Pagi itu bukan main indahnya di dalam hutan di lereng Pegunungan Jeng
Hoa San (Gunung Seribu Bunga). Matahari muda memuntahkan cahayanya yang
kuning keemasan ke permukaan bumi, menghidupkan kembali rumput-rumput
yang hampir lumpuh oleh embun, pohon-pohon yang lenyap ditelan kegelapan
malam, bunga-bunga yang menderita semalaman oleh hawa dingin menusuk.
Cahaya kuning emas membawa kehangatan, keindahan, penghidupan itu
mengusir halimun tebal, dan halimun lari pergi dari cahaya raja
kehidupan itu, meninggalkan butiran-butiran embun yang kini menjadi
penghias ujung-ujung daun dan rumput membuat bunga-bunga yang beraneka
warna itu seperti dara-dara muda jelita sehabis mandi, segar dan
berseri-seri.
Cahaya matahari yang lembut itu tertangkis oleh daun dan ranting
pepohonan hutan yang rimbun, namun kelembutannya membuat cahaya itu
dapat juga menerobos di antara celahcelah daun dan ranting sehingga
sinar kecil memanjang yang tampak jelas di antara bayang-bayang pohon
meluncur ke bawah, di sana sini bertemu dengan pantulan air membentuk
warna pelangi yang amat indahnya, warna yang dibentuk oleh segala macam
warna terutama oleh warna dasar merah, kuning dan biru. Indah! Bagi mata
yang bebas dari segala ikatan, keindahan itu makin terasa, keindahan
yang baru dan yang senantiasa akan nampak baru biarpun andaikata
dilihatnya setiap hari Sebelum cahaya pertama yang kemerahan dari
matahari pagi tampak, keadaan sunyi senyap. Yang mula-mula membangunkan
hutan itu adalah kokok ayam hutan yang pendek dan nyaring sekali, kokok
yang tibatiba dan mengejutkan, susul menyusul dari beberapa penjuru.
Kokok ayam jantan inilah yang menggugah para burung yang tadinya
diselimuti kegelapan malam, menyembunyikan muka ke bawah selimut tebal
dan hangat dari sayap mereka, kini terjadilah gerakan-gerakan hidup di
setiap pohon besar dan terdengar kicau burung yang sahut-menyahut,
bermacammacam suaranya, bersaing indah dan ramai namun kesemuanya
memiliki kemerduan yang khas. Sukar bagi telinga untuk menentukan mana
yang lebih indah, karena suara yang bersahut-sahutan itu merupakan
kesatuan seperangkat alat musik yang dibunyikan bersama. Yang ada pada
telinga hanya indah! Sukar dikatakan mana yang lebih indah, suara
burung-burung itu sendiri ataukan keheningan kosong yang terdapat di
antara jarak suara-suara itu. Anak laki-laki itu masih amat kecil. Tidak
akan lebih dari tujuh tahun usianya. Dia berdiri seperti sebuah patung,
berdiri di tempat datar yang agak tinggi di hutan Gunung Seribu Bunga
itu, menghadap ke timur dan sudah ada setengah jam lebih dia berdiri
seperti itu, hanya matanya saja yang bergerak-gerak, mata yang lebar
yang penuh sinar ketajaman dan kelembutan, seperti biasa mata
kanak-kanak yang hidupnya masih bebas dan bersih, namun di antara kedua
matanya, kulit di antara alis itu agak terganggu oleh garisgaris lurus.
Aneh melihat seorang anak kecil seperti itu sudah ada keriput di antara
kedua alisnya! Anak itu pakaiannya sederhana sekali, biarpun amat bersih
seperti bersihnya tubuhnya, dari rambut sampai ke kuku jari tangannya
yang terpelihara dan bersih, wajahnya biasa saja, seperti anak-anak lain
dengan bentuk muka yang tampan, hanya matanya dan keriput di antara
matanya itulah yang jarang terdapat pada anak-anak dan membuat dia
menjadi seorang anak yang mudah mendatangkan kesan pada hati
pemandangnya sebagai seorang anak yang aneh dan tentu memiliki sesuatu
yang luar biasa.
Sepasang mata anak itu bersinar-sinar penuh seri kehidupan ketika dia
tadi melihat munculnya bola merah besar di balik puncak gunung sebelah
timur, bola merah yang amat besar dan yang mula-mula merupakan
pemandangan yang amat menarik hati, akan tetapi lambat laun merupakan
benda yang tak kuat lagi mata memandangnya karena cahaya yang makin
menguning dan berkilauan. Maka dia mengalihkan pandangannya, kini
menikmati betapa cahaya yang tiada terbatas luasnya itu menghidupkan
segala sesuatu, dari puncak pegunungan sampai jauh di sana, di bawah
kaki gunung. gerakan Anak itu lalu menanggalkan pakaiannya, satu semi
satu dengan sabar dan tidak tergesa-gesa, tanpamenengok ke kanan kiri
karena selama ini dia tahu bahwa di pagi hari seperti itu tidak akan ada
seorang.pun manusia kecuali dirinya sendiri berada di situ. Dengan
telanjang bulat dia lalu menghampiri sebuahbatu dan duduk bersila,
menghadap matahari. Duduknya tegak lurus, kedua kakinya bersilang dan
napasnya masuk keluar dengan halus tanpa diatur, tanpa paksaan seperti
pernapasan seorang bayi sedang tidur nyenyak. Sudah beberapa tahun dia
melakukan ini setiap hari duduk sambil mandi cahaya matahari selama dua
tiga jam sampai semua tubuhnya bermandi peluh dan terasa panas barulah
dia berhenti. Juga di waktu malam terang bulan, dia duduk pula di batu
itu, telanjang bulat, mandi cahaya bulan purnama selama tujuh malam,
kadangkadang sampai lupa diri dan duduk bersila sampai setengah tidur,
dan barulah dia berhenti kalau tubuh sudah hampir membeku dan bulan
sudah lenyap bersembunyi di balik pumcak barat. Anakyang luar biasa!
Memang. Demikian pula penduduk di sekitar Pegunungan Jeng Hoa San
menyebutnya Sin Tong (Anak Ajaib), demikianlah nama anak ini yang
diketahui orang. Anak ajaib, anak sakti dan lain-lain sebutan lagi.
Karena semua orang menyebutnya Sin Tong dan memang dia sendiri tidak
pernah mau menyatakan siapa namanya, maka anak itu sudah menjadi
terbiasa dengan sebutan ini dan menganggap namanya Sin Tong! Mengapakah
orang-orang dusun, penghuni semua dusun di sekitar lereng dan kaki
Pegunungan Jeng Hoa San menyebutnya anak ajaib? Hal ini ada sebabnya,
yaitu karena anak berusia tujuh tahun itu pandai sekali mengobati
penyakit dengan memberi daun-daun, buah-buah, dan akar-akar obat yang
benar-benar manjur sekali! Hampir semua penduduk yang terkena penyakit
datang ke lereng Hutan Seribu Bunga, yaitu nama hutan di mana anak itu
tinggal karena di antara sekalian hutan di Pegunungan Seribu Bunga,
hutan inilah yang benar-benar tepat disebut Hutan Seribu Bunga denga
tetumbuhan beraneka warna, penuh dengan bunga-bunga indah, terutama
sekali pada musim semi. Dan anak ini memberi daun atau akar obat dengan
hati terbuka, dengan hati terbuka, dengan tulus ikhlas, suka rela dan
selalu menolak kalau diberi uang! Maka berduyun-duyun orang dusun datang
kepadanya dan diam-diam memujanya sebagai seorang anak ajaib, sebagai
dewa yang menjelma menjadi seorang anakanak yang menolong dusun-dusun
itu dari malapetaka. Bahkan ketika terjangkit penyakit menular, penyakit
demam hebat yang menimbulkan banyak korban tahun lalu, bocah ajaib
inilah yang membasminya dengan memberi akar-akar tertentu yang harus
diminum airnya setelah dimasak. Dengan akar itu, yang sakit banyak
tertolong dan yang belum terkena penyakit tidak akan ketularan. Ketika
orang-orang dusun itu, terutama yang wanita, datang membawa pakaian baru
yang sudah dijahit rapi, anak itu tak dapat menolak, dan menyatakan
terima kasihnya dengan butiran air mata menetes di kedua pipinya akan
tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Karena jasa
orang-orang dusun ini, maka anak itu selalu berpakaian sederhana sekali,
potongan "dusun". Siapakah sebetulnya anak kecil ajaib yang menjadi
penghuni Hutan Seribu Bunga seorang diri saja itu? Benarkah dia seorang
dewa yang turun dari kahyangan menjadi seorang anak-anak untuk menolong
seorang manusia, seperti kepercayaan para penduduk di Pegunungan Tibet
sehingga banyak terdapat Lama yang dianggap sebagai Sang Budha sendiri
yang "menjelma" menjadi anak-anak dan menjadi calon Lama. Sebetulnya
tentu saja tidak seperti ketahyulan yang dipercaya oleh orang-orang yang
memang suka akan ketahyulan dan suka akan yang ajaib-ajaib itu. Anak
itu dahulunya adalah anak tunggal dari Keluarga Kwa di kota KunLeng,
sebuah kota kecil di sebelah timur Pegunungan Jenghoa-san. Dia bernama
Kwa Sin Liong, dan nama Sin Liong(Naga Sakti) ini diberikan kepadanya
karena ketika mengandungnya, ibunya mimpi melihat seekor nama
beterbangan di angkasa diantara awan-awan. Adapun ayah Sin Liong adalah
seorang pedagang obat yang cukup kaya di kota Kun-leng. Akan tetapi
malapetaka menimpa keluarga ini ketika malam hari tiga orang pencuri
memasuki rumah mereka. Tadinya tiga orang penjahat ini hendak melakukan
pencurian terhadap keluarga kaya ini, akan tetapi ketika mereka memasuki
kamar ayah dan ibu Sin Liong mempergoki mereka.
Karena khawatir dikenal, tiga orang itu lalu membunuh ayah-bunda Sin
Liong dengan bacokan-bacokan golok. Ketika itu Sin Liong baru berusia
lima tahun dan di tempat remang-remang itu melihat betapa ayahbundanya
dihujani bacokan golok dan roboh mandi darah, tewas tanpa sempat
berteriak. Saking ngeri dan takutnya, Sin Liong seperti berubah menjadi
gagu, matanya melotot dan dia tidak bisa mengeluarkan suara. Karena ini,
tiga orang pencuri itu tidak melihat anak kecil di kamar yang gelap
itu. Mereka terutama sibuk mengumpulkan barang-barang berharga dan
mereka itu juga panik, ingin lekas-lekas pergi karena mereka telah
terpaksa membunuh tuan dan nyonya rumah..Setelah para penjahat itu
keluar dari kamar, barulah Sin Liong dapat menjerit, menjerit sekuat
tenaganya sehingga malam hari itu terkoyak oleh jeritan anak ini. Para
tetangga mereka terkejut dan semua pintu dibuka, semua laki-laki berlari
keluar dan melihat tiga orang yang tidak dikenal keluar dari rumah
keluarga Kwa membawa buntalan-buntalan besar, segera terdengar teriakan
"maling…maling!" dan orang-orang itu mengurung tiga penjahat ini.
Beberapa orang lari memasuki rumah keluarga Kwa yang dapat dibayangkan
betapa kaget hati mereka melihat suamiisteri itu tewas dalam keadaan
mandi darah, sedangkan Sin Liong menangisi kedua orang tuanya, memeluki
mereka sehingga muka,tangan dan pakaian anak itu penuh dengan darah
ayah-bundanya. "Pembunuh! Mereka membunuh keluarga Kwa!" Orang yang
menyaksikan mayat kedua orang itu segera lari keluar dan
berteriak-teriak "Manusia kejam! Tangkap mereka!" "Tidak! Bunuh saja
mereka!" "Tubuh suami-istri Kwa hancur mereka cincang!" "Bunuh!"
"Serbu...!" Dan terjadilah pergumulan atau pertandingan yang berat
sebelah. Tiga orang itu terpaksa melakukan perlawanan untuk membela
diri, akan tetapi mana mereka itu, maling-maling biassa, mampu menahan
serbuan puluhan bahkan ratusan orang yang marah dan haus darah?. Anak
laki-laki itu, ketika pengeroyokan di luar rumahnya sedang terjadi,
keluar dari dalam, mukanya penuh darah, kedua tangannya dan pakaiannya
juga. Dia melangkah keluar seperti dalam mimpi, mukanya pucat sekali dan
matanya yang lebar itu terbelalak memandang penuh kengerian.Dia berdiri
di depan pintu rumahnya, matanya makin terbelalak memandang apa yang
terjadi di depan rumahnya. Jelas tampak olehnya betapa para tetangganya
itu, seperti sekumpulan serigala buas, menyerang dan memukuli tiga orang
pencuri tadi, para pembunuh ayah bundanya.
Terdengar olehnya betapa pencuri-pencuri itu mengaduhaduh
merintih-rintih, minta-minta ampun dan terdengar pula suara bak-bik-buk
ketika kaki tangan dan senjata menghantami mereka. Mereka bertiga itu
roboh, dan terus digebuki, dibacok, dihantam dan darah muncrat-muncrat.,
tubuh tiga orang itu berkelojotan, suara yang aneh keluar dari
tenggorokan mereka. Akan tetapi orang-orang yang marah dan haus darah
itu, yang menganggap bahwa apa yang mereka lakukan ini sudah baik dan
adil, terus saja menghantami tiga orang manusia sial itu sampai tubuh
mereka remuk dan tidak tampak seperti tubuh manusia lagi, patutnya hanya
onggokan-onggokan daging hancur dan tulang-tulang patah!. Ketika semua
orang sudah merasa puas, juga mulai ngeri melihat hasil perbuatan
mereka, menghentikan pengeroyokan terhadap tiga mayat itu dan mereka
memasuki rumah keluarga Kwa, Sin Liong tidak berada disitu! Kiranya
bocah ini, yang baru saja tergetar jiwanya, tergores penuh luka melihat
ayah bundanya dibacoki dan dibunuh, ketika melihat tiga orang pembunuh
itu dikeroyok dan disiksa, jiwanya makin terhimpit, luka-luka dihatinya
makin banyak dan dia tidak kuat menahan lagi. Dilihatnya wajah
orang-orang itu semua seperti wajah iblis, dengan mata
bernyala-nyalapenuh kebencian dan dendam, penuh nafsu membunuh, dengan
mulut terngangga seolah-olah tampak taring dan gigi meruncing, siap
untuk menggigit lawan dan menghisap darahnya. Dia merasa ngeri, merasa
seolah-olah tampak taring dan gigi meruncing, siap untuk menggigit lawan
dan menghisap darahnya. Dia merasa ngeri, merasa seolah-olah berada di
antara sekumpulan iblis, maka sambil menangis tersedu-sedu Sin liong
lalu lari meninggalkan tempat itu, meninggalkan rumahnya, meninggalkan
kota Kun-leng, terus berlari ke arah pegunungan yang tampak dari jauh
seperti seorang manusia sedang rebahan, seorang manusia dewa yang sakti,
yang akan melindunginya dari kejaran iblis itu!
Seperti orang kehilangan ingatan, semalam itu Sin lIong terus berlari
sampai pada keesokan harinya, saking lelahnya, dia tersaruk-saruk di
kaki Pegunungan Jeng-hoa-san, kadang-kadang tersandung kakinya dan jatuh
menelungkup, bangun lagi dan lari pagi, terhuyung-huyung dan akhirnya,
pada keesokan harinya, pagi-pagi dia terguling roboh pingsan di dalam
sebuah hutan di lereng bagian bawah Pegunungan Jeng-hoa-san..Setelah
siuman, anak kecil berusia lima tahun ini melanjutkan perjalanannya, dan
beberapa hari kemudian tibalah dia di sebuah hutan penuh bunga karena
kebetulan pada waktu itu adalah musim semi. Di sepanjang jalan mendaki
pegunungan, kalau perutnya sudah mulai lapar, anak ini memetik
buah-buahan dan makan daun-daunan, memilih yang rasanya segar dan tidak
pahit sehingga dia tidak sampai kelaparan. Di dalam hutan seribu bunga
itu Sin Liong terpesona, merasa seperti hidup di alam lain, di dunia
lain. Tempat yang hening dan bersih, tidak ada seorang pun manusia.
Kalau dia teringat akan manusia, dia bergidik dan menangis saking takut
dan ngerinya. Dia telah menyaksikan kekejaman-kekejaman yang amat hebat.
Bukan hanya kekejaman orang-orang yang merenggut nyawa ayah bundanya,
yang memaksa ayah bundanya berpisah darinya dan mati meninggalkannya,
akan tetapi juga melihat kekejaman puluhan orang tetangga yang menyiksa
tiga orang itu sampai mati dan hancur tubuhnya, Dia bergidik dan
ketakutan kalau teringat akan hal itu. Di dalam Hutan Seribu Bunga
itulah dia merasakan keamanan, kebersihan, keheningan yang menyejukkan
perasaan. Mula-mula Sin Liong tidak mempunyai niat untuk kembali ke
kotanya karena ia masih terasa ngeri, tidak ingin melihat ayah bundanya
yang berlumuran darah, tak ingin melihat mayat tiga orang pencuri yang
rusak hancur.
Ketika dia tiba di hutan Jeng-hoa-san itu dan melihat betapa tubuh dan
pakaiannya ternoda darah yang baunya amat busuk, dia cepat mandi dan
mencuci pakaian di anak sungai yang terdapat di hutan itu, anak sungai
yang airnya keluar dari sumber, jernih dan sejuk sekali. Mula-mula
memang dia tidak ingin pulang karena kengerian hatinya, akan tetapi
setelah dua tiga bulan "Bersembunyi" di tempat itu, timbul rasa cintanya
terhadap Hutan Seribu Bunga dan dia kini tidak ingin pulang sama sekali
karena dia telah menganggap hutan itu sebagai tempat tinggalnya yang
baru! Di dekat pohon peak yang besar, terdapat bukit batu dan di situ
ada guanya yang cukup besar untuk dijadikan tempat tinggal, dijadikan
tempat berlindung dari serangan hujan dan angin. Gua ini dibersihkannya
dan menjadi sebuah tempat yang amat menyenangkan. Demikianlah, anak ini
tidak tahu sama sekali bahwa harta kekayaan orang tuanya yang tidak
mempunyai keluarga dan sanak kadang lainnya, telah dijadikan perebutan
antara para tetangga sampai habis ludes sama sekali! Dengan alas an
"mengamankan" barang-barang berharga dari rumah kosong itu, para
tetangga telah memperkaya diri sendiri. Mereka ini tetap tidak tahu,
atau tidak mengerti bahwa mereka telah mengulangi perbuatan tiga orang
pencuri yang mereka keroyok dan bunuh bersama itu. Mereka juga melakukan
pencurian, sungguhpun caranya tidak "sekasar" yang dilakukan para
pencuri. Jika dinilai, pencurian yang dilakukan para tetangga dan
"sahabat" ini jauh lebih kotor dan rendah daripada yang dilakukan oleh
tiga orang pencuri dahulu itu, karena para pencuri itu melakukan
pencurian dengan sengaja dan terang-terangan mereka itu adalah pencuri,
tidak berselubung apa-apa, dan kejahatannya itu memang terbuka, sebagai
orang-orang yang mengambil barang orang lain di waktu Si Pemilik sedang
lengah atau tertidur. Namun, apa yang dilakukan oleh para tetangga itu
adalah pencurian terselubung, dengan kedok "menolong" sehingga kalau
dibuat takaran, kejahatan mereka itu berganda, pertama jahat seperti Si
Pencuri biasa karena mengambil dan menghaki milik orang lain, ke dua
jahat karena telah bersikap munafik, melakukan kejahatan dengan selubung
"kebaikan". Demikianlah sampai dua tahun lamanya anak berusia lima
tahun ini tinggal seorang diri di dalam Hutan Seribu Bunga. Sebagai
putera seorang ahli pengobatan, biarpun ketika usianya baru lima tahun,
sedikit banyak Sin Liong tahu akan daun-daun dan akar obat, bahkan
sering dia ikut ayahnya mencari daun-daun obat di gunung-gunung. Setelah
kini dia hidup seorang diri di dalamhutan, bakatnya akan ilmu
pengobatan mendapat ujian dan pemupukan secara alam. Dia harus makan
setiap hari itu untuk keperluan ini, dia telah pandai memilih dari
pengalaman, mana daun yang berkhasiat dan mana yang enak, mana pula yang
beracun dan sebagainya. Selama dua tahun itu, dengan pakaian
cabik-cabik tidak karuan, sering pula dia terserang sakit dan dari
pengalaman ini pula dia terserang sakit dan dari pengalaman ini pula dia
dapat memilih daun-daun dan akar-akar obat, bukan dari pengetahuan,
melainkan dari pengalaman. Mungkin karena tidak ada sesuatu lainnya yang
menjadikan bahan pemikiran, maka anak ini dapat mencurahkan semua
perhatiannya terhadap pengenalan akan daun dan akar serta buah dan
kembang yang mangandung obat ini sehingga penciumannya amat tajam
terhadap khasiat daun dan akar obat. Dengan menciumnya saja dia dapat
menentukan khasiat apakah yang terkandung dalam suatu daun, bunga, buah
ataupun akar! Tidak kelirulah kata-kata orang bahwa pengalaman adalah
guru terpandai. Tentu saja kata-kata baru terbukti.kebenarannya kalau
seseorang memiliki rasa kasih terhadap yang dilakukannya itu.
Dan memang di lubuk hati Sin Liong, dia mempunyai rasa kasih yang
menimbulkan suka, dan suka ini menimbulkan kerajinan untuk mempelajari
khasiat bunga-bunga dan daun- daun yang banyak sekali macamnya dan
tumbuh di dalam Hutan Seribu Bunga itu. Selain mempelajari khasiat
tumbuh-tumbuhan, bukan hanya untuk menjadi makanan sehari-hari akan
tetapi juga untuk pengobatan, Sin Liong mempunyai kesukaan lain lagi
yang timbul dari rasa kasihnya kepada alam, kasih yang sepenuhnya dan
yang mungkin sekali timbul karena dia merasa hidup sebatangkara dan juga
timbul karena melihat kekejaman yang menggores di kalbunya akan
perbuatan manusia ketika ayah ibunya dan tiga orang pencuri itu tewas.
Di tempat itu dia melihat kedamaian yang murni, kewajaran yang indah,
dan tidak pernah melihat kepalsuan-kepalsuan, tidak melihat kekejaman.
Rasa kasih kepada alam ini membuat dia amat peka terhadap keadaan
sekelilingnya, membuat perasaannya tajam sekali sehingga dia dapat
merasakan betapa hangat dan nikmatnya sinar matahari pagi, betapa lembut
dan sejuk segarnya sinar bulan purnama sehingga tanpa ada yang memberi
tahu dan menyuruh hampir setiap pagi dia bertelanjang mandi cahaya
matahari pagi dan setiap bulan purnama dia bertelanjang mandi sinar
bulan purnama. Tanpa disadarinya, tubuhnya telah menerima dan menyerap
inti tenaga mujijat dari bulan dan matahari, dan membuat darahnya
bersih, tulangnya kuat dan tenaga dalam di tubuhnya makin terkumpul di
luar kesadarannya. Setelah keringat membasahi seluruh tubuh dan beberapa
kali memutar tubuhnya yang duduk bersila di atas batu, kadang-kadang
dadanya, Sin Liong turun dari batu itu, menghapus peluh dengan
saputangan lebar, kemudian setelah tubuhnya tidak berkeringat lagi,
setelah dibelai bersilirnya angin pagi, dia mengenakan lagi pakaiannya
dan pergi mengeluarkan bunga, daun, buah dan akar obat dari dalam gua
untuk dijemur dibawah sinar matahari. Inilah yang menjadi pekerjaannya
sehari-hari, selain mencangkok, memperbanyak dan menanam tanaman-tanaman
yang berkhasiat. Menjelang tengah hari, mulailah berdatangan penduduk
yang membutuhkan obat. Di antara mereka terdapat pula beberapa orang
kang-ouw yang kasar dan menderita luka beracun dalam pertempuran. Untuk
mereka semua, tanpa pandang bulu, Sin Liong memberikan obatnya setelah
memeriksa luka-luka dan penyakit yang mereka derita. Lebih dari lima
belas orang datang berturut-turut minta obat dan yang datang terakhir
adalah seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi besar,
dipunggungnya tergantung golok dan dia datang terpincang-pincang karena
pahanya terluka hebat, luka yang membengkak dan menghitam. "Sin-tong,
kau tolonglah aku..." Begitu tiba di depan gua dimana Sin Liong duduk
dan memotong-motong akar basah dengan sebuah pisau kecil, laki-laki
bermuka hitam dan bertubuh tinggi besar itu menjatuhkan diri dan
merintih kesakitan. Sin Liong mengerutkan alisnya. Di antara orang-orang
yang minta pengobatan, dia paling tidak suka melihat orang kangouw yang
dapat dikenal dari sikap kasar dan senjata yang selalu mereka bawa.
Namun , belum pernah dia menolak untuk mengobati mereka, bahkan
diam-diam dia menilai mereka itu sebagai orang-orang yang berwatak
serigala, yang haus darah, yang selalu saling bermusuhandan saling
melukai, sehingga mereka ini merupakan manusia-manusia yang patut
dikasihani karena tidak mengenai apa artinya ketentraman, kedamaian, dan
kasih antar manusia yang mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan.
"Orang tua gagah, bukankah dua bulan yang lalu kau pernah datang dan
minta obat karena luka di lengan kirimu yang keracunan?" tanyanya sambil
menatap wajah berkulit hitam itu. "Benar, benar sekali, Sintong. Aku
adalah Sin-hek-houw (Macan Hitam Sakti) yang dahulu terkena senjata
jarum beracun di lenganku.
Akan tetapi sekarang, aku menderita luka lebih parah lagi. Pahaku
terbacok pedang lawan dan celakanya, pedang itu mengandung racun yang
hebat sekali. Kalau kau tidak segera menolongku, aku akan mati,
Sin-tong." Sin Liong tidak berkata apa-apa lagi, menghampiri orang yang
di atas tanah itu, memeriksa luka mengangga di balik celana yang ikut
terobek. Luka yang lebar dan dalam, luka yang tertutup oleh darah yang
menghitam dan membengkak, seluruh kaki terasa panas tanda keracunan
hebat! Sin Liong menarik nafas panjang. "Lo-enghiong, mengapa engkau
masih saja bertempur dengan orang lain, saling melukai dan saling
membunuh? Bukankah dahulu ketika kau dating kesini pertama kali, pernah
kau berjanji tidak akan lagi bertanding dengan orang lain?".Mata yang
lebar itu melotot kemudian pandang matanya melembut. Tak mungkin dia
dapat marah kepada anak ajaib ini. Seorang anak kecil berusia tujuh
tahun dapat bicara seperti itu kepadanya, seolah-olah anak itu adalah
seorang kakek yang menjadi pertapa dan hidup suci! "Sin-tong, aku adalah
Sin-hek-houw, dan jangan kau menyebut Lo-enghiong (Orang Tua Gagah)
kepadaku. Aku adalah seorang perampok, mengertikah kau? Seorang perampok
tunggal yang mengandalkan hidup dari merampok orang lewat! Kalau aku
tidak butuh barang, aku tentu tidak akan menganggu orang, dan kalau
orang yang kumintai barangnya itu tidak melawan, aku tentu tidak akan
menyerangnya. Akan tetapi, dua kali aku keliru menilai orang. Dahulu,
aku menyerang seorang nenek yang kelihatan lemah, dan akibatnya lenganku
terluka hebat. Sekarang, aku merampok seorang kakek yang kelihatan
lemah, yang membawa barang berharga, dan akibatnya pahaku hampir buntung
dan kini keracunan hebat. Kau tolonglah, aku akan berterima kasih
kepadamu, Sin-tong dan akan mengabarkan sesuatu yang amat penting
bagimu".
"Lo-enghiong, aku tidk membutuhkan terima kasih dan balasan. Aku
mengenal khasiat tetumbuhan di sini, tetumbuhan itu tumbuh di sini
begitu saja mempersilahkan siapapun juga yang mengerti untuk memetik dan
mempergunakannya, tanpa membeli, tanpa merampas dan tanpa menggunakan
kekerasan. Aku hanya memetik dan menyerahkan kepadamu, perlu apa aku
minta terima kasih dan balasan? Lukamu ini hebat seluruh kaki sudah
panas, berarti darahmu telah keracunan, Untuk mengeluarkan racunnya yang
masih mengeram di sekitar luka, sebaiknya luka itu dibuka agar dapat
diobati, tidak seperti sekarang ini ditutup oleh darah beracun yang
mengering. Dapatkah kau membuka lukamu itu, Lo-enghiong?" Orang setengah
tua itu membelalakan mata dan kembali dia kagum mendengar cara bocah
itu bicara, akan tetapi keheranannya lenyap ketika dia teringat bahwa
bocah ini adalah Sin-tong, anak ajaib! Maka dia lalu menghunus goloknya
dan melihat berkelebatnya sinar golok, Sin Liong memejamkan matanya.
Terbayan kembali tiga batang golok yang membacoki tubuh ayah bundanya,
dan banyak golok yang kemudian membacoki tubuh tiga orang pencuri itu.
Sin-hek-houw menggunakan ujung goloknya untuk menusuk dan membuka
kembali luka di pahanya. Dia mengeluh keras, akan tetapi lukanya sudah
terbuka dan darah hitam mengucur keluar. Dengan siksaan rasa nyeri yang
hebat, Sin-hek-houw melemparkan goloknya dan menggunakan kedua tangannya
memijit-mijit paha yang terasa nyeri itu. Sin Liong berlutut,
menggunakan jari tangannya yang halus untuk bantu memijat sehingga darah
makin banyak keluar.Darah hitam dan baunya membuat orang mau muntah!
Akan tetapi Sin Liong yang melakukan hal itu dengan rasa kasih sayang di
hati, dengan rasa iba yang mendalam dan tidak dibuat-buat dan tidak
pula disengaja, menerima bau itu dengan perasaan makin terharu. Betapa
sengsara dan menderitanya orang ini, hanya demikian bisikan hatinya. Dia
lalu mengambil bubukan akar tertentu, menabur bubukan itu ke dalam luka
yang mengangga. "Aduhhhhh..mati aku....!" Kakek itu berseru keras
ketika merasa betapa obat itu mendatangkan rasa nyeri seperti ada
puluhan ekor lebah menyengat-nyengat bagian yang terluka itu. "Harap
kaupertahankan, Lo-enghiong sebentar juga akan hilang rasa nyerinya.
Jangan lawan ras nyeri itu, hadapilah sebagai kenyataan dan ketahuilah
bahwa bubuk itu adalah obat yang akan mengusir penyakit ini." Sambil
berkata demikian, Sin Liong lalu menggunakan empat helai daun yang sudah
diremas sehingga daun itu menjadi basah dan layu, kemudian ditutupnya
luka itu dengan empat helai daun. Benar saja, rintihan orang itu makin
perlahan tanda bahwa rasa nyerinya berkurang dan akhirnya orang itu
menarik nafas panjang karena rasa nyerinya kini dapat ditahannya. "Harap
Lo-enghiong membawa akar ini, dimasak dan airnya diminum. Khasiatnya
untuk membersihkan racun yang masih berada di kakimu. Dengan demikian
maka luka itu akan membusuk dan akan lekas sembuh. Obat bubuk dan
daun-daun ini untuk mengganti obat setiap hari sekali, kiranya cukup
untuk sepekan sampai luka itu sembuh sama sekali." Sin Liong berkata
sambil membungkus obat-obat itu dengan sehelai daun yang lebar dan
menyerahkannya kepada Sin-hek-houw.
Orang kasar itu menerima bungkusan obat dan kembali menghela napas
panjang.."Kalau saja aku dapat mempunyai seorang sahabat seperti engkau
yang selalu berada di sampingku. Kalau saja aku dapat mempunyai seorang
anak seperti engkau, kiranya aku tidak akan tersesat sejauh ini. Terima
kasih, Sintong dan aku tidak dapat membalas apa-apa kecuali peringatan
kepadamu bahwa engkau terancambahaya besar". Sin Liong mengangkat muka
memandang wajah berkulit hitam itu dengan heran. "Sin-tong, dunia
kang-ouw telah geger dengan namamu. Orang-orang kang-ouw, termasuk aku,
yang telah menerima pengobatanmu, membawa namamu di dunia kang-ouw dan
terjadilah geger karena nama Sin-tong menjadi kembang bibir setiap orang
kang-ouw. Banyak partai besar tertarik hatinya, menganggap engkau tentu
penjelmaan dewa atau Sang Buddha dan kini telah banyak partai dan
orang-orang gagah yang siap untuk dating kesini dan untuk membujukmu
menjadi anggota mereka atau menjadi murid orang-orang kang-ouw yang
terkenal. Celakanya, di antara mereka itu terdapat 2 orang manusia iblis
yang lain lagi maksudnya, bukan maksud baik seperti tokoh dan partai
persilatan, melainkan maksud keji terhadap dirimu." Sin liong
mengerutkan alisnya, sedikitpun dia tidak merasa takut karena memang dia
tidak mempunyai niat buruk terhadap siapa pun di dunia ini.
"Lo-eng-hiong, aku hanya seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa,
tidak mempunyai permusuhan dengan siapapun juga. Siapa orangnya yang
akan menggangguku?" Kakek itu memandang terharu. "Ahh...kau benar-benar
seorang yang aneh dan bersih hatimu. Kalau aku memiliki kepandaian, aku
akan melindungimu dengan seluruh tubuh dan nyawaku, bukan hanya karena
dua kali kau menolongku, melainkan karena tidak rela aku melihat orang
mau merusak seorang bocah ajaib seperti engkau ini. Akan tetapi 2 orang
iblis itu..." Sin-hek-houw menggiggil dan kelihatan jerih sekali.
"Siapakah mereka dan apa yang mereka kehendaki dari aku?" "Di dunia
kang-ouw, banyak terdapat golongan sesat, manusia-manusia iblis termasuk
orang seperti aku. Akan tetapi dibandingkan dua orang yang kumaksudkan
itu, mereka adalah dua ekor harimau buas sedangkan orang seperti aku
hanyalah seekor tikus! Yang seorang adalah kakek berpakaian pengemis,
kelihatan seperti orang miskin yang alim, namun dialah iblis nomor satu,
ketua Pat-Jiu Kai-pang, seorang yang memiliki rumah seperti istana dan
wajahnya yang biasa dan alim menyembunyikan watak yang kejamnya melebihi
iblis sendiri! Celakalah engkau kalu sudah berada di tangan kakek ini
Sin-tong." "Hemmm, kurasa seorang kakek seperti dia tidak membutuhkan
seorang anak kecil seperti aku. Aku tidak khawatir dia akan mengangguku,
Lo-eng-hiong!" "Tidak aneh kalau kau berpendapat demikian, karena kau
seorang anak ajaib yang berhati dan berpikiran polos dan murni. Akan
tetapi aku khawatir sekali, apa lagi iblis kedua yang tidak kalah
kejamnya. Dia seorang wanita, cantik dan tak ada yang tahu berapa
usianya. Kelihatannya cantik, rambutnya panjang harum dan selalu membawa
sebuah payung, kelihatannya lemah dan membutuhkan perlindungan. Akan
tetapi, seperti iblis pertama, semua kecantikan dan kelemah-lembutannya
itu menyembunyikan watak yang sesungguhnya, watak yang lebih keji dan
kejam daripada iblis sendiri." "Lo-enghiong, harap saja Lo-enghiong
tidak memburuk-burukkan orang lain seperti itu. Aku tidak percaya."
Kakek itu menarik napas panjang lalu bangkit berdiri. "Aku sudah memberi
peringatan kepadamu Sin-tong. Dan kalau kau mau, marilah kau ikut aku
bersembunyi di tempat aman sehingga tidak ada seorang pun yang tahu.
Setelah keadaan benar aman barulah kau kembali kesini. Aku mendengar
berita angin bahwa dua iblis itu sedang menuju ke Jeng-hoa-san
mencarimu." Namun Sin Liong menggeleng kepala "Aku dibutuhkan oleh
penduduk pedusunan si sini, aku tidak pergi kemana-mana, Lo-enghiong."
"Hemmm, sudahlah! Aku sudah berusaha memperingatkanmu. Mudah-mudahan
saja benar-benar tidak terjadi seperti yang kukhawatirkan. Dan
lebih-lebih lagi mudah-mudahan aku tidak akan terluka lagi seperti ini,
sehingga kalau kau benar-benar sudah tidak berada lagi di sini, aku
payah mencari obat. Selamat tinggal,Sin-tong dan sekali lagi terima
kasih."."Selamat jalan, Lo-enghiong, semoga lekas sembuh."
Orang itu berjalan menyeret kakinya yang terluka, baru belasan langkah
menoleh lagi dan berkata, "Benar-benarkah kau tidak mau ikut bersamaku
untuk bersembunyi, Sin-tong?" Sin Liong tersenyum dan menggeleng kepala
tanpa menjawab. "Sin-tong, siapakah namamu yang sesungguhnya?" "Aku
disebut Sin-tong, biarpun aku merasa seorang anak biasa, aku tidak tega
menolak sebutan itu. Kau mengenalku sebagai Sin-tong, itulah namaku."
Sin-hek-houw menggeleng kepala, melanjutkan perjalanannya dan masih
bergeleng-geleng dan mulutnya mengomel, "Anak ajaib, anak
ajaib..sayang..!" Dan dia mengepal tinju, seolah-olah hendak menyerang
siapa pun yang akan menganggu bocah yang dikaguminya itu. Beberapa hari
kemudian semenjak Sin-hek-houw datang minta obat kepada Sin Liong, makin
banyaklah orang yang datang membisikkan kepada anak itu tentang geger
di dunia kang-ouw tentang dirinya. Bermacam-macam berita aneh yang
didengar oleh Sin Liong tentang ancaman dan lain-lain mengenai dirinya,
namun dia sama sekali tidak ambil peduli dan tetap saja bersikap tenang
dan bekerja seperti biasa, tidak pernah gelisah, bahkan sama sekali
tidak pernah memikirkan tentang berita yang didengarnya itu. Beberapa
pekan kemudian, pagi hari dari arah timur kaki Pegunungan Jeng-hoa-san
tampak berjalan eorang kakek seorang diri, menoleh ke kanan dan kiri
seolah-olah menikmati pemandangan alam di sekitar tempat itu, kakek ini
usianya tentu sudah enam puluhan tahun, tubuhnya kurus kecil, pakaiannya
penuh tambalan, dan wajahnya membayangkan kesabaran dan mulut yang
ompong itu bahkan selalu menyungging senyum simpul keramahan.
Dia melangkah perlahan-lahan memasuki hutan pertama di kaki Pegunungan
Jeng-hoa-san, langkahnya dibantu dengan ayunan sebatang tongkat butut
yang berwarna hitam, agaknya terbuat dari semacam kayu yang sudah amat
tua sehingga seperti besi saja rupanya. Agaknya dia seorang pengemis tua
yang hidupnya serba kekurangan namun yang dapat menyesuaikan diri
sehingga tidak merasa kurang, bahkan kelihatannya gembira, menerima
hidup apa adanya dan hatinya selalu senang. Buktinya ketika dia
mendengar kicau burung-burung, kakek ini membuka mulutnya dan bernyanyi
pula! Akan tetapi kata-kata dalam nyanyiannya itu tentu akan membuat
setiap orang yang mendegarnya mengerutkan kening, karena selain aneh,
juga menyimpang dari ajaran kebatinan umumnya! "Apa artinya hidup kalau
hati tak senang? Apa artinya hidup Kalau segala keinginan tak terpenuhi?
Puluhan tahun mempelajari ilmu Bekal memenuhi segala kehendak Berenang
dalam lautan kesenangan Matipun tidak penasaran! Berkali-kali pengemis
ini bernyanyi dengan kata-kata yang itu-itu juga, suaranya halus dan
cukup merdu dan sambil bernyanyi dia mengatur irama lagu dengan ketukan
tongkatnya di atas tanah lunak atau kebetulan mengenai batu yang keras,
ujung tongkat itu tentu membuat lubang. Kedua kakinya yang bersepatu
butut itu sendiri tidak meninggalkan jejak seolah-olah dia tidak
menginjak tanah akan tetapi tongkat itu membuat jejak jelas karena
setiap kali melubangi tanah maupun batu. Adapun kaki itu sendiri,
biarpun menginjak tanah basah, sama sekali tidak meninggalkan bekas.
No comments:
Post a Comment