaka Pulau Es itu.
"Kalau
begitu, sudah sepatutnya kalau Hoa-san-pai membantu para penghuni Pulau
Es. Kalian boleh tinggal di sini dan biarlah Hoa-san-pai yang
melindungi kalian dan pusaka-pusaka itu sampai yang berhak datang
mengambilnya."
"Sebelumnya
teecu berdua menghaturkan banyak terima kasih atas kebijaksanan dan
kemuliaan hati Twa-supek. dan teecu ingin mengajukan permohonan ke
dua......"
Kakek
itu tersenyum. "Permohonanmu yang paling hebat, menegangkan dan
berbahaya telah pinto terima dan urusan pusaka ini hanya kita bertiga
saja yang mengetahuinya, tidak boleh kalian bocorkan keluar agar tidak
menimbulkan keributan. Sekarang, ada permohonan apa lagi yang hendak kau
kemukakan?"
"Teecu......
mohon..... karena teecu berdua sudah tidak mempunyai keluarga lagi, dan
teecu berdua sudah cukup lama bertunangan, maka.... teecu mohon berkah
dan doa restu Twa-supek untuk menikah di sini."
Toan
Ki yang hidupnya sudah penuh dengan segala macam pengalaman hebat itu,
tidak urung tergagap ketika mengucapkan permintaan ini, sedangkan Bu Swi
Nio menundukan mukanya yang menjadi merah sekali.
Kong
Thian-cu tertawa bergelak, lalu berkata, "Pernikahan adalah peristiwa
amat menggembirakan. Tentu saja pinto suka sekali memenuhi permintaan
ini. Liem Toan Ki, engkau adalah murid Hoa-san-pai pula, tentu saja
engkau berhak untuk menikah di sini, disaksikan oleh semua murid
Hoa-san-pai yang berada di sini."
Demikianlah,
Pusaka-pusaka Pulau Es yang di rahasiakan itu disimpan oleh Kong
Thian-cu sendiri di dalam kamar pusaka yang tersembunyi, tidak ada
anggauta Hoa-san-pai lain yang mengetahuinya dan sebulan kemudian
diadakanlah perayaan sederhana namun khidmat untuk melangsungkan upacara
pernikahan antara Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio. Pada malam pertama
pernikahan itu Bu Swi Nio menangis di atas dada suaminya, menangis
dengan penuh keharuan, kedukaan yang bercampur dengan kegembiraan
mengenangkan semua pengalamannya, kematian ayahnya dan kakaknya,
malapetaka yang menimpa dirinya ketika dalam keadaan mabok dan tidak
ingat diri dia diperkosa oleh Pangeran Tan Sin Ong. Dia memeluk suaminya
dan berterima kasih sekali karena dia dapat membayangkan bahwa kalau
tidak ada pria yang kini menjadi suaminya dengan syah dan terhormat ini
tentu dia sudah membunuh diri dan andai kata dalam keadaan hiduppun ia
akan menderita aib dan terhina.
Sampai
dua tahun suami isteri yang saling mencinta dan berbahagia ini hidup di
Hoa-san-pai, menjadi anggota-anggota dan anak murid Hoa-san-pai yang
tekun berlatih dan rajin bekerja. Akan tetapi mereka gelisah sekalli
karena sampai selama ini, Han Swat Hong atau lain tokoh Pulau Es tidak
ada yang muncul bahkan gadis luar biasa dari Pulau Neraka, Ouw Soan Cu,
juga tidak muncul. Tentu saja hati mereka akan menjadi lebih lega dan
bebas dari kekhawatiran kalau saja pusaka-pusaka Pulau Es itu sudah
diambil oleh yang berhak dan tidak menjadi tanggung jawab mereka..
Lebih
hebat lagi kegelisahan hati mereka ketika pada suatu hari Ketua
Hoa-san-pai, Kong Thian-cu yang sudah tua itu, meninggal dunia karena
sakit. Sebelum meninggal dunia, Kong Thian-cu memberitahukan di mana dia
menyembunyikan pusaka-pusaka itu yang tidak diketahui orang lain.
Setelah Kong Thian-cu meninggal dunia, kedudukan Ketua Hoa-san-pai
digantikan oleh seorang tokoh Hoa-san-pai lain, terhitung sute dari Kong
Thian-cu yang telah menjadi seorang tosu yang saleh, berjuluk Pek Sim
Tojin. Ketua yang baru ini pun tidak tahu akan rahasia Pusaka Pulau Es,
sehingga kini rahasia pusaka itu seluruhnya menjadi tangung jawab Liem
Toan Ki dan isterinya.
Biarpun
selama dua tahun itu tidak terjadi sesuatu, namun hati suami isteri ini
selalu merasa tidak tenteram. Bahkan mereka berdua seringkali
merundingkan bagaimana baiknya. Hendak meninggalkan Hoa-san-pai dan
mencari Swat Hong, mereka tidak berani meninggalkan Hoa-san-pai di mana
pusaka itu disimpan, juga mereka tidak tahu ke mana harus mencari Han
Swat Hong. Tinggal diam saja di Hoa-san mereka merasa makin lama makin
gelisah. Selama itu, tidak ada satu kali pun mereka berani memeriksa
pusaka yang disimpan di tempat yang amat rapat di kamar pusaka oleh
mendiang Kong Thian-cu. Akhirnya mereka terpaksa menahan diri, dan
saling berjanji bahwa kalau setahun lagi pemilik pusaka yang sah tidak
muncul, mereka akan menghadap Pek Sim Tojin, menceritakan dengan terus
terang dan menyerahkan pusaka itu untuk dipelajari bersama sehingga
dengan demikian pusaka itu ada manfaatnya demi kemajuan dan kebaikan
Hoa-san-pai sendiri.
"Suheng, kita berhenti istirahat dulu di sini!" Swat Hong berkata.
Sin Liong menoleh kepada dara itu, tersenyum dan berkata, "Engkau lelah, Sumoi?"
Swat
Hong mengangguk dan Sin Liong menghentikan langkahnya, lalu keduanya
duduk dibawah sebatang pohon besar di lereng bukit itu. Tempat
perhentian mereka itu ditepi jalan yang merupakan lorong setapak, di
sebelah kiri terdapat dinding bukit, di sebelah kanan jurang yang amat
curam. Pemandangan di seberang jurang amatlah indahnya, tamasya alam
yang tergelar di bawah kaki mereka, sehelai permadani hidup yang permai
dengan segala macam warna berselang-seling, kelihatan kacau namun
menyedapkan pandangan karena di dalam kekacauan itu terdapat keselarasan
yang wajar. Sawah ladang bekas hasil tangan manusia berpetak-petak,
digaris oleh sebatang sungai yang berbelok-belok, dengan rumpun di
sana-sini diseling pohon-pohon besar yang masih bertahan di antara
perobahan yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia. Sebatang pohon yang
daun-daunnya telah menguning dan banyak yang rontok, kelihatan
menyendiri dan menonjol di antara segala tumbuh-tumbuhan menghijau, dan
seolah-olah segala keindahan berpusat kepada pohon menguning hampir mati
itu. Matahari yang berada di atas kepala tidak menimbulkan
bayangan-bayangan sehingga hari tampak cerah sekali. Sinar matahari
dengan langsung dan bebas menyinari bumi dan segala yang berada di
atasnya, terang menderang tidak ada gangguan awan.
Di
dalam keheningan itu, Swat Hong dapat melihat ini semua. Ketika tanpa
disengaja tangannya yang digerakkan untuk menyeka keringat bertemu
dengan lengan Sin Liong, barulah dia sadar akan dirinya dan
sekelilingnya. Dan dia terheran. Semenjak dia bertemu dengan suhengnya
dan melakukan perjalanan ini, seringkali dia tenggelam ke dalam
keindahan yang amat luar biasa, yang sukar dia ceritakan dengan
kata-kata. Dia merasa tenteram, tenang dan penuh damai sungguhpun
suhengnya jarang mengeluarkan kata-kata. Dia seperti merasa betapa diri
pribadi suhengnya bersinar cahaya yang hangat dan aneh, terasa ada
getaran yang ajaib keluar dari pribadi suhengnya yang mempengaruhinya
dan mendatangkan suatu perasaan yang menakjubkan, yang mengusir segala
kekesalan, segala kerisauan, dan segala kedukaan. Sudah beberapa kali
dia ingin mengutarakan ini kepada suhengnya, namun setiap kali dia
hendak bicara, mulutnya seperti dibungkamnya sendiri oleh keseganan yang
timbul dari perasaan halus dan lembut terhadap suhengnya itu, sesuatu
yang belum pernah dirasakannya semula. Dia mencinta suhengnya, ini sudah
jelas. Namun sekarang timbul perasaan lain yang lebih agung daripada
sekedar cinta biasa, perasaan yang membuat dia penuh damai.
"Suheng......." Dia memberanikan hatinya berkata.
"Ya......?" Sin Liong mengangkat muka memandangnya sambil tersenyum.
Senyumnya
begitu lembut penuh kasih, pandang matanya begitu bersinar penuh
pengertian sehingga Swat Hong merasa betapa seolah-olah sebelum dia
bicara, suhengnya itu telah tahu apa yang terkandung di dalam hatinya!
Inilah yang biasanya membuat membungkam dan tidak dapat melanjutkan
kata-katanya. Kini dia mengeraskan hati dan berkata dengan suara lirih,
"Suheng, kita akan ke manakah?"
"Ke Hoa-san, sudah kuberitahukan kepadamu," jawabnya sederhana.
"Bagaimana kau bisa tahu bahwa mereka berada di Hoa-san?"
Sin
Liong tersenyum, senyum cerah, secerah sinar matahari di saat itu,
senyum yang bebas dan wajar tidak menyembunyikan sesuatu tidak membawa
arti sesuatu.
"Sumoi,
pusaka itu kau berikan kepada Liem Toan Ki dan tunangannya, dan karena
Liem Toan Ki adalah murid Hoa-san-pai, maka tentu saja mereka berada di
Hoa-san."
Swat
Hong mengangguk-angguk, memang dia tahu bahwa Toan Ki adalah murid
Hoa-san, akan tetapi dia lupa bahwa dia tidak pernah menceritakan hal
ini kepada suhengnya!
"Bagaimana kalau mereka tidak berada si sana, Suheng?"
Kembali
senyum itu. Senyum seorang yang begitu pasti akan segala sesuatu,
senyum penuh pengertian, seperti senyum seorang tua yang melihat
kenakalan anak-anak dan maklum pengapa anak itu nakal!
"Sumoi,
apakah gunanya memikirkan hal-hal yang belum terjadi? Membayangkan
hal-hal yang belum terjadi adalah permainan buruk dari pikiran, karena
hal itu hanya akan menghasilkan kecemasan dan kekhawatiran belaka. Apa
yang akan terjadi kelak kita hadapi sebagaimana mestinya kalau sudah
terjadi di depan kita."
Swat Hong tertarik sekali. "Apakah rasa cemas itu timbul dari pikiran yang membayangkan masa depan, Suheng?"
"Agaknya
jelas demikian, bukan? Yang takut akan sakit tentulah dia yang belum
terkena penyakit itu, kalau sudah sakit, dia tidak takut lagi kepada
sakit, melainkan takut kepada kematian yang belum tiba. Perlukah hidup
dicekam rasa takut dan rasa kekhawatiran? Pikiran yang bertanggung jawab
atas timbulnya rasa takut. Pikiran mengingat-ingat kesenangan di masa
lalu, dan mengharapkan terulangnya kesenangan itu di masa depan, maka
timbullah kekhawatiran kalau-kalau kesenangan itu tidak akan terulang.
Pikiran mengenang penderitaan masa lalu dan ingin menjauhinya, ingin
agar di masa depan hal itu tidak terulang kembali maka timbulah
kekhawatiran kalau-kalau dia tertimpa penderitaan itu lagi!"
"Habis bagaimana, Suheng?"
"Hiduplah
saat ini, curahkan seluruh perhatian, seluruh hati dan pikiran, untuk
menghadapi saat ini, apa yang terjadi kepadamu di saat ini, bukan apa
yang boleh terjadi di masa depan, bukan pula mengenang apa yang telah
terjadi di masa lalu."
"Kalau begitu kita menjadi tidak acuh dan bersikap masa bodoh....."
"Justru
biasanya kita bersikap masa bodoh dan tidak acuh, tidak menaruh
perhatian yang mendalam terhadap saat ini, karena seluruh perhatian kita
sudah dihabiskan untuk mengingat-ingat masa lalu dan untuk
membayang-bayangkan masa depan dengan seluruh pengharapannya, seluruh
cita-citanya, seluruh nafsu keinginannya, seluruh kesenangan dan
kekecewaannya. Justeru kalau bebas dari masa lalu tidak lagi ada
bayangan masa depan dan kita hidup saat demi saat penuh perhatian, dan
ini barulah di namakan hidup sepenuhnya, hidup sempurna dan lengkap
karena kita menghayati hidup dengan penuh kewajaran, tidak terbuai dalam
alam kenangan dan harapan yang muluk-muluk namun sesungguhnya kosong
belaka."
Sampai
lama hening di situ. Pengertian yang mendalam meresap di hati sanubari
Swat Hong dan di dalam keheningan itu tercakup seluruh alam mayapada.
"Suheng,
telah dua tahun pusaka itu berada di tangan mereka. Aku telah mencari
ke mana-mana, hanya ke Hoa-san-pai yang belum. Kurasa mereka itu tidak
jujur, dan agaknya tentu mereka telah menyembunyikan pusaka itu. Kalau
tidak demikian mengapa mereka tidak pergi menanti aku di Puncak Awan
Merah seperti yang kupesankan? Memang hati manusia tidak atau jarang
sekali ada yang jujur. Sekali saja melihat sesuatu yang dapat
menguntungkan diri pribadi, maka terlupalah semua pelajaran tentang
kegagahan dan kebaikan. Aku ingin mencari dan menghajar mereka itu!"
"Sumoi,
prasangka adalah satu di antara racun-racun yang merusak kehidupan
kita. Prasangka di lahirkan oleh pikiran yang mengada-ada, yang
membayangkan sesuatu yang direka-reka, yang timbul karena kekhawatiran.
Prasangka adalah suatu kebodohan yang menyiksa diri sendiri. Kalau kita
sudah bertemu dengan mereka dan sudah melihat keadaan yang sesungguhnya,
apakah kegunaannya prasangka? Prasangka dan sebagainnya lenyap setelah
kita membuka mata melihat kenyataan apa adanya, dan sebelum itu,
berprasangka berarti membiarkan pikiran mempermainkan diri. Apakah
kegunaannya bagi kehidupan kita?"
Kembali
hening. Swat Hong tak mampu menjawab karena dia dihadapkan dengan
keadaan yang nyata. Memang, dia memikirkan hal-hal yang belum terjadi,
maka timbullah kekhawatiran, dan dari kekhawatiran ini timbulah
prasangka yang bukan-bukan. Yang salah dalam semua itu adalah pikiran!
Setelah
tubuh mereka beristirahat dengan cukup, keduanya lalu melanjutkan
perjalanan menuju ke Hoa-san. Makin lama Swat Hong makin mendapat kesan
bahwa suhengnya benar-benar telah berubah, jauh bedanya dengan dahulu.
Pada suatu hari, ketika mereka tiba di kaki Pegunungan Hoa-san dan
beristirahat, Swat Hong tidak dapat menahan rasa keinginan tahunya dan
dia berkata, "Suheng, setelah dua tahun berpisah denganmu dan berjumpa
kembali, aku memperoleh kenyataan bahwa engkau telah berubah sekali!"
"Begitukah, Sumoi?"
"Aku
tidak tahu apanya yang berubah, memang kelihatannya engkau masih biasa
sepeti dulu, Suhengku yang sabar, tenang dan bijaksana. Akan tetapi
entahlah, engkau berubah benar, sungguhpun aku sendiri tidak dapat
mengatakan apanya yang berubah."
Sin
Liong tersenyum dan sinar matanya berseri. "Memang setiap manusia
seyogianya mengalami prubahan, Sumoi. Kita masing-masing haruslah
berubah, tidak terikat dengan masa lalu, dengan segala macam kebiasaan
masa lalu, setiap hari, setiap detik kita haruslah baru! Kalau demikian,
barulah hidup ada artinya!"
Swat
Hong hendak berkata lagi, akan tetapi tiba-tiba Sin Liong memegang
tangannya dan mengajaknya bangkit berdiri lalu berlahan-lahan melanjukan
perjalanan mulai mendaki bukit pertama. Ketika Swat Hong hendak
menanyakan sikap yang tiba-tiba ini dari suhengnya, dia mendengar suara
orang dan tampaklah olehnya banyak orang berbondong-bondong naik ke
pegunungan Hoa-san, datangnya dari berbagai penjuru. Mereka itu terdiri
dari bermacam orang, dengan pakaian yang bermacam-macam pula, namun
jelas bahwa rata-rata memiliki gerakan yang ringan dan tangkas dan mudah
bagi Swat Hong untuk mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang
kang-ouw!
Melihat
kenyataan bahwa tidak ada di antara mereka yang memperhatikan Sin Liong
dan Swat Hong, hanya memandang sepintas lalu saja seperti mereka itu
saling memandang, tahulah Swat Hong bahwa mereka itu bukan merupakan
satu rombongan, melainkan terdiri dari banyak rombongan sehingga tentu
saja mereka mengira bahwa dia dan suhengnya adalah anggauta rombongan
lain.
Hati
Swat Hong diliputi penuh pertanyaan. Siapakah mereka dan apa kehendak
mereka itu? Apakah di Puncak Hoa-san terdapat perayaan dan mereka ini
adalah para tamu yang berkujung ke Hoa-san-pai. Akan tetapi melihat
sikap suhengnya diam dan tenang saja, Swat Hong merasa malu untuk
bertanya dan teringatlah dia akan kata-kata suhengnya tentang permainan
pikiran yang membayangkan masa depan yang menimbulkan kekhawatiran
belaka. Mau tidak mau dia harus membenarkan karena kini dia merasakan
sendiri. Biarlah dia hadapi apa yang sedang terjadi sebagaimana mestinya
dan sebagai apa adanya tanpa merisaukan hal-hal yang belum terjadi!
Ketia
akhirnya mereka tiba di Puncak Hoa-san, di depan markas perkumpulan
Hoa-san-pai yang besar, Swat Hong menjadi terkejut. Di tempat itu
ternyata tidak terdapat perayaan apa-apa dan kini banyak tosu dan
anggauta Hoa-san-pai berkumpul dan berdiri di ruangan depan yang tinggi,
sedangkan di bawah anak tangga, di halaman depan penuh dengan
orang-orang kang-ouw yang bersikap menantang! Ketika dia melirik ke arah
suhengnya, dia melihat Sin Liong bersikap masih biasa dan tenang, dan
suhengnya ini pun memandang ke depan dengan perhatian sepenuhnya. Maka
dia pun lalu memandang lagi dan dia melihat seorang tosu berambut putih
dengan tenang berdiri menghadapi para orang-orang kang-ouw itu sambil
menjura dengan sikap hormat lalu berkata dengan suara halus namun cukup
nyaring,
"Harap
Cu-wi sekalian sudi memaafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan
Cu-wi maka tidak mengadakan penyambutan sebagaimana mestinya. Pinto
melihat bahwa Cu-wi adalah tokoh-tokoh kang-ouw dari bermacam golongan
dan tingkat, dan pada hari ini berbondong datang mengunjungi
Hoa-san-pai, tidak tahu ada keperluan apakah?"
Swat
Hong memandang para orang kang-ouw itu dan diantaranya banyak tokoh
aneh yang tidak dikenalnya itu, dengan heran dia melihat adanya
Siang-koan Houw Tee Tok, tokoh yang tinggal di Puncak Awan Merah di
tai-hang-san itu!
"Suheng, itu Tee Tok berada pula di sini," bisikannya sambil menyentuh lengan suhengnya.
"Aku
sudah melihatnya," kata Sin Liong perlahan, "dan yang di sebelah sana
itu adalah Bhong Sek Bin yang berjuluk Thian-tok (Racun Langit). Bekas
suheng dari Tee Tok, dan itu adalah Thian-he Tee-it Ciang Ham Ketua
kang-jiu-pang di Secuan. yang di sana itu adalah Lam-hai Seng-jin, tosu
majikan Pulau Kura-kura di Lam-hai....."
"Guru Kwee-toako?"
Sin
Liong mengangguk. Swat Hong memandang penuh perhatian dan
terheran-heran melihat suhengnya mengenal orang-orang yang memiliki
julukan aneh-aneh itu. Thian-he Tee-it berarti Di Kolong Langit Nomer
Satu! Dan Lam-hai Seng-jin berarti Manusia dari laut Selatan!
"Dan
itu adalah Gin-siauw Siucai (Pelajar Bersuling Perak), seorang bertapa
di Bukit Bengsan dan yang di ujung itu adalah seorang yang pernah
menyerang Pulau Neraka seperti yang pernah kuceritakan kepadamu, Sumoi.
Dialah Tok-gan Hai-liong (Naga Laut Mata Satu) Koan Sek, seorang bekas
bajak laut."
"Wah, begitu banyak orang pandai mendatangi Hoa-san-pai, ada apakah, Suheng?"
"Kita melihat dan mendengarkan saja."
Sementara
itu ucapan dan pertanyaan Ketua Hoa-san-pai tadi mendatangkan suasana
berisik ketika para pendatang yang jumlahnya ada lima puluhan orang itu
saling bicara sendiri tanpa ada yang menjawab langsung pertanyaan Ketua
Hoa-san-pai. Agaknya mereka itu merasa sungkan dan saling menanti,
menyerahkan jawaban kepada orang lain yang hadir di situ. Betapapun
juga, para tokoh kang-ouw itu merasa segan juga karena Hoa-san-pai
terkenal sebagai sebuah perkumpulan atau partai persilatan yang besar,
yang selama ini tidak pernah mencampuri urusan perebutan kekuasaan atau
tidak pernah pula mencampuri urusan kang-ouw yang tidak ada hubungannya
dengan mereka. Orang-orang Hoa-san-pai terkenal sebagai orang-orang
gagah yang disegani di dunia persilatan, maka tentu saja mereka itu
diliputi perasaan sungkan.
Pek
Sim Tojin yang berambut putih dan bersikap tenang itu melihat seorang
kakek tinggi besar bermuka tengkorak yang menyeramkan maju ke depan,
maka melihat bahwa belum juga ada yang mau menjawab, dia lalu berkata
ditujukan kepada kakek tinggi besar bermuka tengkorak itu.
"Kalau
pinto tidak salah mengenal orang, Sicu adalah Thian-tok Bhong Sek Bin.
Sicu adalah seorang yang amat terkenal di dunia kang-ouw dan mengingat
bahwa kedatangan Sicu pasti mempunyai kepentingan besar, maka pinto
harap Sicu suka berterus terang mengatakan apa keperluan itu."
Thian-tok
Bhong Sek Bin menyeringai penuh ejekan. "Ha-ha-ha, engkau benar,
Totiang! Aku adalah Bhong Sek Bin dan memang bukan percuma jauh-jauh aku
datang mengunjungi Hoa-san-pai. Tentang mereka semua ini aku tidak
tahu, akan tetapi kedatanganku adalah untuk bicara dengan dua orang yang
bernama Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio. Suruh mereka berdua keluara bicara
dengan aku dan aku tidak akan membawa-bawa Hoa-san-pai!"
Ucapan
ini disambut oleh suara berisik lagi di antara para tamu, bahkan banyak
kepala dianggukan tanda setuju dan di sana sini terdengar teriakan,
"Suruh mereka keluar!"
Pek
Sim Tojin mengerutkan alisnya dan mengelus jenggotnya yang putih.
"Pinto tidak menyangkal bahwa di antara anak murid Hoa-san-pai terdapat
dua orang yang bernama Liem Toan Ki dan isterinya bernama Bu Swi Nio.
Akan tetapi, selama ini mereka adalah murid-murid Hoa-san-pai yang tekun
dan baik, bahkan tidak pernah turun dari Hoa-san, tidak pernah
melakukan keonaran di luar, apalagi membuat permusuhan dengan golongan
manapun. Kini Cu-wi sekalian berbondong datang, agaknya bersatu tujuan
untuk menemui mereka! Pinto sebagai ketua Hoa-san-pai yang bertanggung
jawab atas semua sepak terjang murid-murid Hoa-san-pai, berhak
mengetahui apa yang terjadi antara Cu-wi dengan mereka!"
Hening
sejenak dan agaknya semua tamu kembali merasa sungkan dan ragu-ragu
untuk menjawab. Sementara itu, hati Swat Hong terasa tegang begitu
mendengar nama Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio disebut-sebut. Dia menujukan
pandang matanya ke atas ruangan depan, namun di antara para anggauta
Hoa-san-pai, dia tidak melihat adanya kedua orang itu.
"Suheng....,
agaknya mereka benar berada di sini seperti yang Suheng duga...." bisik
Swat Hong dengan hati tegang, akan tetapi suhengnya memberi isyarat
agar dia tenang saja.
"Sumoi, aku berpesan, kalau nanti terjadi apa-apa, kau serahkan saja kepadaku dan jangan kau ikut turun tangan, ya!"
Dengan
penuh kepercayaan akan kemampuan suhengnya, Swat Hong mengangguk akan
tetapi hatinya berdebar penuh ketegangan. Tidak salah lagi, pikirnya
yang menduga-duga, tentu orang-orang kang-ouw ini mencari Liem Toan Ki
dan Bu Swi Nio berhubung dengan Pusaka-pusaka Pulau Es itu! Kalau tidak
demikian apalagi?
Melihat
bahwa tidak ada orang yang menjawab pertanyaan Ketua Hoa-san-pai itu,
Thian-he Tee-it Ciang Ham yang datang bersama lima orang muridnya,
mengacungkan tombak di tangan kanannya, ke atas dan berteriak.
"Totiang,
sebagai Ketua Hoa-san-pai tentu saja kau berhak mengetahui sepak
terjang muridmu, akan tetapi kalau urusan ini tidak menyangkut
Hoa-san-pai, bagaiman kami dapat bicara denganmu? Ini adalah urusan
pribadi, urusan Liem Toan Ki sendiri, maka suruh dia keluar agar kami
dapat bicara dengan dia! Kalau Totiang bersikeras, berarti Hoa-san-pai
akan mencampuri urusan pribadi!"
Berkerut
alis Ketua Hoa-san-pai itu. Ucapan tadi, biarpun tidak secara langsung,
sudah merupakan tantangan dan hanya terserah kepada Hoa-san-pai untuk
melayani tantangan itu ataukah tidak. Maka dia tidak mau bertindak
sembrono dan ingin melihat dulu bagaimana duduk perkaranya. Ketua
Hoa-san-pai ini memang belum sempat diberi tahu oleh Liem Toan Ki dan
isterinya tentang pusaka Pulau Es itu.
"Supek, biarlah teecu berdua yang menghadapi mereka!"
Tiba-tiba
terdengar suara orang dan muncullah Liem Toan Ki dan isterinya dari
dalam, mereka sudah kelihatan mempersiapkan diri dengan senjata pedang
di pinggang dan pakaian ringkas. Wajah mereka agak pucat, namun sikap
mereka gagah dan tidak jerih.
Liem
Toan Ki meloncat ke depan, Di atas ruangan depan itu berdampingan
dengan istrinya, menghadapi orang-orang kang-ouw itu sambil berkata,
"Sayalah Liem Toan Ki dan isteri saya Bu Swi Nio. Tidak tahu urusan
apakah yang membawa Cu-wi sekalian datang mencari kami di Hoa-san?"
Hiruk
pikuklah para tamu itu setelah mereka melihat sepasang suami isteri
muda muncul dari dalam. Pertama-tama yang berteriak adalah Thian-tok
Bhong Sek Bin,
"Liem
Toan Ki dan Bu Swi Nio, kalian telah berani melukai muridku! Aku baru
bisa mengampuni kalian kalau kalian menyerahkan pusaka-pusaka yang kau
bawa itu!"
Liem
Toan Ki tersenyum. "hemm, kami terpaksa melukai muridmu karena dia
menyerang kami, Locianpwe. Pusaka apa yang Locianpwe maksudkan?"
"Pura-pura lagi, keparat! Pusaka Pulau Es!" teriak Thian-tok marah.
"Serahkan Pusaka Pulau Es kepada kami!"
"Kepada kami!"
"Bagi-bagi rata!"
"Dijadikan sayembara!"
Macam-macam
teriakan para tokoh kang-ouw dan Liem Toan Ki mengangkat kedua
lengannya ke atas. "Cu-wi sekalian, apa buktinya bahwa kami berdua
menyimpan Pusaka Pulau Es?"
"Orang
she Liem, kau masih berpura-pura lagi bertanya? Aku dan banyak orang
melihat betapa gadis Pulau Es itu menyerahkan pusaka itu kepadamu!"
Tiba-tiba terdengar suara orang yang bukan lain adalah Thio Sek Bi,
murid Thian-tok yang pernah berusaha merampok pusaka itu.
Mendengar
ucapan ini dan melihat munculnya murid Thian-tok dan beberapa orang
bekas pengawal yang dulu ikut bertempur di istana The Kwat Lin, tahulah
Toan Ki dan Swi Nio bahwa menyangkal tidak akan ada gunanya lagi.
"Kita harus mempertahankan mati-matian," bisik Swi Nio kepada suaminya yang mengangguk dan berkata dengan suara lantang,
“Cu-wi
sekalian! Kami berdua tidak menyangkal lagi bahwa memang kami telah
dititipi pusaka oleh Nona Han Swat Hong, dua tahun yang lalu. Akan
tetapi, kami tidak akan menyerahkan pusaka itu kepada siapapun juga
kecuali kepada yang berhak, yaitu Nona Han Swat Hong!"
Teriakan-teriakan hiruk pikuk menyambut ucapan lantang ini. "Kalau begitu, kalian akan menjadi tawananku!"
Thian-tok
membentak marah sambil melangkah ke depan, akan tetapi gerakannya ini
segera diikuti oleh banyak orang dan jelas bahwa mereka hendak
memperebutkan Liem Toan Ki dan istrinya agar menjadi orang tawanan
mereka, tentu untuk dipaksa menyerahkan pusaka!
"Siancai.....
harap Cu-wi bersabar dulu.....!" Tiba-tiba dengan suara yang halus
namun berpengaruh, Ketua Hoa-san-pai berkata sambil mengangkat kedua
tangan ke atas, "Biarkan pinto bicara dulu!"
"Totiang, kau hendak bicara apa lagi?" Thian-tok membentak marah, alisnya berdiri dan matanya melotot.
"Pinto
mengaku bahwa urusan pusaka Pulau Es itu sama sekali tidak ada sangkut
pautnya dengan Hoa-san-pai dan Hoa-san-pai pun tidak mengetahuinya. Maka
sebagai Ketua Hoa-san-pai, pinto hendak bertanya dulu kepada murid Liem
Toan Ki. Ini adalah urusan dalam dari Hoa-san-pai, kiranya Cu-wi tidak
akan mencampurinya!"
Terdengar teriakan-teriakan, "Silahkan! Silahkan, tapi cepat dan serahkan mereka kepada kami!"
Pek
Sim Tojin lalu menghadapi Liem Toan Ki dan bertanya, "Toan Ki, apa
artinya ini semua? Benarkah kalian menyembunyikan Pusaka Pulau Es di
Hoa-san-pai?"
Liem
Toan Ki dan Bu Swi Nio segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki
Ketua Hoa-san-pai itu. Liem Toan Ki segera berkata, "Harap Supek
mengampunkan teecu berdua. Adalah mendiang Twa-supek yang mengijinkan
teecu berdua dan Beliau yang melarang teecu berdua menceritakan kepada
siapapun juga, bahkan Beliau yang membantu teecu berdua dalam hal ini.
Karena sekarang mereka telah mengetahuinya dan hendak menggunakan
paksaan, biarlah teecu berdua menghadapinya sendiri tanpa membawa-bawa
Hoa-san-pai." Setelah berkata demikian, Toan Ki dan Bu Swi Nio meloncat
bangun, mencabut pedang dan berkatalah Toan Ki dengan suara lantang,
"Haiiii, kaum kang-ouw dengarlah! Urusan ini adalah urusan kami berdua
suami isteri, bukan sebagai murid Hoa-san-pai, maka kalau kalian begitu
tidak tahu malu hendak merampas Pusaka Pulau Es, biar kami menghadapi
kalian sampai titik darah penghabisan!"
"Keparat, aku tidak akan membiarkan kau mampus sebelum kalian menyerahkan pusaka itu." Thian-tok membentak.
"Tahan!"
Tiba-tiba Pek Sim Tojin membentak dan sikapnya angker sekalil. "Cu-wi
sekalian sungguh terlalu, memperebutkan pusaka milik orang lain dan sama
sekali tidak memandang mata kepada Hoa-san-pai, hendak membikin ribut
di sini. Siapa saja tidak akan pinto ijinkan untuk menggunakan kekerasan
di Hoa-san-pai!"
"Tepat
sekali! Aku Tee-tok Siangkoan Houw pun bukan seorang yang tak tahu
malu! Aku tidak akan membolehkan siapa pun menjamah Pusaka Pulau Es yang
menjadi milik Nona Han Swat Hong!" Tiba-tiba tokoh Tai-han-san yang
tinggi besar itu sudah melompat ke atas ruangan luar dan mendampingi
Toan Ki dan Swi Nio dengan sikap gagah!
"Ha-ha-ha,
itu baru namanya laki-laki sejati! Tee-tok, kau membikin aku merasa
malu saja! Aku pun tua bangka yang tidak berguna mana ingin
memperebutkan pusaka orang lain? Aku pun tidak membiarkan siapa pun
memperebutkan pusaka itu!" Lam-hai Seng-jin, guru Kwee Lun, tosu yang
bersikap halus dengan tangan kiri memegang kipas dan tangan kanan
memegang hudtim (kebutan pertapa), telah melangkah ke ruangan depan
mendampingi Tee-tok.
"Masih
ada aku yang menentang orang-orang kang-ouw tak tahu malu hendak
merampas pusaka lain orang!" Tampak bayangan berkelebat disertai suara
halus melengking dan diruang depan itu nampak Gin-siauw Siucai Si
Sastrawan yang bersenjata suling perak dan mauwpit!
Melihat
ini Thian-tok tertawa bergelak dengan hati penuh kemarahan, apalagi
melihat bekas sutenya, Tee Tok, memelopori lebih dulu membela
Hoa-san-pai dan murid Hoa-san-pai yang membawa Pusaka Pulau Es yang amat
dikehendakinya.
"Ha-ha-ha!
Kalian pura-pura menjadi pendekar budiman? Hendak kulihat sampai di
mana kepandaian kalian!" Thian-tok sudah lari ke depan, diikuti oleh
banyak tokoh kang-ouw lagi dan dapat dibayangkan betapa tentu sebentar
akan terjadi perang kecil yang amat hebat antara para anggauta
Hoa-san-pai dibantu oleh tiga tokoh kang-ouw itu melawan para orang
kang-ouw yang memperebutkan pusaka.
"Tahan....!"
Seruan
ini halus dan ramah, tidak mengandung kekerasan sesuatu pun, akan
tetapi anehnya, semua orang merasa ada getaran yang membuat mereka
menghentikan gerakan mereka mencabut senjata dan kini semua mata
memandang ke arah ruangan depan itu karena tadi ada berkelebat dua sosok
bayangan orang ke arah situ.
Ternyata
Sin Liong dan Swat Hong telah berdiri di ruangan depan markas
Hoa-san-pai. Dengan sikap tenang sekali Sin Liong menghadapi semua
orang, terutama sekali memandang tokoh-tokoh besar dunia persilatan yang
hadir, dan yang semua memandang kepadanya dengan mata terbelalak,
kemudian terdengar pemuda ini berkata, "Cu-wi Locian-pwe mengapa sejak
dahulu sampai sekarang gemar sekali memperebutkan sesuatu?"
Thian-tok
Bhong Sek Bin yang berwatak kasar memandang dengan terbelalak, demikian
pula Thian-he Tee-it Ciang Ham, Lam-hai Seng-jin, Gin-siauw Siucai dan
para tokoh lain yang belasan tahun lalu pernah hendak memperebutkan
bocah ajaib, Sin-tong yang bukan lain adalah Sin Liong sendiri. Mereka
merasa kenal dengan pemuda ini, akan tetapi lupa lagi.
"Ka...... kau siapakah.....?" akhirnya Thian-tok bertanya.
"Ha-ha-ha,
kalian lupa lagi siapa dia ini?" Tiba-tiba Tee Tok Siangkoan Houw
berseru keras, hatinya girang dan lega bukan main bahwa dia tadi tidak
ragu-ragu melindungi Pusaka Pulau Es. Melihat munculnya pemuda yang dia
tahu memiliki kelihaian yang luar biasa itu, dia girang sekali. "Coba
lihat dengan baik-baik, belasan tahun yang lalu di lereng Pegunungan
jeng-hoa-san kalian juga memperebutkan sesuatu. Siapa dia?"
"Sin-tong....!"
"Bocah ajaib......!!"
Teringatlah
mereka semua dan kini memandang Sin Liong dengan mata terbelalak. "Mau
apa kau datang ke sini?" thian-tok bertanya dengan suara agak berkurang
galaknya.
Sin
Liong sudah menjura kepada Ketua Hoa-san-pai, kepada Tee tok dan lain
tokoh yang tadi membela Hoa-san-pai, diikuti oleh Swat Hong kemudian
Swat Hong berkata kepada Toan Ki dan Swi Nio, "Terima kasih kami
haturkan kepada Ji-wi (Kalian Berdua) yang ternyata adalah orang-orang
gagah yang pantas dipuji dan dikagumi kesetiaan dan kegagahannya.
Sekarang saya harap Ji-wi suka mengembalikan pusaka-pusaka itu
kepadaku."
Toan
Ki dan Swi Nio menjura dan Toan Ki menjawab, "Harap Lihiap suka menanti
sebentar." kemudian pergilah dia bersama Swi Nio ke sebelah dalam,
diikuti pandang mata Ketua Hoa-san-pai yang menjadi terheran-heran.
"Mau apa kalian dua orang muda datang ke sini?" kembali Thian-tok bertanya.
"Harap
Locianpwe ketahui bahwa kami berdua adalah penghuni Pulau Es yang
datang untuk mengambil kembali Pusaka Pulau Es. Pusaka itu adalah milik
Pulau Es dan harus dikembalikan ke sana."
"Penghuni Pulau Es....??"
Suara
ini bukan hanya keluar dari mulut para tamu, tetapi juga dari pihak
Hoa-san-pai dan mereka yang membelanya, kecuali Tee Tok Siangkoan Houw
yang sudah tahu akan keadaan pemuda dan pemudi itu.
Tak
lama kemudian muncullah Toan Ki dan Swi Nio. Toan Ki membawa bungkusan
yang dulu dia terima dari Swat Hong, lalu menyerahkan bungkusan itu
kepada Swat Hong sambil menjura dan berkata,
"Dengan
ini kami mengembalikan pusaka yang Lihiap titipkan kepada kami dengan
hati lega!" Memang hatinya lega dan girang sekali dapat terlepas dari
tanggung jawab yang amat berat itu.
Swat Hong membuka dan meneliti pusaka-pusaka itu. Melihat bahwa pusaka itu masih lengkap, dia makin kagum.
"Suheng tidak pantas kalau kita tidak membalas budi mereka ini."
Sin
Liong tersenyum, mengangguk, kemudian dia berkata kepada Thian-tok dan
lain tamu yang masih memandang dengan bengong dan kini dari mata mereka
itu terpancar ketegangan dan keinginan besar. Setelah Pusaka Pulau Es
yang terkenal itu tampak di depan mata, mana mungkin mereka mundur
begitu saja tanpa usaha untuk mendapatkannya?
"Cu-wi
Locianpwe jauh-jauh datang ke sini, harap suka memaklumi bahwa
pusaka-pusaka ini telah kembali ke pemiliknya dan akan dikembalikan ke
Pulau Es. Maka kami berdua mengharap sudilah Su-wi tidak mengganggu lagi
Hoa-san-pai dan suka meninggalkan tempat ini."
"Kami harus mendapatkan pusaka itu!"
"Kami juga!"
"Kami minta bagian!"
Teriakan-teriakan
itu terdengar riuh rendah dan Sin Liong lalu berkata lagi dengan halus,
"Kami berdua akan berada di sini selama tiga hari, kemudian kami akan
meninggalkan Hoa-san-pai. Kalau kita tidak berada di sini, masih belum
terlambat bagi kita untuk bicara lagi tentang pusaka. Amatlah tidak baik
bagi nama Cu-wi Locianpwe kalau mengganggu Hoa-san-pai yang sama sekali
tidak tahu-menahu tentang hal ini. Nanti kalau kami sudah meninggalkan
Hoa-san-pai, boleh kita bicara lagi."
Melihat
sikap orang-orang Hoa-san-pai, dan sekarang sudah jelas bahwa pusaka
itu berada di tangan Sin-tong dan dara muda itu, Thian-tok lalu
mendengus dan berkata, "Baik, kami menanti di bawah bukit. Kalian berdua
tidak akan dapat terbang lalu."
Pergilah
mereka itu meninggalkan Hoa-san-pai, akan tetapi semua orang tahu
belaka bahwa mereka tentu akan mengurung tempat itu dan tidak akan
membiarkan Sin Liong dan Swat Hong lolos dari situ membawa pergi
pusaka-pusaka Pulau Es yang amat mereka inginkan itu.
Sin
Liong lalu menjura kepada Ketua Hoa-san-pai, para tokoh Hoa-san-pai,
Toan Ki dan Swi Nio, juga kepada Tee Tok dan mereka yang tadi membela
Hoa-san-pai, kemudian berkata, "Terutama kepada Saudara Liem Toan Ki dan
Nyonya, sudah sepantasnya kalau kami meninggalkan sedikit ilmu untuk
Jiwi pelajari. Dan kepada para Locianpwe, kiranya akan ada manfaatnya
kalau saya melayani para Locianpwe main-main sedikit untuk memperluas
pengetahuan ilmu silat."
Semua
orang menjadi ragu-ragu karena tidak tahu akan maksud hati pemuda yang
aneh itu, akan tetapi Tee-tok Siangkoan Houw sudah tertawa bergelak lalu
meloncat ke halaman depan.
"Marilah, ingin aku tua bangka ini memperdalam sedikit kepandaianku!"
Sin
Liong tersenyum lalu melangkah perlahan ke pekarangan. "Silahkan
Siangkoan Locianpwe menggunakan Pek-liu-kun (Ilmu Silat Tangan
Geledek)!" katanya tenang. "Harap Locianpwe jangan sungkan dan
keluarkanlah jurus-jurus simpanan dari Pek-liu-kun!"
Tee
Tok sudah maklum akan kehebatan pemuda ini, dan setelah dua tahun tidak
jumpa, kini sikap pemuda ini luar biasa sekali, bahkan dengan kata-kata
biasa saja pemuda itu sudah mengundurkan semua orang yang tadi sudah
bersitegang hendak menggunakan kekerasan. Dia dapat menduga bahwa
bukanlah percuma pemuda ini mengajak dia berlatih silat, tentu ada
niat-niat tertentu. Karena dia merasa bahwa dia tidak mempunyai maksud
jahat dan tadi membela Pusaka Pulau Es dengan sungguh hati, dia kini pun
tanpa ragu-ragu lagi lalu mengeluarkan gerengan keras dan tubuhnya
berkelebat ke depan. Dengan sepenuh tenaga dan perhatiannya, dia
menyerang pemuda itu dengan jurus-jurus simpanan dari Ilmu Silat
Pek-lui-kun yang dahsyat.
"Haiiittt..... eihhh.....?"
Bukan
main heran dan kagetnya ketika melihat pemuda itu menghadapi dengan
gerakan-gerakan yang sama! Tiap jurus yang dimainkannya, dihadapi oleh
Sin Liong dengan jurus yang sama pula dan dipakai sebagai serangan
balasan namun dengan cara yang sedemikian hebatnya sehingga jurus yang
dimainkannya itu tidak ada artinya lagi! Jurus yang dimainkan oleh
pemuda itu untuk menghadapinya jauh lebih ampuh, dan sekaligus menutup
semua kelemahan yang ada, menambah daya serang yang amat hebat sehingga
dalam jurus pertama saja, kalau pemuda itu menghendaki, tentu dia sudah
dirobohkan sungguhpun dia sudah hafal benar akan jurusnya sendiri itu!
Bukan
main girang hati kakek itu. Dia terus menyerang lagi dengan jurus lain,
dan sama sekali dia menggunakan delapan belas jurus terampuh dari
Pek-lui-kun dan yang kesemuanya selain dapat dihindarkan dengan baik
oleh Sin Liong, juga telah dengan sekaligus "diperbaiki" dengan
sempurna. Semua gerakan ini dicatat oleh Tee Tok dan setelah dia selesai
mainkan delapan belas jurus pilihan itu, dia melangkah mundur dan
menjura sangat dalam ke arah Sin Liong.
"Astaga....
kepandaian Taihiap seperti dewa saja......., saya...... saya
menghaturkan banyak terima kasih atas petunjuk Taihiap....." katanya
agak tergagap.
"Ah, Locianpwe terlalu merendah," jawab Sin Liong.
Tee
Tok lalu menjura ke arah Ketua Hoa-san-pai dan yang lain-lain, seketika
pamit dan pergi dengan langkah lebar dan wajah termenung karena dia
masih terpesona dan mengingat-ingat gerakan-gerakan baru yang
menyempurnakan delapan belas jurus pilihannya tadi!
Lam
Hai Seng-jin bukan seorang bodoh. Dia adalah seorang tokoh kawakan yang
berilmu tinggi. Melihat peristiwa tadi, tahulah dia bahwa pemuda ini
memang bukan orang sembarangan dan agaknya telah mewarisi ilmu mujijat
yang kabarnya dimiliki oleh penghuni Pulau Es. Maka dia tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan itu dan dia sudah meloncat maju dengan senjata
hudtim dan kipasnya. "Orang muda yang hebat, kau berilah petunjuk
kepadaku!"
"Totiang,
muridmu Kwee Lun Toako adalah sahabat baik kami, harap Totiang sudi
mengajarnya baik-baik," jawab Sin Liong dan dia pun segera menghadapi
serangan kipas dan hudtim dengan kedua tangannya.
Biarpun
dia tidak menggunakan kedua senjata itu, namun kedua tangannya
digerakan seperti kedua senjata itu, dan dia pun mainkan jurus-jurus
yang sama, namun gerakannya jauh lebih hebat, bahkan sempurna. Seperti
juga tadi, kakek ini memperhatikan dan dia telah menghafal dua puluh
jurus campuran ilmu hudtim dan kipas.
"Terima
kasih, terima kasih..... Siancai, pengalaman ini takkan kulupakan
selamanya." Dia menjura kepada yang lain lalu berlari pergi.
"Totiang,
sampaikan salamku kepada Kwee-toako!" seru Swat Hong, akan tetapi kakek
itu hanya mengangguk tanpa menoleh karena dia pun sedang
mengingat-ingat semua jurus tadi agar tidak sampai lupa.
Berturut-turut
Gin-siauw Siucai juga menerima petunjuk ilmu silat suling perak dan
mauwpitnya, kemudian Ketua Hoa-san-pai juga menerima petunjuk ilmu
pedang Hoasan-kiamsut.
Para
tokoh kang-ouw yang mengurung tempat itu di lereng puncak,
terheran-heran melihat tiga orang tokoh itu meninggalkan puncak seperti
orang yang termenung. Akan tetapi diam-diam mereka menjadi girang karena
tiga orang lihai itu tidak membantu atau mengawal muda-mudi Pulau Es
yang mereka hadang.
Tiga
hari lamanya Sin Liong dan Swat Hong tinggal di Hoa-san, setiap hari
menurunkan ilmu-ilmu tingi kepada Toan Ki dan Swi Nio sehingga kedua
orang suami isteri ini kelak akan menjadi tokoh-tokoh kenamaan dan
mengangkat nama Hoa-san-pai sebagai partai persilatan yang besar dan
lihai. Pada hari ke empatnya, pagi-pagi mereka meninggalkan markas
Hoa-san-pai, diantar sampai ke pintu gerbang oleh Ketua Hoa-san-pai,
Toan Ki, Swi Nio dan para pimpinan Hoa-san-pai.
"Taihiap,
Lihiap, pinto khawatir Jiwi akan mengalami gangguan di jalan. Menurut
laporan para anak murid pinto, orang-orang kang-ouw itu masih menanti di
lereng gunung." Pek Sim Tojin berkata dengan alis berkerut. "Bagaimana
kalau kami mengantar Ji-wi sampai melewati mereka dengan selamat?"
Sin
Liong tersenyum. "Terima kasih, Locianpwe. Akan tetapi, menghindari
mereka berarti membuat mereka terus merasa penasaran. Sebaiknya malah
kalau kami berdua menemui mereka dan membereskan persoalan seketika
juga."
Toan
Ki dan Swi Nio yang selama tiga hari menerima petunjuk dari Sin Liong,
telah menaruh kepercayaan penuh akan kesaktian pemuda Pulau Es ini, maka
mereka tidak merasa khawatir. Mereka maklum bahwa pemuda dan gadis dari
Pulau Es itu bukanlah manusia sembarangan, apalagi pemuda itu memiliki
wibawa yang tidak lumrah manusia, gerak-geriknya demikian penuh
kelembutan, penuh belas kasih sehingga tidaklah mungkin dapat terjadi
sesuatu yang buruk menimpa seorang manusia seperti ini!
Memang
benar seperti yang dilaporkan oleh anak buah Hoa-san-pai bahwa para
tokoh kang-ouw itu, dipelopori oleh Thian-tok, masih menghadang di
lereng puncak. Thian-tok yang tadinya mengandalkan kepandaiannya
sendiri, setelah menyaksikan betapa pemuda dan dara Pulau Es itu telah
mendapatkan kembali pusaka-pusakanya, diam-diam telah mengajak semua
tokoh lain bersekutu dengan janji bahwa kalau pusaka dapat dirampas, dia
akan memberi bagian kepada mereka semua. Terutama yang menjadi
pembantunya sebagai orang ke dua adalah Thian-he Tee-it Ciang Ham yang
tingkat kepandaiannya hanya berselisih atau kalah sedikit saja
dibandingkan dengan kepandaian Racun Langit itu.
Maka
ketika Sin Liong yang membawa pusaka di punggungnya bersama Swat Hog
berjalan perlahan dan tenang melalui tempat itu, segera para tokoh
kang-ouw itu muncul dan telah mengurung dua orang muda itu dengan ketat,
mempersiapkan senjata masing-masing dengan sikap mengancam.
"Ha-ha-ha!"
Thian-tok tertawa bergelak sambil melintangkan senjata tongkat panjang
Kim-kauw-pang. "Engkau memang seorang muda yang memegang janji. Jangan
kepalang dengan sikap baikmu itu, orang muda. Serahkan saja pusaka di
punggungmu itu secara baik-baik kepada kami, dan percayalah, kami tidak
akan mengganggu kalian lagi, bahkan kalau kalian suka, aku Thian-tok
Bhong Sek Bin mau menerima kalian menjadi muridku!"
"Sin
Liong itu memang patut menjadi muridmu, Thian-tok. Akan tetapi Nona ini
biarlah aku yang mendidiknya, heh-heh-heh!" Thian-he Tee-it Ciang Ham
berkata terkekeh dengan sikap ceriwis.
Biasanya
orang ini pendiam, keras dan kasar, akan tetapi menghadapi
pusaka-pusaka Pulau Es di depan mata, dia merasa tegang sekali dan
memaksa diri berkelakar sehingga kelihatan ceriwis dan tidak pantas.
Swat
Hong sudah menjadi merah mukanya akan tetapi Sin Liong tersenyum
kepadanya dan seketika lenyaplah perasaan maranya tadi. Dia diam saja,
memandang dengan sikap tenang, menyerahkan semua kepada suhengnya.
Pemuda itu lalu menghadapi mereka dan berkata,
"Sekarang
kita tidak mengganggu dan menyeret Hoa-san-pai dalam urusan kita, dan
memang sebaiknya kalau kita selesaikan rasa penasaran yang mengganggu
Cu-wi sekalian. Sebenarnya, apakah yang Cu-wi kehendaki?"
"Apalagi? Kami minta semua pusaka itu diberikan kepada kami!" Thian-tok berkata dengan suara lantang.
Sin
Liong menggeleng-gelengkan kepala. "Hal itu tidak bisa dilakukan, Cu-wi
Locianpwe. Pusaka-pusaka ini adalah milik Pulau Es turun-temurun, mana
mungkin sekarang diserahkan kepada orang lain? Setelah kami berdua
berhasil menemukannya kembali, kami harus mengembalikannya kepada Pulau
Es, tempatnya semula. Maka harap Cu-wi suka memaklumi hal ini dan tidak
memaksa kepada kami."
"Orang muda yang keras kepala! Kalau kami memaksa, bagaimana?"
"Terserah kepada Cu-wi sekalian. Sumoi, harap Sumoi suka pergi dulu ke pinggir, jangan menghalangi para Locianpwe ini."
Swat
Hong mengangguk dan tersenyum, kemudian tubuhnya berkelebat dan
terkejutlah semua orang kang-ouw itu ketika melihat gadis itu meloncat
seperti terbang saja, melayang melalui kepala mereka dan kini telah
berdiri di luar kepungan! Sungguh merupakan bukti kepandaian ginkang
(Ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat!
Sin
Liong sengaja menyuruh sumoinya pergi keluar dari kepungan karena tidak
menghendaki sumoinya itu naik darah dan turun tangan menggunakan
kekerasan terhadap orang-orang kang-ouw ini. Setelah kini melihat
sumoinya keluar dari kepungan, dia lalu menyilangkan kedua lengannya di
depan dada, berkata, "Silahkan kepada Cu-wi apa yang hendak Cu-wi
lakukan setelah jelas kukatakan bahwa Pusaka Pulau Es tidak akan
kuberikan kepada Cu-wi."
Melihat
sikap tenang dan penuh tantangan ini, para tokoh kang-ouw menjadi marah
juga. Pemuda itu tidak memegang senjata, berdiri dalam kepungan dan
pusaka itu berada di dalam buntalan yang berada di punggungnya. Maka
serentak orang-orang kang-ouw yang sudah mengilar dan ingin sekali
merampas pusaka itu menerjang maju dan berebut hendak menyerang Sin
Liong dan mengulur tangan hendak merampas buntalan. Pemuda itu hanya
berdiri tersenyum, berdiri tegak dan menyilangkan kedua lengannya sambil
memandang tanpa berkedip mata.
"Ahhh....!"
"Hayaaa.....!"
"Aihhhh.....!"
Semua
orang terhuyung-huyung mundur karena belum juga tangan mereka menyentuh
pemuda itu, hati mereka sudah lemas dan luluh menghadapi wajah yang
tersenyum itu, tangan mereka seperti lumpuh dan tenaga mereka seperti
lenyap seketika membuat mereka terhuyung dan hampir jatuh saling timpa!
Thian-tok
dan Thian-he Tee-it menjadi kaget dan marah sekali melihat keadaan
teman-teman mereka itu. Kedua orang berilmu tinggi ini memang membiarkan
teman-teman mereka turun tangan lebih dulu untuk menguji kepandaian
pemuda yang keadaannya amat mencurigakan karena terlampau tenang itu.
Kini melihat betapa teman-temannya mundur tanpa pemuda itu menggerakan
sebuah jari tangan pun, kedua orang itu terkejut marah dan penasaran.
Thian-tok menerjang ke depan dengan senjata Kim-kauw-pang di tangannya,
sedangkan Ciang Ham juga sudah meloncat dekat dengan senjata tombak di
tangan.
"Orang muda, serahkan pusaka itu!" Thian-tok membentak.
"Sin-tong, jangan sampai terpaksa aku menggunakan tombak pusakaku!" Ciang ham juga menghardik.
Akan
tetapi Sin Liong tetap tidak bergerak hanya berkata, "Terserah kepada
Ji-wi Locianpwe, Ji-wi yang melakukan dan Ji-wi pula yang menanggung
akibatnya."
"Keras kepala!" Thian-tok membentak dan tongkatnya yang panjang sudah menyambar ke arah kepala pemuda itu.
Sin
Liong sama sekali tidak mengelak, bahkan berkedip pun tidak ketika
melihat tongkat itu menyambar ke arah kepalanya, disusul tombak di
tangan Thian-he Tee-it Ciang Ham yang menusuk ke arah lambungnya.
"Desss! Takkkk!!"
"Aihhh.......!"
"Heiiii....."
Thian-tok
Bhong Sek Bin dan Thian-he Tee-it Ciang ham berteriak kaget dan
meloncat ke belakang. Tongkat itu tepat mengenai kepala dan tombak itu
pun tepat menusuk lambung, namun kedua senjata itu terpental kembali
seperti mengenai benda yang amat kuat, bahkan telapak tangan mereka
terasa panas! Tentu saja mereka merasa penasaran, biarpun ada rasa ngeri
di dalam hati mereka. Pada saat itu, orang-orang kang-ouw lainnya yang
melihat betapa dua orang lihai itu sudah menyerang dengan senjata, juga
menyerbu ke depan.
Sin
Liong tetap diam saja ketika belasan batang senjata yang bermacam-macam
itu datang bagaikan hujan menimpa tubuhnya. Semua senjata tepat
mengenai sasaran, akan tetapi tidak ada sedikit kulit tubuh pemuda itu
yang lecet, kecuali pakaiannya yang robek-robek dan orang-orang itu
terpelanting ke sana-sini, bahkan ada yang terpukul oleh senjata mereka
sendiri yang membalik. Makin keras orang menyerang, makin keras pula
senjata mereka membalik. Bahkan Thian-tok sudah mengelus kepalanya yang
benjol terkena kemplangan tongkatnya sendiri, sedangkan paha Ciang ham
berdarah karena tombaknya pun membalik tanpa dapat ditahannya lagi
ketika mengenai tubuh Sin Liong untuk yang kedua kalinya.
Ketika
mereka memandang dengan mata terbelalak kepada Sin Liong, mereka
melihat pemuda itu masih tersenyum-senyum, masih berdiri tegak dengan
kedua lengan bersilang di depan dada, hanya bedanya, kini pakaiannya
robek-robek dan penuh lobang.
Thian-tok
dan Thian-he Tee-it adalah orang-orang yang terkenal di dunia
persilatan sebagai tokoh-tokoh besar yang sudah banyak mengalami
pertempuran. Mereka tahu pula bahwa orang yang memiliki sinkang amat
kuat dapat menjadi kebal, akan tetapi selama hidup mereka belum pernah
menyaksikan kekebalan seperti yang dihadapi mereka sekarang ini.
Kekebalan yang agaknya tanpa disertai pengerahan tenaga. Apalagi melihat
cahaya aneh seperti melindungi tubuh pemuda itu, mereka maklum bahwa
pemuda ini bukan orang sembarangan. Tanpa melawan saja pemuda ini telah
membuat mereka tidak berdaya, betapa hebatnya kalau pemuda ini
mengangkat tangan membalas!
"Maafkan kami......!" Thian-tok berseru lalu melompat dan berlari pergi.
"Sin-tong, maafkan......!" Ciang Ham juga berkata lalu menyeret tombaknya, terpincang-pincang pergi dari situ.
Tentu
saja para tokoh lain yang memang sudah merasa ngeri dan jerih, melihat
kedua orang yang diandalkan itu lari, cepat membalikkan tubuh dan
berserabutan lari dari situ meninggalkan Sin Liong yang masih berdiri
tegak di tempat itu.
Swat Hong lari menghampiri suhengnya, lalu memeluk suhengnya itu. "Suheng......., kau tidak apa-apa......?" tanyanya.
Sin Liong menggeleng kepala dan tersenyum.
"Pakaianmu hancur......"
"Pakaian rusak mudah diganti, akhlak yang rusak lebih menyedihkan lagi karena mendatangkan malapetaka."
"Suheng, kau......"
"Ada apakah, Sumoi......?"
Swat
Hong menggelengkan kepala dan dia melepaskan rangkulannya, melangkah
mundur dua tindak dan memandang suhengnya dengan pandang mata penuh
takjub dan juga jerih. "Suheng, kau...... kau berbeda dari dulu......."
"Aih, Sumoi, aku tetap Sin Liong suhengmu yang dahulu."
"Tidak,
tidak.....! kau berbeda sekali. Ilmu apakah yang kau pergunakan tadi?
Mendiang Ayahku sekalipun tidak pernah memperlihatkan ilmu mujijat
seperti itu........"
"Apakah
keanehannya, Sumoi? Ilmu yang berdasarkan kekerasan tentu hanya
mengakibatkan pertentangan dan kerusakan belaka, dan setiap bentuk
kekerasan hanya akan mecelakakan diri sendiri."
"Suheng, ajarilah aku ilmu tadi....."
"Tidak ada yang bisa mengajar, kelak kau akan mengerti sendiri, Sumoi. marilah kita lanjutkan perjalanan kita."
Setelah
berkata demikian, Sin Liong memegang tangan sumoinya dan terdengar
jerit tertahan dara itu ketika dia merasa bahwa dia dibawa lari oleh
suhengnya dengan kecepatan seperti terbang saja! Dia sendiri adalah
seorang ahli ginkang yang memiliki ilmu berlari cepat cukup luar biasa,
akan tetapi apa yang dialaminya sekarang ini benar-benar seperti
terbang, atau seperti terbawa oleh angin saja! Makin yakinlah hatinya
bahwa suhengnya telah menjadi seorang yang amat luar biasa kesaktiannya,
menjadi seorang manusia dewa!
Gerakan
pembalasan yang dilakukan oleh Kaisar Kerajaan Tang yang baru, yaitu
kaisar Su Tiong, yang dilakukan dari Secuan, amat hebat. Gerakan
pembalasan untuk merampas kembali ibu kota Tiang-an dari tangan
pemberontak ini dibantu oleh pasukan yang dapat dikumpulkan di Tiongkok
bagian barat, dibantu pula oleh pasukan Turki, bahkan pasukan Arab.
Dengan bala tentara yang besar dan kuat, Kaisar Su Tiong melakukan
serangan balasan terhadap pemerintah pemberontak yang tidak lagi
dipimpin oleh An Lu Shan karena jenderal pemberontak itu telah tewas.
Perang
hebat terjadi selama sepuluh tahun, dan di dalam perang ini, para
pemberontak dapat dihancurkan dan kota demi kota dapat dirampas kembali
sampai akhirnya ibu kota dapat direbut kembali oleh Kaisar Su Tiong. Di
dalam perang ini, Han Bu Ong putera The Kwat Lin yang bersama
orang-orang kerdil membantu pemerintah pemberontak, tewas pula dalam
pertempuran hebat sampai tidak ada seorangpun orang kerdil tinggal
hidup.
Dalam
tahun 766 berakhirlah perang yang mengorbankan banyak harta dan nyawa
itu, namun kerajaan Tang telah menderita hebat sekali akibat perang yang
mula-mula ditimbulkan oleh pemberontak An Lu Shan itu. Kematian yang
diderita rakyat, pembunuhan-pembunuhan biadab yang terjadi di dalam
perang selama pemberontakan ini adalah yang terbesar menurut catatan
sejarah. Menurut catatan kuno, tidak kurang dari tiga puluh lima juta
manusia tewas selama perang yang biadab itu! Bukan hanya kerugian harta
dan nyawa saja, akan tetapi juga setelah perang berakhir, Kerajaan Tang
kehilangan banyak kekuasaan atau kedaulatannya! Bantuan-bantuan yang
diterima oleh Kaisar di waktu merebut kembali kerajaan, membuat Kaisar
terpaksa membagi-bagi daerah kepada para pembantu yang diangkat menjadi
gubernur-gubernur yang lambat laun makin besar kekuasaannya dan
seolah-olah menjadi raja-raja kecil yang berdaulat sendiri.
Di
samping itu, pemberontak An Lu Shan membentuk pasukan-pasukan yang
ketika pemberontak dihancurkan, melarikan diri ke perbatasan dan menjadi
pasukan-pasukan liar yang selalu merupakan gangguan terhadap kekuasaan
pemerintah.
Demikianlah,
dengan dalih apapun juga, pemberontakan lahiriah hanya mendatangkan
kerusakan dan malapetaka, karena tidaklah mungkin perdamaian diciptakan
oleh perang! Menurut sejarah di seluruh dunia, tidak pernah ada revolusi
jasmani mendatangkan perdamaian dan kesejahteraan. Kiranya hanyalah
revolusi batin, revolusi yang terjadi di dalam diri setiap orang
manusia, yang akan dapat mengubah keadaan yang menyedihkan dari
kehidupan manusia di seluruh dunia ini.
Dengan
tewasnya Han Bu Hong di dalam perang itu, maka habislah semua tokoh
yang keluar dari Pulau Es dan Pulau Neraka. Yang tinggal hanyalah Sin
Liong dan Swat Hong berdua saja, akan tetapi kedua orang ini pun sudah
kembali ke Pulau Es dan semenjak peristiwa di Hoa-san-pai itu, tidak ada
lagi yang tahu bagaimana keadaan kedua orang itu dan di mana adanya
mereka!
Yang
jelas, Pulau Es masih ada dan kedua orang suheng dan sumoi yang saling
mencinta itu pun masih hidup. Buktinya, beberapa tahun kemudian
kadang-kadang mereka itu muncul sebagai manusia-manusia sakti
menyelamatkan belasan orang nelayan yang perahunya diserang badai.
Didalam kegelapan selagi badai mengamuk dahsyat itu, ketika
perahu-perahu mereka dipermainkan badai dan nyaris terguling, tiba-tiba
muncul sebuah perahu kecil yang didayung oleh seorang pria berpakaian
putih dan seorang wanita cantik, dan kedua orang ini dengan kesaktian
luar biasa menggunakan tali untuk menjerat perahu-perahu itu kemudian
menariknya keluar dari daerah yang diamuk badai!
Apakah
mereka itu Sin Liong dan Swat Hong, tidak ada orang yang mengetahuinya
karena setiap kali muncul menolong para nelayan dan para penghuni
pulau-pulau yang berada di utara, kedua orang itu tidak pernah
memperkenalkan nama mereka. Kalau benar mereka itu adalah Sin Liong dan
Swat Hong, bagaimanakah jadinya dengan mereka? Apakah suheng dan sumoi
yang saling mencinta dan yang telah kembali ke Pulau Es itu langsung
menjadi suami isteri? Hal ini pun tidak ada yang tahu, karena agaknya
bagi mereka berdua, menjadi suami isteri atau bukan adalah hal yang
tidak penting lagi. Diri mereka telah dipenuhi oleh cinta kasih, bukan
cinta kasih yang biasa melekat di bibir manusia pada umumnya, karena
cinta kasih seperti itu telah diselewengkan artinya, cinta kasih kita
manusia hanya akan mendatangkan kesenagan dan kesusahan belaka dan
justeru karena cinta kasih kita itu mendatangkan kesenangan maka dia
mendatangkan pula kesusahan karena kesenangan dan kesusahan adalah
saudara kembar yang tak mungkin dapat dipisah. Menerima yang satu harus
menerima pula yang ke dua, yang mau menikmati kesenangan harus pula mau
menderita kesusahan. Tidak, cinta kasih mereka bukan seperti cinta kasih
palsu yang kita punyai!
Pernah
ada seorang anak nelayan yang diwaktu malam hari, ketika perahunya
diayun-ayun gelombang kecil dan dia sedang menggantikan ayahnya yang
tertidur untuk menjaga kail, mendengar nyanyian halus yang dinyanyikan
oleh seorang wanita cantik di atas perahu dan yang kelihatan
remang-remang di bawah sinar bulan purnama di malam itu. Anak yang
cerdas ini masih teringat akan bunyi nyanyian itu seperti berikut:
"Langit, Bulan dan Lautan kalian mempunyai Cinta kasih
namun tak pernah bicara tentang Cinta kasih!
Kasihanilah manusia yang miskin dan haus akan Cinta Kasih,
bertanya-tanya apakah Cinta Kasih itu?
Bilamana tidak ada ikatan
tidak ada pamerih dan rasa takut
tidak memiliki atau dimiliki
tidak menuntut dan tidak merasa memberi.
Tidak menguasai atau dikuasai
tidak ada cemburu, iri hati
tidak ada dendam dan amarah
tidak ada benci dan ambisi.
Bilamana tidak ada iba diri
tidak mementingkan diri pribadi,
bilamana tidak ada "Aku"
barulah ada Cinta Kasih........"
Puluhan
tahun, bahkan seratus tahun kemudian di dunia kang-ouw timbul semacam
cerita setengah dongeng tentang seorang manusia dewa yang mereka sebut
Bu Kek Siansu, seorang laki-laki tua yang sederhana namun yang
pribadinya penuh cinta kasih, cinta kasih terhadap siapa pun dan apa
pun. Bu Kek Siansu yang dikenal sebagai tokoh Pulau Es dan menurut
cerita tradisi dari keturunan tokoh-tokoh seperti Tee Tok Siangkoan
Houw, Lam Hai Sengjin dan muridnya, Kwee Lun, Gin-siauw Siucai,
tokoh-tokoh Hoa-san-pai, katanya bahwa Bu Kek Siansu itu adalah anak
yang dahulu disebut Sin-tong (Anak Ajaib), yaitu pemuda Kwa Sin Liong
yang menghilang bersama sumoinya, Han Swat Hong, dan yang kabarnya
menetap di Pulau Es, tidak pernah lagi terjun ke dunia ramai.
Dan
memang seorang manusia seperti Bu Kek Siansu tidak pernah mau
menonjolkan diri, selalu bergerak tanpa pamrih, hanya digerakan oleh
cinta kasih. Maka kita pun tidak mungkin dapat mengikuti seorang manusia
seperti Bu Kek Siansu, dan hanya kadang-kadang saja dapat melihat
muncul di antara orang banyak, dan di dalam dunia persilatan, Bu Kek
Siansu akan muncul di dalam ceritera "Suling Emas".
Demikinlah,
terpaksa pengarang menutup cerita "Bu Kek Siansu" ini yang hanya dapat
menceritakan pengalaman pemuda Kwa Sin Liong sewaktu dia belum menjadi
seorang Bu Kek Siansu, sewaktu dia belum memiliki cinta kasih sehingga
masih diombang-ambingkan oleh suka dan duka dalam kehidupannya. Dengan
mengenangkan isi nyanyian yang dinyanyikan oleh anak nelayan itu,
penulis mengajak para Pembaca Budiman untuk sama-sama mempelajari dan
mudah-mudahan kita pun akan memiliki Cinta Kasih melalui pengenalan diri
pribadi. Teriring salam bahagia dari pengarang dan sampai jumpa kembali
di lain cerita.