Dia
berada dalam bahaya! Kiranya selain Swat Hong yang telah memiliki
kepandaian hebat juga gadis yang gerakan-gerakannya liar dan ganas itu
amat berbahaya, apalagi cambuk ekor ikan Phi yang meledak-ledak dahsyat.
Sebentar saja dia tertekan dan terdesak. Beberapa kali dia berusaha
untuk meloloskan diri, akan tetapi sambil mengejek Swat Hong selalu
menutup jalan keluar dan dia terus digulung oleh sinar dua orang gadis
lihai itu.
The
Kwat Lin menjadi nekat. Sambil menggigit bibirnya dia menyerang dahsyat
kepada Swat Hong, mencurahkan daya serangannya kepada anak tiri yang
dibencinya ini. Menghadapi terjangan dahsyat yang bertubi-tubi itu, Swat
Hong mundur-mundur juga. Akan tetapi kesempatan baik ini dipergunakan
oleh Sian Cu untuk menyerang dari belakang. Cambuk ekor ikan Phi meledak
dua kali mengancam ubun-ubun kepala The Kwat Lin, dan ketika wanita ini
mengelak kesamping sambil melanjutkan serangan pedangnya kepada Swat
Hong, Soan Cu menusukan pedangnya mengarah lambung Kwat Lin.
"Singgg....crat..... aihhhhh!!"
Kwat
Lin terkejut karena biarpun dia telah mengelak, tetap saja pedang
Coa-kut-kiam (Pedang Tulang Ular) itu melukai lambungnya, merobek kulit
dan mendatangkan rasa nyeri dan panas dan perih sekali. Akan tetapi,
wanita yang lihai ini sudah membalik sambil juga membalikan pedangnya
menyambar leher Soan Cu. Hal ini tidak disangka-sangka oleh gadis Pulau
Neraka ini.
"Awas
Soan Cu.....!!" Swat Hong berseru dan pedangnya menyambar, yang diarah
adalah lengan kanan Kwat Lin karena hanya dengan jalan itulah dia dapat
menolong Soan Cu.
"Brettt.... crok..... aughhhh......!!"
Soan
Cu terhuyung, pundaknya berlumuran darah karena terluka parah,
sedangkan Kwat Lin cepat memindahkan pedang ke tangan kirinya karena
lengan kanannya juga terluka parah, terbacok di bagian bahu hampir
putus! Dengan kemarahan meluap-luap dia menubruk Swat Hong, namun gadis
Pulau Es ini mengelak ke kiri sambil mengangkat kaki menendang lutut.
"Dukkk!
Aduh....!" Kwat Lin terbelalak ketika tahu-tahu pedang Coa-kut-kiam
telah bersarang di perutnya! Kiranya ketika tadi Swat Hong menendangnya
Soan Cu yang terluka dengan kemarahan meluap menubruk, maka begitu
wanita itu terguling, pedangnya cepat menyambar dan menusuk perut Kwat
Lin.
"Bedebah kau....!" Tiba-tiba pedang di tangan Kwat Lin meluncur.
"Soan Cu, awas....!!" Swat Hong berteriak kaget namun terlambat.
Pedang
yang terlempar dari jarak dekat dan tak terduga-duga itu dilakukan
dengan dorongan tenaga terakhir, tak dapat dielakkan dengan baik oleh
Soan Cu dan menancap di bawah pundak sampai dalam!
"Soan Cu!" Swat Hong melompat dan pedangnya membabat.
Kwat Lin memekik dan lehernya hampir putus! Dengan cepat Swat Hong memeluk tubuh soan Cu yang tersenyum!
“Pergilah.... Aku.... aku tak berguna lagi....!" katanya.
"Omong
kosong!" Swat Hong menghardik, mencabut pedang Ang-bwe-kiam dari pundak
Soan Cu. Soan Cu menjerit dan pingsan. Dengan gemas Swat Hong melempar
pedang itu memondong tubuh Soan Cu, dibawanya keluar.
Betapa
kagetnya ketika ia tiba di ruangan luar, pertempuran yang masih
berlangsung hebat itu ternyata membuat pihak ibunya terdesak. Bahkan
ibunya kelihatan terluka di beberapa tempat, juga ayah Soan Cu, yang
mengamuk dengan gagah telah berlumuran darah seluruh tubuhnya. Kwee Lun
juga masih mengamuk, dan hanya pemuda inilah yang belum terluka, karena
Ouwyang Cin Cu menujukan serangan-serangannya kepada Liu Bwee dan Ouw
Sian Kok, karena menganggap ringan kepada Kwee Lun.
"Ibu....!!"
Dengan
kemarahan meluap-luap, Swat Hong meloncat, melampau para pengepung dan
menurunkan tubuh Soan Cu ke atas lantai. Lalu gadis ini mengamuk dengan
pedangnya, merobohkan beberapa orang pengawal. Gerakannya demikian hebat
sehigga para pengepung terkejut dan gentar, bergerak mundur.
"Ibu.....!"
"Ayahhhhh.....!"
Ouw
Sian Kok menghentikan amukannya dan menjatuhkan diri berlutut. Tadi dia
mengira bahwa puterinya telah tewas, maka panggilan itu menggetarkan
jantungnya dan membuat dia lemas.
"Kau.....kau Soan Cu.....?"
"Ayahhhhhhh.....
Hu-hu-hu-huuuuu.....!!" Soan Cu menangis dalam rangkulan ayahnya yang
juga bercucuran air mata. Baru pertama kali Ouw Sian Kok dapat
mencucurkan air mata.
"Wutttt.....
trangggggg......!!" Dua batang golok terpental oleh tangkisan Ouw Sian
Kok tanpa menoleh karena dia sedang mendekat dan memciumi dahi
puterinya.
"Ayah, aku puas..... dapat bertemu denganmu.......!"
"Soan Cu...... aihhhh, anakku, kau ampunkan dosa ayahmu....." Ouw Sian Kok berkata dengan suara terisak.
"Trang-trang.....
dessss!!" Dua orang pengawal yang berani menyerang roboh oleh tangkisan
pedang Ouw Sian Kok dan mecuatnya kaki Soan Cu yang menendang.
"Ah, jangan kau keluarkan tenaga....." kata Ouw Sian Kok melihat betapa tendangan tadi membuat napas Soan Cu memburu.
"Ayah..... aku..... aku tidak kuat lagi..... kau larilah, ayah......."
"Soan Cu......! Soan Cuuuu......!!"
Sian
Kok meraung-raung ketika menyaksikan dengan mata sendiri betapa
puterinya yang baru dilihatnya selama hidup puterinya itu, menghembuskan
napas di dalam dekapnya, dengan bibir tersenyum. Laki-laki gagah
perkasa itu masih terus meraung-raung, dengan air mata bercucuran ketika
dia telah membaringkan tubuh puterinya ke atas lantai kemudian dia
mengamuk seperti seekor naga, menyebar maut diantara pengeroyoknya!
Hujan senjata tidak dirasakannya lagi pedangnya sampai menjadi merah
dari ujung sampai kegagang, bahkan sampai ke lengannya!
Sementara
itu Liu Bwee yang sudah banyak kehilangan darah juga makin lemas
gerakannya. kalau tidak ada Swat Hong, tentu dia roboh oleh Ouwyang Cin
Cu. Untung bagi mereka agaknya kakek yang sudah menjadi Kok-su ini hanya
setengah hati saja bertempur, sering kali dia sengaja mundur dan
membiarkan anak buah pengawal yang mengeroyok. Hal ini karena dia
sebetulnya tidak begitu suka kepada The Kwat Lin yang dianggapnya
berbahaya. Pula, setelah sekarang dia telah memperoleh kedudukan tinggi,
dia tidak membutuhkan kerja sama dengan The Kwat Lin. Selain itu, juga
dia ingin menghindarkan sedapat mungkin bermusuhan dengan orang-orang
lihai, apalagi keluarga dari Pulau Es!
"Swat Hong, cepat kau pergi......!"
"Tidak, Ibu!"
"Kalau tidak, kau akan mati......!"
"Mati bersamamu merupakan kebahagiaan, Ibu!"
"Hushhhh, anak bodoh. kalau begitu siapa yang akan mengembalikan pusaka? Kau ingat pesan Ayahmu."
"Tapi, Ibu....."
"Kalau kau membantah dan sampai tewas di sini, Ibumu tidak akan dapat mati dengan mata meram."
"Ibu......!"
"Lihatlah,
dia.....diapun akan mati..... Ibu ada seorang teman yang baik...... Ibu
dan dia.....ah, kami senang mati bersama.....kau jangan
ikut-ikut......!"
Mendengarkan
ucapan ini, Swat Hong terkejut sekali dengan menengok ke arah Ouw Sian
Kok yang mengerikan keadaannya itu. Mengertilah dia bahwa Ibunya dan
laki-laki perkasa itu telah saling jatuh cinta! Jantungnya seperti
ditusuk, teringat dia akan kesalahan ayahnya terhadap ibunya. Ibunya
tidak bersalah, sudah sepantasnya menjatuhkan hati kepada pria lain
karena disakiti hatinya oleh suami yang tergila-gila kepada wanita lain!
"Ibu......"
"Pergilah,
dan ajak pemuda gagah itu!" Sambil bercucuran air mata, Swat Hong
mengamuk, memutar pedangnya dan mendekati Kwee Lun yang juga masih
mengamuk. "Toako, hayo kita pergi!!"
"Eh? Ibumu? Soan Cu? Ayahnya.......?"
"Ayolah.....!!"
"Baik, baik.....!"
Mereka berdua membuka jalan darah, akhirnya berhasil meloncat keluar.
"Jangan kejar mereka! kepung saja yang berada di dalam!" terdengar Ouwyang Cin Cu berseru.
Tidak
terlalu lama Ouw Sian Kok dan Liu Bwee dapat bertahan. Mereka sudah
kehabisan tenaga, juga terlalu banyak mengeluarkan darah. Akhirnya,
mereka roboh berdekatan, di dekat mayat Soan Cu. Ouwyang Cin Cu menghela
napas panjang, kagum sekali menyaksikan kegagahan mereka itu. Dia masih
belum menduga bahwa tiga orang yang telah tewas ini adalah orang-orang
yang datang dari tempat yang hanya didengarnya dalam dongeng! wanita
cantik setengah tua itu adalah bekas permaisuri Raja Pulau Es, sedangkan
laki-laki perkasa dan dara jelita itu adalah ayah dan anak dari Pulau
Neraka, bahkan merupakan tokoh pimpinan! Dia menghela napas pula ketika
melihat bahwa The Kwat Lin juga tewas dalam keadaan mengerikan.
Diam-diam dia merasa lega, karena dia maklum betapa dilubuk hati wanita
ini tersembunyi cita-cita yang amat hebat, yang kelak mungkin
membahayakan kedudukan kaisar, dan kedudukannya sendiri.
Setelah
membuat laporan kepada Kaisar baru, yaitu An Lu Shan, tentang kematian
The Kwat Lin bekas jenderal ini hanya menarik napas panjang.
"Hemm,
sayang sekali, dia merupakan tenaga yang berguna." Kemudian mengelus
jenggotnya dan berkata, "kalau begitu bagaimana dengan puteranya?"
"Menurut
pendapat hamba, puteranya itu masih berdarah Raja Pulau Es yang
kabarnya masih mempunyai hubungan keluarga dengan kerajaan lama. Maka
kalau dia dibiarkan saja menjadi pangeran di sini, kelak kalau sudah
dewasa tentu akan merupakan bahaya."
An Lu Shan mengangguk-angguk. "habis bagaimana pendapatmu?"
Kok
Su yang merupakan penasehat utama itu mengerutkan alisnya yang
bercampur uban, lalu berkata, "Mereka itu datang dari Rawa Bangkai,
biarlah dia hamba bawa kembali ke sana, diberi kedudukan sebagai
penguasa di Rawa Bangkai dan daerahnya. Anak kecil itu tidak tahu
apa-apa, asal diberi kedudukan di sana mengepalai bekas anak buah ibunya
dan Kiam-mo Cai-li, tentu kelak akan senang hatinya."
"Baiklah,
urusan ini kuserahkan kepadamu untuk dibereskan." demikianlah, setelah
penguburan jenazah ibunya selesai, Han Bu Ong yang masih kecil itu
menurut saja ketika oleh Ouwyang Cin Cu diberitahu bahwa dia oleh kaisar
"diangkat" menjadi "raja muda" yang berkuasa di Rawa Bangkai, di mana
telah dibangun sebuah gedung mewah lengkap dengan semua pelayan dan
perabot.
Di
tempat ini, Han Bu Ong hidup cukup mewah. Akan tetapi anak ini memang
mempunyai kecerdikan yang luar biasa. Biarpun dia dicukupi hidupnya,
diam-diam dia mengerti bahwa dia sengaja setengah "dibuang" oleh Kaisar
dan Ouwyang Cin Cu setelah ibunya tewas. Maka dia mencatat di dalam
hatinya bahwa selain Swat Hong dan Kwee Lun yang menjadi musuh besarnya,
juga Ouwyang Cin Cu sebetulnya bukanlah seorang sahabat yang setia dari
ibunya. Anak kecil ini dengan rajin lalu melatih dirinya dengan
ilmu-ilmu peninggalan ibunnya yang masih ada padanya. Dia harus
menggembleng dirinya dan kelak, selain dia harus membalas kepada
musuh-musuhnya, juga dia akan berusaha untuk merampas kembali
pusaka-pusaka Pulau Es yang dicuri oleh Swat Hong. Dia merasa bahwa dia
berhak memiliki pusaka itu karena bukankah dia putera Raja Pulau Es?
Dari ibunya dia dahulu mendengar bahwa siapa yang mewarisi pusaka Pulau
Es dan melatih semua ilmu yang terdapat di dalam kitab-kitab itu, tentu
akan menjadi jago nomer satu di dunia.
Para
pembaca yang mengikuti pengalaman Kwa Sin Liong tentu menjadi penasaran
kalau pemuda sakti itu sampai tewas dalam keadaan yang demikian
mengerikan! Tidak, dia tidak mati! Memang nyaris dia tewas dimakan
ratusan ekor ular berbisa yang menjadi penghuni sumur itu. Akan tetapi
kalau orang belum tiba saatnya untuk mati, ada saja penolongnya yang
bisa dianggap tidak masuk akal, kebetulan atau luar biasa.
Dalam
halnya Sin Liong tidak ada yang tidak masuk akal atau luar biasa.
Memang tubuhnya yang pingsan itu terlempar ke dalam sumur di mana
terdapat ratusan ekor ular berbisa dari segala jenis, akan tetapi tidak
ada seekorpun ular yang berani menggigitnya. Apalagi menggigit,
mendekatipun mereka itu tidak berani, bahkan begitu tubuh pemuda itu
terjatuh, ular-ular itu cepat menyingkir ketakutan. hal ini adalah
karena tanpa sengaja di saku baju Sin Liong terdapat batu mustika hijau
dari Pulau Es! Seperti kita ketahui, batu mustika hijau ini adalah milik
Han Swat Hong yang telah menyelamatkan nyawa gadis ini pula ketika
terserang racun. Ketika Sin Liong mengobati sumoinya itu, dia menyimpan
batu mustika ini di dalam saku bajunya sehingga ketika dia terlempar ke
dalam sumur, batu mustika itu ikut terbawa olehnya dan menjadi
penyelamatnya karena tidak ada ular yang berani mendekatinya.
Sebetulnya
pemuda ini menderita luka yang amat parah dan yang akan mematikan
akibatnya bagi orang lain. Namun, pemuda ini pada dasarnya memiliki
tubuh yang sempurna, bersih darahnya dan kuat tulang dan urat-uratnya,
apalagi sejak kecil dia menerima gemblengan ilmu kesaktian dari Han Ti
Ong sehingga dia memilki tubuh yang amat kuat dan tahan derita.
Dua
hari dua malam dia rebah pingsan di dasar sumur yang lembab, tampa
diusik oleh ular-ular itu yang hanya memandang dari jauh seolah-olah dia
merupakan mahluk yang menakutkan. Pada hari ke tiga, nampak tanda hidup
pada tubuh yang tadinya tak bergerak-gerak seperti mati itu dengan
suara mengeluh panjang, kemudian tubuh itu bergerak dan bangkit duduk
dengan susah payah. Sejak Sin Liong merasa nanar dan bingung melihat
bahwa dirinya berada di tempat yang amat gelap. Begitu gelapnya sehingga
dengan terkejut dia menyangka bahwa matanya telah menjadi buta.
Akan
tetapi, ketika dia menoleh, tampaklah sedikit cahaya di belakangnya,
dan mengertilah dia dengan hati lega bahwa dia tidak buta, melainkan
berada di tempat yang amat gelap. Dia tidak tahu bahwa dia dilempar ke
sumur dan sumur itu kini telah tertutup oleh batu-batu besar dari atas
ketika guha terowongan itu sengaja diruntuhkan oleh Kiam-mo Cai-li dan
The Kwat Lin. Melihat cahaya terang di belakangnya, Sin Liong
menggerakan tubuhnya hendak menyelidiki, akan tetapi dia mengeluh karena
begitu bergerak, dadanya terasa nyeri bukan main!
Dia
teringat akan pertempuran itu dan mulai mengertilah dia bahwa tentu dia
telah tertawan dan berada dalam tempat tahanan rahasia yang amat gelap.
Maka dia segera duduk bersila mengatur pernapasan di tempat lembab dan
pengap itu, menyalurkan tenaga dan hawa sakti di dalam tubuhnya. Memang
dia memiliki sinkang yang amat kuat berkat latihan di Pulau Es, maka tak
lama kemudian dia telah mengobati luka di dalam tubuhnya dan
menyelamatkan rasa nyeri-nyeri di tubuhnya. Begitu dia menghentikan
latihannya, terasa betapa perutnya lapar sekali. Dia tidak tahu bahwa
sudah dua hari dua malam perutnya sama sekali tidak diisi apa-apa.
Sin
Liong bangkit berdiri dengan hati-hati. Tangannya meraih ke atas.
kosong. Dia mencoba meloncat dengan kedua tangannya di atas kepala.
Tetap saja disebelah atasnya kosong, tanda bahwa tempat tahanan itu
tinggi bukan main! Seperti sumur! Betapapun dalamnya sumur itu tentu dia
akan meloncat keluar, pikirnya. Dikerahkan seluruh tenaga dalamnya,
kemudian dengan ilmu ginkangnya yang istimewa, dia melompat lagi ke
atas, kedua tangannya tetap menjaga di atas kepala.
"Plakkkkk!"
Tubuhnya
melayang lagi ke bawah. Kedua tangannya bertemu dengan batu besar yang
amat berat, yang menutup lubang sumur itu! Beberapa kali Sin Liong
menggunakan kepandaiannya untuk keluar dari dalam sumur, dan sekali
meloncat, dia menggunakan sinkang di kedua tangannya untuk mendorong
batu. Akan teteapi usahanya ini selalu gagal. Tentu saja tidak mungkin
bagi seorang manusia, betapa kuatpun dia, untuk meloncat sambil
mendorong tumpukan batu-batu besar yang menutup mulut sumur itu,
batu-batu sebesar rumah dan yang sebongkah saja beratnya ada yang seribu
kati!
Akhirnya
Sin Liong pun maklum bahwa usahanya meloloskan diri melalui atas tidak
mungkin baginya. Maka dia mulai meraba-raba di sekelilingnya. Sumur itu
tidak berapa lebar, paling banyak bergaris tengah tiga meter. Ketika dia
mendengar suara mendesis-desis dan mencium bau amis, tahulah dia bahwa
di tempat itu terdapat banyak ular berbisa. Kemudian tampak olehnya
melalui cahaya redup tadi bahwa di bagian bawah terdapat sebuah lubang
dan agaknya dari tempat itulah ular-ular keluar dari sumur. Begitu dia
mendekati lubang ini, tampak olehnya ekor ular berkelebat di dalam
cahaya remang-remang itu, menjauhkan diri. Dia merasa heran mengapa
binatang-binatang itu tidak mengganggunya ketika dia pingsan dan kini
kelihatan takut kalau didekatinya. Dia teringat, meraba saku bajunya dan
tersenyum mengeluarkan batu hijau yang mengeluarkan sinar di dalam
gelap itu. Inilah penolongku,pikirnya. Hatinya menjadi makin tenang.
Dengan adanya batu mustika hijau ini, tidak perlu takut menghadapi
binatang berbisa apa pun. Akan tetapi, melihat batu mustika itu,
teringatlah dia kepada Swat Hong dan dia merasa khawatir juga. Musuh
demikian lihai, dia sendiri kena ditangkap dan agaknya dilempar ke sumur
ini. Bagaimana nasib Swat Hong? Dia harus cepat keluar dari tempat ini
untuk menolong Swat Hong.
Kekhawatirannya
terhadap sumoinya itu membuat dia makin bersemangat mencari jalan
keluar. Lubang dari mana ular-ular itu keluar dari sumur terlalu sempit
untuk dapat diterobos, maka Sin Liong lalu menggunakan kedua tangannya
untuk membongkar batu di lubang itu, memperlebar lubang dengan jalan
memukul pecah batu-batu di sekelilingnya. Tidak mudah pekerjaan ini,
karena selain tubuhnya masih lemah, juga batu-batu di tempat itu amat
keras dan hanya dapat digempurnya sedikit demi sedikit. namun akhirnya
dapat juga dia memperlebar lubang itu sehingga dia dapat merangkak
melalui lubang sambil terus menggempur lubang di depan yang merupakan
terowongan panjang.
Melihat
betapa makin lama cahayanya dari seberang terowongan kecil itu makin
terang, hati Sin Liong membesar. Jelas bahwa di seberang itu terdapat
tempat terbuka dari mana sinar matahari dapat masuk, pikirnya. Akan
tetapi pekerjaan menerobos terowongan kecil yang merupakan liang ular
dengan hanya menggunakan kedua tangan kosong, memakan waktu lama juga.
Saking hausnya, dia menengadah untuk menerima titik-titik air yang jatuh
dari atas, yaitu dari dinding sumur yang mengeluarkan air. biarpun
memakan waktu lama, dapat juga dia mengobati dahaga dengan meminum
secara demikian. Namun perutnya yang lapar terpaksa harus berpuasa lagi
sampai tiga hari! karena setelah tiga hari, barulah dia berhasil
merangkak keluar dari terowongan itu dan tiba di sebuah ruangan yang
cukup luas, akan tetapi juga merupakan tempat tertutup!
Bedanya,
kalau sumur pertama merupakan tempat sempit dan gelap, maka ruangan
kedua ini luas sekali, garis tengahnya tidak kurang dari sepuluh meter,
merupakan sebuah ruang dalam tanah yang aneh. Di sebelah atas, jauh dan
tinggi sekali, tertutup oleh tanah atau batu dan ada celah-celah yang
merupaka retakan batu-batu dari mana sinar matahari dapat menerobos
masuk.
Sin
Liong menjatuhkan diri duduk di tengah ruangan dalam tanah ini dan
harapannya kandas sama sekali. Kalau sumur pertama itu merupakan tahanan
yang sukar diterobos adalah tempat ini lebih sukar lagi untuk
meloloskan diri. Ular-ular yang banyak sekali berbelit-belit dan
kelihatan ketakutan, ada yang merayap naik, ada pula yang menerobos
terowongan yang sudah melebar itu untuk kembali ke dalam sumur pertama!
Sin
Liong termenung. Dari kamar tahanan kecil dia pindah ke kamar tahanan
besar! Hanya lebih lebar dan memperoleh penerangan sinar matahari yang
tidak seberapa. Itulah bedanya! Akan tetapi dia tidak menjadi putus
harapan. Dihadapinya kenyataan ini dengan tabah dan dilenyapkannya
kekhawatiran di dalam hatinya tentang diri sumoinya dengan keyakinan
bahwa apa pun yang akan terjadi, terjadilah tanpa dipengaruhi segala
kekhawatiran yang tiada gunanya! Dia sendiri menghadapi bencana,
menghadapi ancaman maut dan inilah yang terutama harus dihadapi dan
diatasi lebih dulu. Dia mulai memeriksa kalau-kalau ada jalan keluar
dari tempat itu.
Sama
sekali tidak ada jalan keluar. Akan tetapi, dia menemukan benda-benda
yang sementara dapat menolongnya dari ancaman kelaparan, yaitu jamur
yang agaknya bertumbuhan dengan subur di tempat itu karena memperoleh
sinar matahari.
Perutnya
lapar sekali dan pengetahuannya tentang tetumbuhan meyakinkan
hatinya.maka mulailah dia memilih jamur-jamur yang tak mengandung racun,
lalu mulai dia makan jamur. Dalam keadaan lapar bukan main, ternyata
jamur-jamur mentah itu terasa enak juga! Soal minum dia tidak usah
khawatir karena di beberapa tempat pada dinding batu itu terdapat air
yang menetes. Ditampungnya tetesan air itu dengan kedua tangannya, lalu
diminumnya. Luar biasa segarnya air yang disaring oleh tanah dan batu
itu.
Setelah
yakin benar bahwa tidak ada jalan keluar dari tempat itu, Sin Liong
menerima kenyataan ini dan dia giat berlatih ilmu. Di dalam kesunyian
yang amat hebat itu perasaan dan pikiran Sin Liong menjadi luar biasa
tajamnya. Semua ilmu yang pernah dipelajari dan dibacanya dahulu sukar
dimengerti olehnya karena kitab-kitab kuno Pulau Es memang amat sukar
diartikan, kini menjadi jelas dan dapat dia selami intinya. Oleh karena
inilah maka diluar dari kesadarannya sendiri, ilmu kesaktiannya
bertambah dengan hebat dan cepatnya. Juga ditempat ini dia mulai
mengenal diri sendiri, mengenal arti hidup yang sesungguhnya. Tanpa
disadarinya sendiri, dari dalam pribadinya timbul kekuatan mujijat,
kekuatan yang dimiliki oleh setiap orang manusia namun yang selalu
terpendam dan tetap tersembunyi sampai saat terakhir dari hidup manusia
yang selalu dipermainkan oleh nafsu yang disebut aku.
Tanpa
terasa oleh Sin Liong sendiri yang selama hidup di dalam ruang bawah
tanah itu sama sekali tidak pernah memikirkan atau mengenal waktu,
pemuda luar biasa ini telah berada di tempat itu selama dua tahun! Dia
mengerti bahwa tanpa bantuan dari luar, tidak mungkin dia meloloskan
diri dari tempat itu, maka sudah sejak lama dia tidak lagi berusaha
untuk keluar dari situ. Selama itu, yang menjadi teman-temannya hanyalah
ular-ular berbisa! Ternyata oleh pemuda itu bahwa binatang berbisa
seperti ular pun mengenal siapa lawan siapa kawan. Karena selama itu dia
tidak pernah mengganggu mereka, ular-ular itu pun jinak dan sama sekali
tidak pernah menyerangnya, biarpun dia menjauhkan batu mustika hijau
dari tubuhnya. Binatang-binatang ini hanya menyerang untuk menjaga diri
saja dari bahaya yang datang mengancam diri mereka.
Juga
tanpa disadari sendiri oleh Sin Liong, tubuhnya yang setiap hari hanya
dihidupkan oleh sari jamur yang bermacam-macam itu, pertumbuhannya sama
sekali berlainan dengan manusia biasa. makanan amat mempengaruhi tubuh
dan sari jamu yang dimakannya selama dua tahun itu mendatangkan kepekaan
luar biasa dan kepekaan tubuh ini pun mempengaruhi pula pertumbuhan
batinnya. Dia menjadi seorang manusia luar biasa, tidak menderita
apa-apa, tidak mengharapkan apa-apa, karena di dalam keadaan apapun
juga, menghadapi keadaan apa adanya, sewajarnya, sebagaimana adanya yang
dianggap sudah semestinya demikian, tidak ada lagi apa yang disebut
menyenangkan atau tidak menyenangkan, tidak ada lagi yang disebut senang
atau susah, tidak ada lagi puas atau kecewa. Dalam keadaan seperti itu,
tubuh sehat dan batin tenang, yang ada hanyalah rasa suka ria yang
sukar dilukiskan karena sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan
kesukaan atau kegembiraan yang dapat dicari. Suatu nikmat yang bukan
datang dari gairah nafsu atau kesenangan, nikmat hidup yang datang tanpa
dicari, yang terasa hanya setelah batin bebas dari segala ikatan,
seperti batin Sin Liong di waktu itu.
Pada
suatu hari, di sebelah atas dari tempat rahasia ini, terjadilah
kesibukan besar. Puluhan orang katai yang tubuhnya pendek akan tetapi
besarnya seperti manusia biasa, bertubuh kuat dan bertenaga besar,
dipimpin oleh seorang pemuda tanggung sedang membongkari reruntuhan
batu-batu di dalam terowongan bawah tanah itu. pemuda tanggung yang
berpakaian mewah itu bukan lain adalah Bu Ong, yang kini telah
mengumpulkan sisa orang-orang kerdil bekas taklukan di Rawa Bangkai dan
menjadi pimpinan mereka.
Han
Bu Hong kini telah menjadi seorang pemuda tanggung yang lihai dan tidak
ada seorang pun di antara tokoh-tokoh orang kerdil mampu melawannya.
Agaknya, untuk menjadikan mimpi ibunya sebagai kenyataan, dia telah
mengangkat diri sendiri menjadi ketua atau lebih tepat lagi menjadi
"raja" dari orang-orang katai ini. Gedung di Rawa Bangkai hanya menjadi
tempat tinggal umum, akan tetapi diam-diam dia mendirikan "kerajaan
kecil" di bawah tanah. Bahkan dia telah membangun sebuah ruang seperti
istana di bawah tanah, lengkap dengan kursi kebesaran yang dihiasai
dengan sebuah tengkorak di samping hiasan mahal seperti permadani,
lukisan dan tulisan indah. Sering kali dia secara sembunyi mengadakan
pertemuan dan rapat rahasia dengan para tokoh orang katai yang menjadi
pembantunya, dan pemuda tanggung ini diam-diam merencanakan pekerjaan
besar untuk melanjutkan cita-cita ibunya. Demikianlah, karena dia ingin
menggunakan terowongan bawah tanah itu sebagai markas partai orang
kerdil , dan juga karena dia ingin mencari kalau-kalau ada harta atau
pusaka peninggalan Rawa bangkai di terowongan itu, dia lalu mengerahkan
para anak buahnya untuk membersihkan bagian terowongan yang dahulu
diruntuhkan oleh ibunya dan oleh Kiam-mo Cai-li.
"Akan
tetapi, Siauw-pangcu (Ketua Cilik)," seorang pembantu membantah sebelum
pembongkaran dilakukan . "Tempat ini dahulu sengaja diruntuhkan oleh
Ibu Pangcu untuk menutupi sumur ular di mana tubuh musuh Ibu Pangcu
dilempar. Karena musuh itu lihai bukan main, maka Ibu Pangcu bersama
Kiam-mo Cai-li dan Ouwyang Cin Cu memutuskan untuk menutup saja tempat
ini agar pemuda sakti itu tidak mampu hidup kembali."
Han
Bu Ong tertawa. "Ha, ha, mana mungkin Kwa Sin Liong dapat hidup
kembali? Dia sudah di lempar di sumur ular, andaikata dia tidak mati
oleh ular-ular itu, tentu selama dua tahun dikubur hidup-hidup di sumur
itu dia kini sudah menjadi setan tengkorak, tinggal rangkanya saja.
Mengapa khawatir? Hayo bongkar! Kalau tidak dibongkar, terowongan ini
tertutup sampai di sini, padahal kita amat membutuhkan sebagai jalan
rahasia yang amat penting bagi perkumpulan kita."
Karena
alasan yang dikemukakan ketua cilik ini memang tepat, maka
beramai-ramai para manusia katai itu segera bekerja keras, membongkari
batu-batu yang besar-besar dan berat itu, menggunakan alat pendongkel
dan lain-lain. Hiruk pikuk suara di dalam terowongan itu dan pekerjaan
yang berat itu biarpun dilakukan oleh hampir lima puluh orang, tetap
saja memakan waktu yang cukup lama. Memang sesungguhnyalah bahwa merusak
itu mudah membangun itu sukar, mengotori itu mudah membersihkannya
tidak semudah itu.
Setelah
bekerja keras selama sepekan, barulah batu besar terakhir yang menutupi
sumur dapat disingkirkan. Han Bu Ong dan para anak buahnya seperti
berlomba lari menghampiri sumur dan melongok ke dalam sumur yang amat
gelap itu. Pada saat itu, terdengar suara angin menyambar dari bawah dan
berkelebatlah bayangan orang yang melayang dari bawah, Han Bu Ong dan
semua orang terkejut. Ketika mereka menoleh dan memandang bayangan orang
yang tadi meloncat melewati kepala mereka, mereka melihat seorang
laki-laki muda berdiri di situ sambil tersenyum, seorang pemuda yang
berwajah tampan, yang memiliki sepasang mata yang lembut pandangannya
namun bersinar cahayanya, pemuda yang pakaiannya lapuk dan compang
camping. Tidak ada orang kerdil yang mengenal pemuda ini karena memang
keadaannya jauh berbeda dengan tahun yang lalu. Akan tetapai Han Bu Ong
dengan suara gemetar membentakkan perintah,
"Serbu! Bunuh dia...!!"
Orang-orang
katai yang tadinya bengong terheran-heran dan ketakutan karena menduga
keras bahwa tentu hanyalah siluman saja yang keluar dari sumur tertutup
itu, ketika mendengar bentakan ini menjadi sadar. Kini mereka pun ingat
bahwa tentu ini pemuda yang dua tahun yang lalu dilempar ke dalam sumur.
Biarpun mereka bergidik ngeri dan gentar mendapat kenyataan bahwa orang
yang dua tahun lalu dilempar ke sumur ular yang tertutup kini ternyata
masih hidup, namun karena maklum bahawa ini adalah musuh mereka dengan
teriakan-teriakan ganas mereka menyerang orang itu.
Memang
benar dugaan Han Bu Ong. Orang ini bukan lain adalah Kwa Sin Liong.
Ketika Sin Liong akhirnya dari bawah mendengar suara hirup pikuk
disebelah atas kemudian melihat cahaya turun melalui terowongan kecil
jalan ular, dia menyebrangi terowongan dan tiba di dasar sumur pertama.
akhirnya dia melihat betapa atap sumur yang tadinya tertutup batu besar
itu terbuka dan melayanglah dia keluar. karena selama dua tahun dia
tidak bertemu orang, begitu melihat Bu Ong dan orang-orang kerdil, dia
tersenyum girang.
Akan
tetapi orang-orang kerdil itu dengan bermacam senjata telah
menyerangnya. Sin Liong hanya mengerahkan sinkangnya membiarkan belasan
senjata tajam menimpa tubuhnya. Terdengarlah teriakan-teriakan kaget
karena semua senjata, baik yang tajam maupun yang tumpul, begitu
mengenai tubuh pemuda itu, membalik seperti mengenai gumpalan karet yang
amat kuat.
"Adik Bun Ong...bukankah engkau sute (Adik Seperguruan)...?"Sin Liong berkata halus sambil memandang kepada Han Bu Ong.
"Iblis! Siluman! Bunuh dia...!!"Bu Ong berteriak-teriak dengan muka pucat dan mata terbelalak.
Biarpun
hati mereka gentar sekali, namun orang katai itu kembali menyerbu dan
hujan senjata menyambar tubuh Sin Liong. Kembali senjata-senjata itu
mental, bahkan ada yang terlepas dari pegangan tangan pemiliknya. Sin
Liong menarik napas panjang, menunduk dan memandang pakaiannya yang
menjadi makin compang-camping, terkena bacokan senjata-senajata itu,
kemudian sekali bergerak tubuhnya berkelebat melewati kepala para
pengeroyoknya yang bertubuh pendek dan lenyap.
Gegerlah
para orang katai. Akan tetapi Han Bu Ong menyabarkan dan menenangkan
hati mereka. Dia merasa yakin bahwa betapapun lihainya Sin Liong, pemuda
itu agaknya tidak akan mengganggunya. Maka dia melanjutkan rencananya
dan melakukan perundingan dengan para anak buahnya. Seperti juga ibunya
dahulu, pemuda tanggung ini sudah mulai dengan usahanya untuk mencari
kedudukan dengan menghubungi seorang "pangeran" baru yang juga merasa
tidak puas dengan kedudukan yang diperolehnya setelah perjuangan mereka
berhasil.
Pangeran
ini dahulunya adalah seorang pemberontak rakyat petani yang bergabung
dengan An Lu Shan, bernama Shi Su beng yang kini dianugerahi pangkat
"pangeran" oleh An Lu Shan. Shi Su Beng bermaksud untuk merebut tahta
kerajaan dari An Lu Shan, dan apabila terjadi kegagalan, maka terowongan
bawah tanah milik Han Bu Ong itulah yang akan dijadikan tempat
persembunyian.
Setelah
selesai mempersiapkan segala-galanya dan tempat itu ditinjau sendiri
oleh Pangeran Shi Su Beng, Han Bo Hong lalu pergi ke kota raja bersama
sekutunya itu untuk mulai melaksanakan siasat yang sudah mereka
rencanakan lebih dahulu. Memang selama dua tahun itu terjadi dua hal
yang banyak tercatat dalam sejarah.
Kemenangan
An Lu Shan ternyata tidak mendatangkan kemakmuran atau keamanan, bahkan
sebaliknya. Selain kaisar yang telah melarikan diri ke Secuan dan
menyerahkan tahta kerajaan kepada puteranya itu kini menyusun kekuatan
di barat untuk menyerbu dan merampas kembali kota raja, juga di dalam
istana pemerintah baru sendiri terjadi pertentangan dan perebutan
kekuasaan!
Semua
ini terjadi karena memang sesungguhnya para pemimpin pemberontak yang
dahulu memberontak terhadap pemrintah dengan dalih "demi rakyat" atau
demi keadilan, demi kebenaran, demi negara dan lain istilah muluk-muluk
lagi itu sesungguhnya hanyalah "berjuang" demi dirinya sendiri saja!
Semua istilah itu tak lain tak bukan hanyalah untuk dijadikan "modal"
perjuangannya untuk mencari kedudukan dan kemuliaan bagi diri sendiri.
Hal ini sudah terlalu sering terjadi di dunia, berulang-ulang, namun
sampai sekarang rakyat di seluruh dunia tetap bodoh, mau saja di peralat
dan dicatut namanya oleh orang-orang yang berambisi untuk diri pribadi.
Betapa banyaknya bukti akan kepalsuan ini dapat dilihat dalam sejarah
di negara manapun di dunia ini. Sekelompok orang berambisi untuk
keuntungan mereka sendiri, dengan siasat cerdik menggunakan nama rakyat
untuk mencapai tujuan mereka, kalau perlu mereka mengorbankan rakyat.
Rakyat sudah cukup puas memperoleh gelar "pahlawan" kalau sampai tewas
dalam perjuangan yang sebenarnya adalah menyalah gunakan demi keuntungan
kelompok yang mempergunakan mereka itu.
Inilah
sebabnya maka jika perjuangan telah berhasil, jika para kelompok
pimpinan yang berambisi sudah memperoleh apa yang mereka kejar-kejar,
maka rakyat pun dilupakan sudah! Bukan sengaja dilupakan, melainkan
karena mereka yang sudah berhasil merampas kedudukan itu pun harus
menghadapi lawan atau saingan yang juga ingin merebut kedudukan itu.
Rakyat adalah orang yang berada dibawah, dan yang terinjak memang selalu
yang berada di bawah. yang berada di atas tidak akan terinjak, akan
tetapi mereka itu saling berebutan di antara mereka sendiri,
memperebutkan kedudukan yang lebih enak dan empuk dari pada kedudukan
yang telah dimilikinya.
Demikianlah
pula dengan An Lu Shan dan teman-temannya yang telah berhasil dalam
"perjuangan" mereka merampas kedudukan tahta kerajaan. Teman-teman yang
tadinya berjuang bahu-membahu, menjadi kawan senasib sependeritaan,
yaitu di waktu mereka memberontak, kini setelah memperoleh apa yang
mereka cita-citakan , berbalik mencurigai, saling iri!
Memang
belum ada yang secara berterang berani menentang An Lu Shan, bekas
panglima yang masih amat kuat kedudukannya, didukung oleh
pasukan-pasukan inti dan tampaknya semua pembantunya sudah menyetujui
sebulatnya kalau An Lu Shan menjadi Kaisar. Akan tetapi diam-diam,
banyak yang mepersoalkan pembagian pangkat dan kedudukan. Tentu saja
yang merasa tidak puas adalah mereka yang memperoleh pangkat agak kecil,
sedangkan yang menerima pangkat besar merasa curiga dan hati-hati
menghadapi bekas teman yang memperoleh pangkat yang lebih kecil. Terjadi
dan berlangsunglah konflik sembunyi diantara mereka.
Ke
manakah perginya Swat Hong dan Kwee Lun? Di bagian depan telah
diceritakan betapa dua orang muda ini berhasil menyelamatkan diri, lari
keluar dari istana The Kwat Lin dan terus keluar dari kota raja
Tiang-an. Mereka berlari dengan cepat mempergunakan kegelapan malam,
berhasil keluar dari benteng tembok kota raja karena para penjaga yang
berada dalam suasana pesta kemenangan itu tidak melakukan penjagaan yang
terlampau ketat.
Setelah
terang tanah dan mereka tiba di dalam sebuah hutan jauh dari tembok
kota raja barulah keduanya berhenti, terengah-engah dan Swat Hong
menjatuhkan dirinya di bawah sebatang pohon besar. Wajahnya pucat
biarpun muka dan lehernya penuh keringat yang di usapnya dengan ujung
lengan bajunya. Pandang matanya merenung jauh sekali, dan dia diam saja,
sama sekali tidak berkata-kata, sama sekali tidak bergerak, seperti
dalam keadaan setengah sadar.
Kwee
Lun juga menghapus peluhnya dan dia pun duduk diam, memandang kepada
Swat Hong. beberapa kali dia menggerakan bibir hendak bicara namun
ditahannya lagi. Pemuda yang biasanya bergembira ini merasa betapa
jantungnya seperti diremas-remas. Dia sendiri merasa kehilangan dan amat
berduka dengan kematian Soan Cu, gadis yang kini dia tahu adalah wanita
yang amat dicintainya. Akan tetapi, melihat keadaan Swat Hong yang
terpaksa harus meninggalkan ibu kandungnya menghadapi kematian, dia
melupakan kedukaan hatinya sendiri dan merasa amat iba kepada Swat Hong.
Melihat betapa Swat Hong seperti orang kehilangan ingatan, Kwee Lun
merasa khawatir sekali. Kalau dibiarkan saja, gadis ini bisa jatuh
sakit, kalau hanya sakit badannya masih mending, akan tetapi kalau
terserang batinnya lebih berbahaya lagi.
Akhirnya
dia memberanikan diri berkata lirih dan halus, "Mati hidup adalah
berada di tangan Thian, kita manusia tak dapat menguasainya, Nona."
Mendengar
kata-kata ini, Swat Hong menengok dan memandang, akan tetapi pandang
matanya tetap kosong, seolah-olah kata-kata itu tidak dimengertinya dan
dari mulutnya hanya terdengar suara meragu, "Hemm....?"
Suara
ini gemetar dan pandang mata itu menusuk perasaan Kwee Lun. Maka pemuda
ini lalu memberanikan diri melangkah lebih jauh lagi dengan kata-kata
yang lebih membuka kenyataan,
"Ibumu gugur sebagai seorang yang gagah perkasa."
Sepasang
mata yang kehilangan sinar itu terbelalak, seolah-olah baru sadar dan
bibir yang gemetar itu bergerak, mula-mula lirih makin lama makin keras,
".....Ibu.....? Ibu...., Ibu....!" Swat Hong menangis tersedu-sedu dan
memanggil-manggil ibunya.
"Tenanglah,
Nona. Tenanglah....." Kwee Lun menghibur dan berlutut di depan gadis
itu, akan tetapi suaranya sendiri parau dan agak tersedu.
"Ibu....! Mengapa aku meninggalkan ibu mati sendiri....? Ibu....! Hu-hu-huuuuuuuk, Ibuuuuuuuu.....!"
Memang
menangis merupakan obat terbaik bagi batin gadis itu, pikir Kwee Lun
penuh keharuan, akan tetapi melihat Swat Hong menjambak-jambak rambut
sendiri, dia merasa khawatir.
"Ingatlah, Nona. Ingatlah pesan Ibumu..... tentang pusaka Pulau Es...."
Swat
Hong mengangkat muka dan melihat wajah pemuda itu juga basah air mata,
dia menubruk. "Toako.... ahhhh, Toako....!" Dan menangislah dia
tersedu-sedu di dada pemuda itu yang dianggapnya merupakan satu-satunya
sahabat di dunia yang baginya kosong ini.
Kwee
Lun memejamkan mata dan membiarkan gadis itu menangis terisak-isak.
Dengan sesenggukan Swat Hong berkata, "Ibu tewas..... di depan
mataku..... dan aku tidak dapat menolongnya.....
hu-hu-huuuuuuuhhhh...... dan Ayah pun sudah tiada, Suheng juga......
hu-huuuuuuuuuhhh apa gunanya aku hidup lagi? Apa gunanya aku mencari
pusaka dan mengembalikan ke Pulau Es?'
Seperti
seorang yang mendadak menjadi kalap Swat Hong merenggutkan dirinya dari
dada Kwee Lun, lalu melompat bangun mengepal tinju.
"Katakan,
Kwee-toako, apa gunanya semua ini? Ayah ibuku sudah meninggal, dan
suheng satu-satunya orang yang kucinta..... dia pun tidak ada
lagi......! katakan, apa perlunya aku hidup lebih lama?"
Kwee
Lun teringat akan kematian Soan Cu yang menghancurkan perasaannya, akan
tetapi dia menekan kedukaannya dan berkata, suaranya nyaring
bersemangat, "Adik Hong, tidak semestinya seorang perkasa seperti engkau
mengeluarkan kata-kata bernada putus asa seperti itu! Engkau adalah
puteri dari Pulau Es! Kedukaan apa pun yang menimpa dirimu, harus kau
atasi dengan gagah perkasa! Aku dapat memahami pesan mendiang Ibumu yang
mulia dan gagah perkasa itu. Kalau pusaka keluargamu dari Pulau Es
terjatuh ke tangan orang lain, bukankah itu amat sayang, berbahaya dan
juga merendahkan ? Pusaka itu telah diselamatkan oleh Nona Bu Swi Nio
dan Saudara Liem Toan Ki. Sebaiknya kalau kita segera menyusul mereka
dan aku akan membantumu mencari Pusaka Pulau Es."
Ucapan
penuh semangat itu benar-benar menyadarkan Swat Hong, menarik gadis itu
dari lembah kedukaan yang hampir mematahkan semangatnya. Dia menahan
isak, menarik napas panjang dan menghapus air matanya, lalu memandang
kepada pemuda itu, memegang tangan Kwee Lun.
"Kwee-toako,
terima kasih atas peringatanmu. Hampir aku lupa akan tugasku. Memang
benar, sudah berani hidup harus berani menghadapi apa pun yang menimpa
kita. Engkau sungguh baik sekali, Toako. Engkau sendiri menderita,
kehilangan Soan Cu, namun masih menghiburku......"
Kwee Lun mengangkat mukanya dan memejamkan mata. "Benar.....aku mencinta Soan Cu....... aku mencintanya......"
"Dan
aku mencinta Suheng. Betapa buruk nasib kita, Toako. Engkau sendiri
menderita, kehilangan Soan Cu, namun masih menghiburku......"
Kwee Lun mengangkat mukanya dan memejamkan mata. "Benar.... aku mencinta Soan Cu.... aku mencintanya........"
"Dan
aku mencinta Suheng. Betapa buruk nasib kita, Toako. Akan tetapi, kau
masih mempuyai Gurumu, sedangkan aku hanya seorang diri..... ah,
sudahlah. Aku akan pergi, Toako. Semoga engkau akan dapat menemukan
kebahagiaan dalam hidupmu. Engkau baik sekali dan terima kasih."Swat
Hong berkelebat dan meloncat pergi.
"Nanti dulu! Hong-moi.... biarlah aku membantumu....."
"Tidak
usah, Kwee-toako. Aku akan menyusul mereka ke Puncak Awan Merah,
kemudian aku akan kembali ke Pulau Es.... untuk.... untuk selamanya.
Selamat tinggal!"
Swat
Hong meloncat dengan cepat sekali dan sebentar saja dia sudah lenyap
meninggalkan Kwee Lun yang menjadi lemas. Pemuda ini menjatukan dirinya
duduk di atas tanah dan baru sekarang dia tidak dapat menahan
bertitiknya air matanya dan baru sekarang terasa olehnya betapa dia
kehilangan Soan Cu, betapa dunia terasa amat hampa dan sunyi.
Berkali-kali dia menarik napas panjang dan teringatlah dia kepada
gurunya, Lam-hai Seng-jin yang seperti orang tuanya sendiri. Dia harus
kembali ke Pulau Kura-kura di Lam-hai dan terbayang olehnya betapa
suhunya itu akan terheran mendengar semua pengalamannya dengan keluarga
Pulau Es!
Dengan
perasaan yang kosong dan sunyi, ingatan akan gurunya ini merupakan
setitik harapan kegembiraan hidupnya dan perlahan-lahan Kwee Lun
meninggalkan hutan itu untuk kembali kepada gurunya yang sudah amat lama
ditinggalkannya.
Sementara
itu, dengan mata masih merah oleh tangisnya, Han Swat Hong melanjutkan
perjalanan seorang diri dengan cepat untuk mengejar Swi Nio dan Toan KI.
Kalau dia dapat menyusul mereka dan minta kembali Pusaka Pulau Es dia
dapat langsung kembali ke Pulau Es dan selanjutnya...... entah, dia
sendiri tidak tahu apakah dia ada niat untuk kembali ke daratan besar.
Tidak, dia akan tinggal di pulau itu, di mana dia terlahir. Biarpun
pulau itu sudah kosong, dia akan tinggal di tempat kelahirannya itu
sampai mati! Bercucuran pula air matanya ketika dia berpikir sampai di
situ dan terkenang kepada suhengnya. Kalau saja ada suhengnya di
sisinya, tentu tidak akan begini merana hatinya.
Akan
tetapi, betapapun cepat Swat Hong melakukan pengejaran, tetap saja dia
tidak berhasil menyusul Swi Nio dan Toan Ki. Bahkan ketika dia tiba di
Puncak Awan Merah, tempat tinggal Tee-tok Siangkoan Houw, di tempat ini
dia hanya disambut oleh Ang-in Mo-ko Thio Sam, kakek yang menjadi murid
kepala Tee-tok itu yang menceritakan bahwa Tee-tok bersama puterinya
telah beberapa pekan pergi turun gunung dan bahwa selama itu tidak ada
tamu, juga tidak ada Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki seperti yang ditanyakan
oleh gadis itu.
Swat
Hong mengerutkan alisnya. Hatinya mulai bertanya-tanya. Celaka,
pikirnya, jangan-jangan dia telah salah memilih orang untuk dipercaya
menyelamatkan Pusaka Pulau Es! Jangan-jangan dua orang muda itu sengaja
melarikan pusaka-pusaka itu dan bersembunyi! Timbul kecurigaan yang
diikuti kemarahan di hatinya, dan berbareng dengan perasaan ini timbul
pula semangatnya yang tadinya amat menurun itu. Hidupnya masih perlu dan
ada gunanya, setidaknya dia harus menyelamatkan pusaka-pusaka itu agar
tidak terjatuh ke tangan orang lain! Perasaan marah dan khawatir ini
mendatangkan perasaan bahwa dia masih amat dibutuhkan untuk hidup terus.
Sambil
menahan kemarahannya, dia berkata kepada murid kepala Tee-tok itu,
"Andaikata ada datang Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki, harap minta kepada
mereka untuk menanti saya di sini. Dua bulan lagi saya akan kembali
menemui mereka."
Ang-in
Mo-ko Thio Sam yang sudah mengetahui kelihaian dara yang pernah
menggegerkan Awan Merah ini, mengangguk-angguk. Kemudian Swat Hong
meninggalkan Puncak Awan Merah untuk mengambil jalan kembali ke jurusan
kota raja untuk mencari kalau-kalau dua orang muda itu dapat berjumpa
dengannya di jalan. Namun semua perjalanannya sia-sia belaka. Dua bulan
kemudian, kembali dia tiba di Puncak Awan Merah dan untuk kedua kalinya
Ang-in Mo-ko (Iblis Tua Awan Merah) menyatakan penyesalannya bahwa dua
orang muda yang dicari itu belum juga datang, bahkan gurunya juga belum
pulang.
"Saya
malah merasa gelisah juga memikirkan Suhu." kata kakek itu. "Keadaan di
mana-mana sedang ribut dengan perang, akan tetapi Suhu pergi begitu
lamanya belum juga pulang."
Swat
Hong menahan kemarahannya. Tidak salah lagi, pikirnya. Bu Swi Nio dan
Liem Toan Ki tentu berlaku khianat, menginginkan pusaka-pusaka itu untuk
diri mereka sendiri. Aku harus mencari mereka dan selain merampas
kembali pusaka, juga akan kuhajar mereka! Dia berpamit lalu pergi lagi,
di sepanjang jalan dia memaki-maki Bu Swi Nio yang dipercaya.
"Dasar murid iblis betina itu," gerutunya. "Gurunya sudah mati, kini muridnya yang menyusahkan aku!"
Mulailah
Swat Hong mencari-cari kedua orang itu tanpa hasil. sampai dua tahun
dia berkelana mencari-cari kedua orang muda itu namun anehnya, tidak ada
seorang pun manusia yang tahu akan mereka. Akhirnya timbullah
pikirannya bahwa sangat boleh jadi Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki yang
tadinya adalah anak buah An Lu Shan yang kini membalik dan berkhianat
itu takut kepada pembalasan pemerintah baru dan telah lari mengungsi ke
barat, ke Secuan. Sangat boleh jadi! Pikiran ini membuat dia mengambil
keputusan dan berangkatlah dia ke Secuan. Samnbil mencari pusaka, dia
pun ingin membantu Kaisar yang kabarnya sedang menyusun kekuatan untuk
menyerang dan merebut kembali tahta kerajaan. Sebaliknya kalau dia
membantu, pikirnya. Selain untuk mengisi kekosongan hidupnya, juga
sekalian untuk mencari Bu Swi Nio an Liem Toan Ki, juga untuk
menghancurkan semua kaki tangan An Lu Shan termasuk Ouwyang Cin Cu, dan
juga mengingat bahwa ayahnya adalah seorang keturunan pangeran atau raja
muda, maka sebenarnya dia masih berdarah bangsawan dan masih ada
hubungan darah dengan keluarga kaisar sehingga sepatutnyalah kalau dia
membantu.
Sementara
itu, di ibu kota yang telah diduduki An Lu Shan, di dalam istana di
mana An Lu Shan mengangkat diri sendiri menjadi raja, terjadilah hal-hal
yang hebat! An Lu Shan sendiri masih melanjutkan wataknya yang kasar
dan mau menang sendiri. Satu di antara kesukaannya adalah wanita, maka
begitu dia berhasil, tak pernah berhenti setiap malam dia berganti
wanita mana saja yang dipilih dan ditunjuknya, tidak peduli wanita itu
masih gadis atau isteri orang lain sekalipun! pada suatu malam, dalam
keadaan mabok dan sedang gembiranya, An Lu Shan lupa diri dan dalam
keadaan setengah sadar dia memasuki kamar mantu perempuannya yang sudah
lama sekali dia rindukan secara diam-diam. Kalau sadar dan tidak mabok,
dia masih menahan hasrat hatinya. Akan tetapi malam itu, dalam keadaan
mabok, dia tidak mempedulikan apa-apa lagi dan memasuki kamar mantunya!
Tidak ada seorang pun manusia di dalam istana yang berani melarang, dan
pada saat itu, putera An Lu Shan sedang tidak berada di situ.
Dengan
penuh perasaan duka dan ketakutan, mantu yang muda dan cantik jelita
itu tidak kuasa menolak atau memberontak, sambil menangis dia terpaksa
membiarkan dirinya dipeluk dan diciumi mertua yang mabok itu. Dengan
suara lirih dan membujuk dia masih berusaha mengingatkan An Lu Shan,
namun seorang laki-laki yang tidak hanya mabok arak, melainkan juga
mabok cinta berahi, tidak mempedulikan apa pun. wanita hanya dapat
merintih dan menangis, diseling suara ketawa gembira dari An Lu Shan.
Ketika
pintu kamar itu dengan paksa dibuka dari luar oleh pangeran, An Lu Shan
telah tidur mendengkur kelelahan dengan muka merah karena banyak arak,
sedangkan isteri pangeran itu menangis terisak-isak, berlutut di atas
lantai. pangeran itu menjadi mata gelap, pedang dicabut dan sekali
meloncat dia telah menikam dada ayahnya sendiri.
"Crappp....!"
"Auhhh....
haiii.... kau.... kau.....?" An Lu Shan yang bertubuh kuat itu, biarpun
pedang telah menembus dadanya, masih dapat meloncat dan memcengkeram ke
arah puteranya. Akan tetapi pangeran yang sudah mata gelap itu
mengelak, kakinya menendang sehingga An Lu Shan terdorong jatuh, membuat
pedang itu masuk makin dalam. Dia berkelojotan dan tak bergerak lagi!
"Tangkap pembunuh.....!!" teriakan ini keluar dari mulut Shi Su Beng yang bersama dengan Han Bu Ong sudah lari ke dalam kamar.
Shi
Su Beng menggerakan pedangnya dan terdengar teriakan mengerikan ketika
pangeran itu roboh pula di dekat mayat ayahnya dalam keadaan tak
bernyawa pula karena lehernya hampir putus terbabat pedang Pangeran Shi
Su Beng!
Gegerlah
seluruh istana. rapat kilat diadakan dan Shi Su Beng yang dianggap
membela Kaisar itu mempergunakan kesempatan ini untuk merampas kedudukan
Kaisar! Dalam keadaan kacau balau itu, Shi Su Beng mengangkat diri
sendiri sebagai raja dan Han Bu Ong menjadi raja muda pembantunya yang
setia! Hanyalah mereka berdua saja yang tahu bahwa semua peristiwa itu
memang digerakan oleh mereka berdua! Shi Su Beng yang membangkitkan
berahi An Lu Shan terhadap mantu perempuannya, bahkan di dalam mabok,
Shi Su Beng yang membujuk supaya Kaisar baru itu memasuki kamar dengan
mengatakan bahwa di dalam kamar itu dia telah menyediakan seorang wanita
cantik mirip mantunya itu untuk An Lu Shan! Dan selagi An Lu Shan yang
mabok itu menggagahi mantunya sendiri, diam-diam Han Bu Ong menghubungi
pangeran dan membisikan bahwa ada penjahat memasuki kamarnya. Maka
terjadilah seperti apa yang telah direncanakan oleh mereka berdua, yaitu
kematian An Lu Shan di tangan puteranya sendiri dan kemudian kematian
pangeran di tangan Shi Su Beng.
Terjadilah
perubahan besar-besaran di kota raja, pergantian kekuasaan dan kembali
Han Bu Ong berhasil mengangkat dirinya sendiri seperti yang
dicita-citakan ibunya, yaitu menjadi seorng pangeran yang berkuasa, jauh
lebih berkuasa dari pada diwaktu ibunya masih hidup, yaitu menjadi
tangan kana penguasa baru yang menjadi sekutunya!
Akan
tetapi, jatuhnya An Lu Shan dan berpindahnya kekuasaan di tangan Shi Su
Beng, masih saja belum meredakan ketegangan-ketegangan di kota raja
akibat perebutan kekuasaan. Seperti biasa penguasa baru mengangkat
teman-temannya sendiri menduduki jabatan tinggi, melakukan
penggeseran-penggeseran sehingga menimbulkan dendam dari kawan-kawan
yang berbalik menjadi lawan.
Dalam
keadaan seperti itu, kacau rencana perebutan kekuasaan, kalau perlu
dengan cara halus maupun kasar, para pemberontak yang kini memegang
tampuk kerajaan itu menjadi lalai. Mereka terlalu memandang rendah
Kaisar yang telah melarikan diri ke Secuan, menganggap keluarga Kaisar
lama itu sudah jatuh benar-benar. Kesibukan untuk kepentingan ambisi
pribadi membuat mereka lengah dan kurang memperhatikan pertahanan
sehingga mereka tidak tahu betapa Kaisar dan keluarganya di Secuan telah
membentuk kekuatan baru untuk melakukan pembalasan!
Kaisar
Tua Hian Tiong, yang hancur lahir batinya karena bukan hanya mahkota
kerajaan dirampas oleh pemberontak An Lu Shan, akan tetapi terutama
sekali karena selirnya tercinta, Yang Kui Hui, harus mati digantung oleh
keputusannya sendiri, setibanya di Secuan, menjadi seorang kakek yang
patah semangat dan selalu tenggelam dalam duka cita. Dalam keadaan
mengungsi itu, di Secuan, keluarga kaisar dan para pengikutnya yang
masih setia, menerima keputusan Kaisar Tua untuk mengankat Kaisar baru,
yaitu putera mahkota yang bergelar Su Tiong. Pada waktu itu sisa pasukan
pemerintah yang telah kalah perang terhadap An Lu Shan, di bawah
pimpinan Panglima Besar Kok Cu I, telah menyusul pula ke Secuan.
Kaisar
Su Tiong lalu menghimpun kekuatan dari rakyatnya di daerah Secuan, dan
minta bantuan kepada negara-negara tetangga yang bersahabat. Maka
terkumpullah pasukan-pasukan campuran yang terdiri dari bermacam suku,
bahkan terdapat pula bangsa Turki, Tibet, dan kemudian sekali datang
pula bala bantuan dari pasukan Arab yang dikirim sebagai tanda
bersahabat oleh Kalipu. Pasukan-pasukan itu disusun menjadi barisan
besar dan diberi latihan-latihan berat dalam persiapan kaisar Su Tiong
untuk merampas kembali kerajaannya, Kok Cu I.
Tidak
ada hal penting terjadi selama perjalanan Swat Hong menuju ke Secuan.
Gadis yang dahulu berwatak periang dan jenaka itu, yang wajahnya selalu
berseri dan gembira, kini menjadi pendiam dan ada garis-garis dan
bayangan muram di wajahnya yang tetap cantik jelita walaupun tidak
pernah bersolek. Perantauan selama dua tahun mencari-cari pusakanya yang
hilang tanpa hasil itu membuat dia merasa berduka dan juga penasaran
sekali. Di dalam hatinya dia berjanji bahwa dia takkan pernah berhenti
mencari sebelum mendapatkan pusaka Pulau Es itu. Dalam perantauannya itu
dia mendengar pula tentang kematian An Lu Shan dan puteranya.
Ketika
dia tiba di Secuan, pada waktu itu Kaisar yang baru, yaitu Kaisar Si
Tiong, memang sedang menyusun tenaga di bawah pimpinan Panglima Besar
Kok Cu I sendiri. panglima Kok ini menyebar para pembantunya, yaitu
panglima-panglima bawahan di seluruh daerah Secuan untuk menerima dan
mendaftar para sukarelawan yang hendak masuk menjadi tentara.
Seorang
di antara bawahannya yang bertugas mengumpulkan bala bantuan bahkan
menghubungi orang-orang asing dari barat ini adalah Panglima Bouw Kiat.
Panglima inilah yang telah berjasa menghubungi orang-orang Arab sehingga
akhirnya Kaliphu (yang kuasa di Arab) sendiri mengirim pasukan bala
bantuan. Bouw Kiat berkedudukan di sebuah dusun daerah selatan dan di
sini dia menyusun pasukannya sambil menjamu pasukan dari Arab yang
sebagian kecil sebagai pasukan pelopor telah tiba di situ. panglima Kok
Cu I yang cerdik memisah-misahkan para pasukan asing yang membantunya
agar menjauhkan terjadinya bentrokan. Pasukan bantuan dari Turki berada
di utara, dari Tibet berada di selatan dan dari timur adalah pasukan
yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa.
Pada
suatu hari, Swat Hong tiba di daerah yang dikuasai oleh Panglima Bouw
Kiat inilah. Dara ini merasa heran ketika melihat ada banyak tentara
asing yang bertubuh jangkung, bersikap gagah dan berkulit colat gelap,
bermata tajam dan bercambang bauk berkeliaran di daerah itu. Di tengah
jalan, dia melihat seorang laki-laki asing yang tinggi besar dan gagah,
memegang gandewa dan anak panah dikelilingi prajurit-prajurit Han dan
Arab sambil tertawa-tawa. Laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang
gagah itu berkata dalam bahasa Han yang kaku, "Lihat burung-burung itu!
Aku akan menurunkannya sekaligus tiga ekor. Yang mana kalian pilih?"
Swat
Hong tertarik, berhenti dan memandang ke atas. Diam-diam dia terkejut
dan menganggap orang itu sombong. Mana bisa menjatuhkan burung-burung
yang terbang begitu tinggi sekaligus tiga ekor kalau orang ini bukan
seorang ahli panah yang sakti?
"Tiga ekor dari depan!" terdengar teriakan.
"Tidak, yang paling belakang adalah paling sukar!" kata orang lain.
Perwira bangsa Arab itu tersenyum dan tampaklah giginya yang rata dan putih berkilauan, kumisnya bergerak-gerak.
"Biar kujatuhkan dua terdepan dan burung terakhir!"
Kelompok
burung yang terbang tinggi sudah tiba tepat di atas mereka. Perwira itu
memasang tiga batang anak panah pada gendewanya, lalu menarik tali
gendewa . Terdengar suara menjepret dan meluncurlah tiga batang anak
panah seperti tiga sinar berkilauan ke atas. Dari bawah tidak kelihatan
bagaimana burung-burung itu terkena anak panah, namun jelas tampak
betapa dua ekor burung terdepan dan seekor paling belakang tiba-tiba
runtuh ke bawah. Ketika tiga ekor burung itu jatuh ke tanah dan semua
orang melihat bahwa dada burung itu tertusuk anak panah, mereka bersorak
dan bertepuk tangan memuji.
"Boleh
juga dia," pikir Swat Hong sungguhpun dia maklum bahwa kepandaiannya
memanah seperti itu hanyalah berguna untuk pertempuran jarak jauh dan
sama sekali tidak ada artinya untuk pertandingan berdepan. Tentu kalah
cepat oleh am-gi (senjata rahasia) seperti jarum, paku, piauw dan
lain-lain
"Hai,
Nona! Tepuk tangan untuk kelihaian Perwira Ahmed!" Tiba-tiba ada
seorang laki-laki menegur Swat Hong. Laki-laki ini adalah seorang
perajurit Han dan sambil menyeringai dia bertepuk tangan dan mendesak
Swat Hong untuk ikut bertepuk tangan.
Akan
tetapi Swat Hong tidak mau melayaninya, membuang muka dan melanjutkan
langkahnya. Akan tetapi laki-laki itu melompat dan menghadang didepanya
sambil bertolak pinggang.
"Eitt.....
nanti dulu! Berani kau menghina Perwira Ahmed? Dia bukan hanya lihai
dan menembak tepat, juga banyak wanita tergila-gila kepadanya! Dan kau
berani memandang rendah?"
Swat
Hong memandang dengan mata melotot lalu mendengus, "Pergilah!" sambil
melangkah terus. "Dan kau laki-laki kurang ajar!" Swat Hong berkata dan
sekali dia menggerakan lengannya yang terpegang, dia berbalik sudah
memegang pergelangan tangan laki-laki itu dan begitu dia membetot,
laki-laki itu jatuh tersungkur mencium tanah!
"Aihhh, berani kau memukulku?" Perajurit itu marah sekali dan cepat melompat dan menubruk.
"Plakkk! Augghhh....!" Perajurit itu terlempar dan mengaduh-aduh, mukanya membengkak.
Melihat ini, lima orang perajurit kawan orang pertama itu menjadi marah dan menerjang maju. "Tangkap, dia tentu mata-mata!"
Swat Hong merasa muak sekali dan juga marah. Melihat lima orang itu menerjang dan hendak berlumba.
"Tentu
saja. Akan tetapi, perkenankanlah aku memuaskan keinginan hatiku yang
sudah terpendam bertahun-tahun untuk menyaksikan kelihaian seorang
pendekar wanita dari timur, Nona." Perwira Ahmed memperlihatkan
gendewanya. "Dapatkah Nona mainkan gendewa dan anak panah?"
Swat Hong maklum bahwa dia hendak diuji, dan siapa tahu, mungkin perwira ini termasuk seorang di antara para pengujinya.
"Senjata ini kurang praktis untuk pertandingan jarak dekat dan terang-terangan."
Perwira
Ahmed mengerutkan alisnya, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum manis.
"Benarkah? Nona, dengan gendewa ini aku dapat merobohkan musuh dalam
jarak seratus langkah, biarpun musuh itu menggunakan senjata apapun
untuk melindungi dirinya. Aku dapat melepaskan anak panah terus-menerus
dan bertubi-tubi sampai puluhan batang!"
"Hemm, mungkin berhasil merobohkan segala burung dan manusia yang bodoh saja."
"Wah....!"
Ahmed membelalakan matanya. "Apakan di dunia ini ada orang yang sanggup
menyelamatkan diri dalam jarak seratus langkah dari gendewaku?"
"Boleh kau coba. Aku bersedia."
"Eiiiihhh, jangan, Nona! Aku akan menyesal selama hidupku kalau sampai melukaimu, apalagi membunuhmu!"
"Tidak perlu khawatir, aku malah akan menghadapi hujan anak panahmu itu dengan tangan kosong!"
"Mustahil!"
Orang
Han yang pertama kali dirobohkan Swat Hong, kini mendekat dan karena
dia maklum akan kelihaian dara itu, kini dia hendak mencari muka dan
berkata, "Saudara Ahmed, jangan memandang rendah seorang lihiap. Dia
pasti akan sanggup memenuhi kata-katanya."
Atas
dorongan dan desakan banyak orang, akhirnya Ahmed mau juga mencoba
kepandaian wanita cantik jelita itu. Dengan tenang Swat Hong melangkah
sambil menghitung sampai seratus, langkah pendek-pendek saja, kemudian
membalik dan menghadapi Ahmed dengan mata tak berkedip.
"Wah,
terlalu dekat....! Terlalu dekat sekali! langkahmu begitu
pendek-pendek, Nona. Ini hanyalah lima puluh langkah, tidak ada
seratus!" Ahmed berteriak sambil melangkah mundur sampai lima puluh
langkah. Diam-diam Swat Hong memuji kejujuran dan niat baik di hati
perwira asing itu.
"Terserah kepadamu. Nah, aku sudah siap." katanya.
Ahmed ragu-ragu, mukanya agak pucat. "Tapi...... tapi, setidaknya kau harus membawa pedang untuk menangkis atau sebuah perisai."
"Tidak perlu. Seranglah!"
Didesak
oleh orang banyak, dan memang di dalam hatinya dia juga merasa
penasaran sekali, Ahmed lalu memasang lima batang anak panah di
gendewanya, dan masih ada puluhan batang di tempat anak panah yang siap
untuk disambar tangan kanan menyusul rombongan anak panah terdahulu.
"Nona,
siap dan hati-hatilah!" teriaknya dan terdengar suara menjepret ketika
tampak lima sinar berturut-turut meluncur ke arah Swat Hong, diikuti
oleh puluhan pasang mata yang tidak berkedip dan dengan hati penuh
ketegangan.
Swat
Hong melihat betapa lima batang anak panah itu meluncur disekeliling
tubuhnya. Tahulah dia bahwa orang itu memang amat hebat ilmu panahnya
akan tetapi juga amat lembut hatinya terhadap wanita sehingga sengaja
membuat anak panah rombongan pertama menyeleweng. Dia diam saja tidak
bergerak membiarkan lima batang anak panah itu lewat, diikuti seruan
menahan napas dari semua orang yang sudah merasa ngeri melihat nona itu
sama sekali tidak mengelak!
Ahmed
membelalakan matanya. hampir dia tidak percaya. Anak panahnya itu hanya
sedikit saja selisihnya dari kulit tubuh wanita itu, namun wanita itu
dengan tenang saja berdiri diam tidak bergerak!
"Tidak
perlu sungkan, bidik yang tepat!" Swat Hong berkata setelah dia merasa
yakin bahwa luncuran anak panah itu dapat diikuti dengan pandang matanya
sehingga mudah bagi dia untuk menjaga diri.
Lima
batang lagi anak panah sudah berada di gendewa Ahmed dengan cepat bukan
main dan kembali terdengar suara menjepret ketika lima batang anak
panah itu menyambar seperti kilat ke arah Swat Hong. Dara itu melihat
betapa lima batang ini menyambar ke arah kakinya semua, maka dia
mengerti bahwa Ahmed masih saja khawatir kalau-kalau mencelakainya, maka
dia meloncat dan sekaligus menendang ke bawah sehingga dia bukan hanya
mengelak, bahkan berhasil menendang runtuh semua anak panah itu!
Ahmed
mengeluarkan seruan kagum dan kini dia pun tidak ragu-ragu lagi akan
kehebatan pendekar wanita itu. Anak panahnya meluncur bertubi-tubi
seperti hujan derasnya, susul menyusul ke arah tubuh Swat Hong dan dara
ini pun memperlihatkan kepandaiannya. Sambil mengelak berloncatan ke
sana-sini, tangannya menyambar dan dua batang anak panah ditangkapnya
dengan kedua tangannya, lalu dia menggunakan dua batang anak panah itu
untuk menangkis semua anak panah yang datang menyambar, kemudian dengan
cepat dan tak terduga-duga dia menyambitkan sebatang anak panah yang
meluncur cepat ke arah Ahmed.
“Auhhh....!"
Ahmed berteriak kaget dan gendewanya terlepas dari tangan kirinya
karena tangan kirinya itu kena sambar sebatang anak panah. Gendewanya
terlepas akan tetapi tangan kirinya tidak terluka karena anak panah yang
menyambar tangannya itu dilepas dengan cara dibalik sehingga bukan
ujung yang runcing yang mengenai tangannya, melainkan ujung belakang
yang bulu-bulunya telah dibuang.
Ahmed
segera lari menghampiri Swat Hong, memandang penuh kagum, kemudian dia
membungkuk sampai dalam sambil berkata, "Duhai....., Nona adalah
setangkai bunga di tengah padang pasir! Satu di antara puluhan ribu
wanita belum tentu ada yang seperti Nona...... saya merasa kagum dan
hormat sekali.......!"
Wajah
Swat Hong menjadi merah. Bukan main hebatnya pujian yang keluar dari
mulut pria ini, pujian yang aneh dan istimewa. Akan tetapi sebelum dia
menjawab terdengar kaki kuda berderap dan muncullah seorang panglima
sebangsa Ahmed naik kuda. Usianya tentu sudah empat puluhan tahun,
tinggi besar dan berwibawa, gagah dan juga tampan, akan tetapi begitu
bertemu pandang, Swat Hong merasa tidak suka kepada panglima ini karena
pandang mata itu seolah-olah hendak menelanjangi dan sinar mata orang
itu seperti dapat menembus pakaiannya!
Ahmed
cepat berdiri dengan tegak memberi hormat kepada atasannya. Panglima
itu lalu bertanya kepada Ahmed dalam bahasa mereka sendiri yang tidak
dimengerti oleh Swat Hong, dijawab pula oleh Ahmed. Panglima itu
mengangguk-angguk, bicara lagi lalu memutar kudanya pergi dari tempat
itu setelah melempar kerling penuh gairah dan kagum ke arah Swat Hong.
"Nona,
Komandanku tadi bertanya tentang Nona dan menyuruh Nona langsung saja
menghadap Bouw-ciangkun untuk melapor. Tentu saja bantuan tenaga seorang
yang berkepandaian tinggi seperti Nona amat dihargai dan dibutuhkan.
Mari Nona, saya antar."
"Kau baik sekali, terima kasih," jawab Swat Hong yang merasa memperoleh seorang sahabat dalam diri perwira yang simpatik ini.
"Nama saya Ahmed, Nona."
Swat Hong tersenyum, mengerti bahwa itulah cara yang sopan dari sahabat barunya untuk menanyakan namanya.
"Dan namaku Han Swat Hong."
Mereka
memasuki sebuah bangunan besar dan di ruangan dalam, Ahmed membawa Swat
Hong ke dalam sebuah kamar di mana duduk seorang tua berpakaian
panglima perang. Orang ini berusia lima puluh tahun lebih, mukanya bulat
dan matanya sipit menjadi agak lebar ketika dia memandang Swat Hong
yang datang bersama Ahmed.
Setelah memberi hormat, Ahmed berkata "Nona Han Swat Hong ini ingin menjadi sukarelawati."
"Hemm,
aku sudah mendengar dari komandanmu. Kau boleh pergi meninggalkan Nona
ini di sini," jawab Panglima Bouw dengan sikap angkuh. Menyaksikan
sikapnya ini saja Swat Hong sudah merasa kurang senang.
Ahmed
memberi hormat, melirik kepada Swat Hong lalu melangkah keluar dengan
tegap. Setelah derap kaki Ahmed tidak terdengar lagi, kamar itu menjadi
sunyi sekali biarpun di situ, selain Bouw-ciangkun dan Swat Hong, masih
terdapat empat orang pengawal yang berdiri di sudut kamar seperti arca.
"Silahkan duduk, Nona." Suara Bouw-ciangkun berubah, tidak singkat dan keras seperti tadi, melainkan lunak dan manis.
Hal
ini membuat Swat Hong makin tidak senang lagi, akan tetapi karena
kedatangannya hendak membantu kerajaan melawan pemberontak, bukan hendak
berhubungan dengan orang ini, dia tidak banyak cakap, lalu duduk.
"Kami
telah mendengar akan kelihaian Nona yang mendemonstrasikan kepandaian
di luar tadi. Kebetulan sekali kedatangan Nona, karena Kaisar memang
membutuhkan seorang pengawal wanita untuk menjaga keselamatan keluarga
Kaisar. Oleh karena itu, harap Nona menanti di dalam pesanggrahan, kalau
kesempatan sudah terbuka, kami akan mengantarkan Nona untuk menghadap
Kaisar sendiri."
Girang
juga hati Swat Hong karena dia lebih senang untuk bekerja dekat dengan
keluarga Kaisar daripada bekerja sama dengan para prajurit Kaisar itu.
Pula, memang karena merasa bahwa ayahnya adalah masih sedarah dengan
keluarga Kaisar maka dia berkeinginan membantu keluarga Kaisar, maka
pekerjaan menjadi pengawal untuk melindungi keselamatan keluarga Kaisar
amatlah cocok baginya.
"Baik, saya akan menanti," jawabnya.
Setelah
mencatatkan nama Swat Hong, Bouw-ciangkun sendiri lalu mengantarkan
dara itu pergi ke pesanggrahan, yaitu sebuah bangunan yang terpencil,
berada di pinggir gunung, bangunan yang bentuknya indah dan mungil.
Ketika menuju ke bangunan ini, Swat Hong melihat beberapa orang penjaga
yang jumlahnya hanya belasan orang akan tetapi senjata mereka aneh,
yaitu sebatang pedang yang bengkak-bengkok seperti ular dan memegang
perisai yang bentuknya seperti batok kura-kura.
"Mereka
ini adalah pasukan istimewa, pasukan pengawalku." kata Bouw-ciangkun
menjelaskan dengan nada suara bangga ketika Swat Hong memandang mereka
itu yang berdiri tegak dan memberi hormat kepada Bouw-ciangkun dengan
gagah. Setelah mereka memasuki pesanggrahan, Bouw-ciangkun melanjutkan,
"Mereka terdiri dari orang-orang pilihan, bermacam suku bangsa di barat
dan utara."
Akan
tetapi Swat Hong sudah tidak memperhatikan lagi cerita tentang pasukan
pengawal tadi, karena dia sedang memperhatikan keadaan pesanggrahan yang
cukup mewah itu.
"Rumah ini kosong?" tanyanya.
"Memang
di kosongkan dan disediakan untuk tamu agung. Karena sekarang tidak ada
tamu, maka Nona boleh beristirahat di sini barang sehari dua hari untuk
menanti kesempatan Kaisar dapat menerima Nona menghadap. saya akan
mengirim dua orang pelayan wanita untuk melayani segala keperluan Nona,
dan sekarang juga saya akan berusaha melaporkan kedatangan Nona kepada
kaisar."
Swat
Hong hanya mengangguk dan pembesar itu pergi meninggalkannya. Ketika
Swat Hong sedang memeriksa keadaan pesangrahan itu yang ternyata mewah
dan lengkap dengan kamar tidur yang indah, masuklah dua orang pelayan
wanita membawa perlengkapan dan bahan masakan.
"Kami menerima perintah untuk melayani Nona di sini," kata mereka dan segera mereka sibuk di dapur.
Swat
Hong merasa tidak enak hatinya. Dia melamar untuk menjadi pejuang
membantu Kaisar, akan tetapi dia diterima seperti seorang tamu agung,
ditempatkan di rumah mungil dan dilayani dengan istimewa seperti
dimanja! Apakah karena dia wanita? Ataukah karena dia memperlihatkan
kepandaiannya tadi dan dipilih menjadi pengawal keluarga Kaisar? Dia
ingin melihat-lihat keadaan di luar. Akan tetapi baru saja dia
meninggalkan pondok itu sejauh belasan langkah, tiba-tiba muncullah tiga
orang mengawal istimewa yang bersenjata pedang berbentuk ular dan
perisai kura-kura tadi.
"Harap
Nona jangan meninggalkan pondok . Kami diperintah untuk menjaga
pesanggrahan dan kalau Nona memaksa pergi kami harus mengawal Nona."
Swat
Hong mengerutkan alisnya. Akan tetapi karena maksud itu baik, biarpun
dianggapnya tidak ada gunanya, aneh dan menyebalkan, dia tidak menjawab
melainkan kembali memasuki pondok, terus ke kamar dan merebahkan diri di
atas pembaringan. Dia merasa seperti seorang asing di situ. Tiba-tiba
dia tersenyum teringat kepada Ahmed. Untung ada orang yang simpatik itu.
Setidaknya, dia yakin bahwa dia mempunyai seorang sahabat yang boleh
dipercaya.
Akan
tetapi baru saja dia beristirahat di atas tempat tidur yang lunak itu,
terdengar suara hiruk pikuk di luar. Swat Hong yang memang selalu merasa
tidak enak itu meloncat dan berlari ke luar. Kagetlah dia ketika
melihat bahwa yang datang adalah Bouw-ciangkun dan Panglima Arab tinggi
besar yang menjadi atasan Ahmed tadi, diiringkan oleh tujuh orang
pelayan pria yang membawa baki tertutup.
Begitu
berhadapan, Bouw-ciangkun menjura dengan hormat sambil berkata,
"Kiong-hi (selamat), Nona Han. Kami telah menghadap Kaisar dan karena
Beliau masih sibuk, mulai besok lusa Nona boleh menghadap sendiri.
Sementara itu, Beliau mengirim kami berdua untuk menemani Nona menerima
hidangan yang dikirim dari dapur keluarga Kaisar!"
Hati
Swat Hong tidak senang dan curiga, akan tetapi karena nama Kaisar
disebut-sebut, dia tidak berani menolak. Dia tahu bahwa penolakan hadiah
dari Kaisar dapat diartikan penghinaan dan pemberontakan! Banyak dia
mengerti tentang peraturan kerajaan, karena selain dia sendiri adalah
puteri raja di Pulau Es juga dia banyak membaca kitab-kitab ayahnya
tentang penghidupan keluarga Raja di daratan besar. Terpaksa dia
membalas dengan menjura penuh hormat, kemudian bersama dua orang
panglima itu dia memasuki pondok dan duduk menghadapi meja besar bersama
mereka berdua.
Setelah
hidangan yang lengkap dan masih panas diatur di atas meja dan para
pelayan mudur berdiri di sudut, dua orang pelayan wanita muncul melayani
mereka makan minum. Bouw-ciangkun memperkenalkan panglima itu sebagai
panglima yang menjadi komandan dari pasukan Arab yang membantu.
"Kami
mengandalkan bantuan sahabat-sahabat dari barat ini untuk merampas
kembali kota raja." antara lain Bouw-ciangkun berkata, akan tetapi
urusan itu hanya didengarkan sepintas lalu saja oleh Swat Hong yang
menghendaki agar pertemuan ini cepat selesai.
Dengan
tangannya sendiri Bouw-ciangkun lalu mengisi cawan-cawan kosong di
depan Swat Hong, Panglima Arab, dan dia sendiri, lalu mengangkat cawan
arak sambil berkata, "mari kita mulai makan minum bersama dengan
mengucapkan terima kasih kepada Sri Baginda dengan mengangkat cawan
penghormatan untuk kejayaan Sri Baginda Kaisar!"
Swat
Hong mengangkat cawan dan minum bersama mereka, kemudian Bouw-ciangkun
mempersilahkan Swat Hong dan Panglima Arab itu untuk mulai makan. Sambil
makan, Bouw-ciangkun dengan gembira menceritakan keadaan mereka,
kekuatan yang sedang mereka susun, juga menceritakan kekacauan di kota
raja sebagai akibat perebutan kekuasaan di antara para peberontak
sendiri. Betapa An Lu Shan dan puteranya tewas dan sekarang Shi Su Beng
yang berkuasa juga menghadapi bersaingan dari bekas kawan-kawannya
sendiri.
"Ha-ha-ha, seperti sekumpulan anjing memperebutkan tulang!" Dia menutup ceritanya sambil tertawa-tawa.
Panglima
Arab itu yang diperkenalkan tadi bernama Hussin bin Siddik,
mengeluarkan sebuah guci yang bentuknya seperti tanduk kerbau, membuka
tutupnya dan mencium bau harum yang aneh. Sambil tertawa dia
mengacungkan guci tanduk kerbau itu sambil berkata,
"Nona
adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi dan dipilih untuk menjadi
pengawal Sri Baginda. karena itu sudah sepatutnya menerima penghormatan
kami dengan anggur padang pasir ini! Marilah kita minum tiga cawan untuk
pertama, demi keselamatan Sri Baginda sekeluarga!" Dia mengisi cawan
arak di depan Swat Hong dengan minum dari guci tanduk kerbau itu, tidak
banyak, hanya setengah cawan kurang.
Karena
dia diajak minum demi keselamatan keluarga kaisar, tentu saja Swat Hong
tidak menolak, apalagi karena dia melihar betapa Bouw-ciangkun dan
Panglima Hussin sendiri juga minum. Diminumnya cawannya dan ternyata
anggur itu enak dan tidak begitu keras, manis dan harum sungguhpun agak
aneh harumnya.
"Secawan lagi kita minum demi persahabatan kita!"
Kembali Swat Hong minum dari cawan araknya yang sudah diisi lagi setengahnya.
"Dan cawan terakhir kita minum untuk kemenangan perjuangan kita!"
Sekali
ini cawan itu dipenuhi dan karena anggur itu sama sekali tidak
mendatangkan pengaruh apa-apa, Swat Hong tidak khawatir dan minum anggur
sampai habis. panglima Hussin dan Bouw-ciangkun tertawa girang dan
melanjutkan makan minum sepuas-puasnya.
Setelah
kenyang, kedua orang panglima itu berpamit dan sambil tertawa
Bouw-ciangkun berkata, "Harap Nona jangan pergi meninggalkan
pesanggrahan ini karena siapa tahu tiba-tiba saja Sri Baginda Kaisar
telah siap menerima kunjungan Nona. hal itu bisa saja terjadi di siang
hari atau di malam hari. Sebaiknya kalau Nona mengaso saja dalam
pesanggrahan dan sewaktu-waktu, kalau Sri Baginda menghendaki, aku
sendiri atau Panglima Hussin yang akan datang menjemput Nona."
Swat
Hong mengangguk dan setelah dua orang panglima itu pergi dan meja
dibersihkan lalu ditinggal pergi oleh para pelayan, dia lalu minta
kepada wanita pelayan untuk menyediakan air. Setelah mandi dan tukar
pakaian, Swat Hong kembali beristirahat di dalam kamar yang indah itu.
Berada di dalam kamar ini teringatlah dia akan kamarnya sendiri di Pulau
Es, kamar yang lebih indah dan lebih menyenangkan lagi.
Dia
menutup mulut dengan tangan dan menguap..... goyang-goyang kepalanya.
Mengapa dia begini mengantuk? Dia menguap lagi. Bukan main! Rasa kantuk
sukar dipertahankannya lagi. Aneh sekali! Hari baru menjelang senja,
belum malam. Pula habis makan dan mandi, mana bisa mengantuk?
Kembali
dia menguap dan Swat hong meloncat bangun, duduk sambil memegangi kedua
pelipisnya. Ini tidak wajar, pikirnya! Rasa kantuk yang amat hebat dan
terbayanglah wajah Panglima Hussin yang mengajaknya minum sampai tiga
kali, kemudian terbayanglah dan terdengar lagi kata-kata Bouw-ciangkun
yang menyatakan bahwa kalau Kaisar menghendaki, sewaktu-waktu dia atau
Panglima Hussin akan datang menjenguknya. Semua ini dilakukan sambil
tertawa-tawa dan seakan-akan ada "main mata" di antara kedua orang
panglima itu!
"Celaka....!"
dia mengeluh, ingin dia turun membasahi muka denan air, akan tetapi dia
tidak kuat, baru saja dia turun, dia sudah terguling ke atas lantai
karena kepalanya pening dan Swat Hong sudah tidur di atas lantai dengan
pulasnya!
Tak
lama kemudian, setelah matahari mulai condong ke barat, sesosok bayangn
seorang pemuda berkelebat dan mengintai pesangrahan itu dari balik
batu-batu gunung. pemuda ini tinggi besar, gagah dan tampan, dengan
sebatang pedang di punggungnya, berpakaian sederhana dan matanya
bersinar-sinar penuh kemarahan.
Pemuda
ini adalah Kwee Lun! Bagaimana dia dapat datang di tempat jauh itu?
Seperti telah dituturkan di bagian depan, dua tahun yang lalu pemuda ini
berpisah dari Swat Hong dan langsung dia pulang ke Pulau Kura-kura di
Lam-hai. Tepat seperti dugaannya semula, gurunya, Lam-hai Seng-jin,
terheran-heran dan kagum mendengar penuturan muridnya terutama
pengalaman muridnya yang bertemu dan bersahabat dengan penghuni Pulau
Es!
Setelah
muridnya selesai menceritakan semua pengalamannya, juga tentang
kematian Ouw Soan Cu, gadis Pulau Neraka yang dicintainya dengan suara
berduka, kakek itu berkata, "Pengalamanmu sudah cukup, muridku. Sekarang
biarlah aku memperdalam ilmumu dan menerima sisa-sisa dari semua
kepandaianku. Setelah itu, berangkatlah kau lagi ke daratan besar.
Negara sedang kacau balau dilanda oleh para pemberontak. Tenagamu
dibutuhkan. Kabarnya kaisar mengungsi ke Secuan, maka sebaiknya kalau
kau kelak menyusul ke sana untuk membantu kaisar, jangan membiarkan
dirimu terbujuk oleh kaum pemberontak."
Demikianlah,
Kwee Lun berlatih silat untuk yang terakhir dari gurunya, terutama
sekali memperhebat ilmu pedang yang dimainkan bersama dengan kipas di
tangan kirinya. Setahun kemudian berangkatlah dia meninggalkan Pulau
Kura-kura untuk kedua kalinya, mendarat di daratan besar dan langsung
dia pergi ke barat, ke Secuan! Kebetulan sekali dia tiba pada hari itu
juga, berbareng dengan datangnya Swat Hong! Hanya bedanya, kalau Swat
Hong datang dari timur, adalah Kwee Lun datang dari selatan, akan tetapi
mereka memasuki daerah yang sama yaitu yang dikuasai oleh
Bouw-ciangkun. Kwee Lun terus melaporkan diri dan langsung diterima
sebagai sukarelawan. Dia tidak tahu bahwa pada siang hari itu juga Swat
Hong datang dan bertemu dengan perwira Ahmed dari pasukan Arab yang
diperbantukan.
Tanpa
disengaja, ketika Kwee Lun berjalan-jalan dan bertemu dengan para
perajurit Han, bertanya-tanya tentang keadaan, dia mendengar kelakar
seorang di antara para prajurit itu.
"Wah,
enak juga menjadi panglima tentara asing! Selain jaminannya lebih
hebat, juga hiburannya lebih luar biasa lagi. bayangkan saja, dara
perkasa yang menghebohkan siang tadi, kabarnya akan diserahkan sebagai
hadiah kepada Panglima Hussin!"
"Ah, masa?"
"Hem, jelita sekali dia!"
"Dan masih perawan hijau lagi!"
"Akan tetapi ilmu silatnya hebat! jangan-jangan panglima itu akan mampus olehnya!"
"Mudah-mudahan begitu!"
"Tapi
panglima itu terkenal pandai, dan lihat saja Perwira Ahmed itu,
dimana-mana para wanita tergila-gila kepadanya. Agaknya mereka memiliki
jimat untuk menundukkan hati wanita."
Mendengar
ini, Kwee Lun mengerutkan alisnya. Tak disangkanya, di tempat seperti
ini dia mendengarkan peristiwa yang sepantasnya terjadi di dunia
penjahat. Seorang dara dihadiahkan begitu saja! Mendengar bahwa dara itu
lihai ilmu silatnya, dia tertarik.
"Kalau wanita itu lihai, mana bisa dia dihadiahkan begitu saja?" dia ikut bicara sambil tersenyum.
"Aha,
kau tidak tahu, kawan. Banyak jalan yang dapat dilakukan oleh
Bouw-ciangkun. Dan kabarnya, tidak pernah ada wanita yang dapat melawan
apabila dikehendaki oleh Panglima Hussin itu. Apalagi kalau
Bouw-ciangkun sudah mengijinkannya, dan dalam hal ini, agaknya
Bouw-ciangkun selalu berusaha mengambil hati orang-orang berkulit hitam
itu!"
Kwee
Lun makin tak senang hatinya. Dia mendengarkan dengan teliti dan
akhirnya memperoleh keterangan bahwa dara yang hendak dihadiahkan itu
kabarnya telah dikurung di dalam pesanggerahan, yaitu rumah kecil
terpencil yang oleh para perajurit diberi nama tempat penjagalan
perawan!
"Hem,
semenjak kecil suhu menanamkan sifat pendekar, membela keadilan dan
kebenaran kepadaku." Kwee Lun berpikir, "Biarpun sekarang aku menjadi
seorang pejuang, tetap aku harus menentang kejahatan, dari siapapun juga
datangnya!"
Dengan
pikiran ini, Kwee Lun mulai melakukan penyelidikan dan pada sore hari
itu dia sudah mendekati rumah pesanggerahan itu dan menyelinap untuk
menyelidiki dari jarak dekat, kalau mungkin memasuki rumah itu dan
menolong si gadis yang hendak dijadikan korban. Melihat betapa di empat
penjuru terdapat empat orang penjaga yang selalu melakukan perondaan
mengelilingi pesanggerahan itu, Kwee Lun bersembunyi dan mengintai.
Penjaga-penjaga yang memegang pedang ular dan perisai kura-kura itu
kelihatanya bukan penjaga-penjaga sembarangan. Dia harus menanti sampai
malam tiba, barulah ada harapan baginya untuk dapat memasuki
pesanggrahan itu tanpa diketahui orang. Asal saja dia tidak terlambat,
pikirnya.
Akan
tetapi, tiba-tiba dia melihat seorang perwira Arab yang berkumis rapi
datang menghampiri pesanggerahan itu. Empat orang penjaga menghadangnya,
mereka bercakap-cakap dan perwira itu dibiarkan oleh para penjaga
memasuki pesanggrahan. Hemm, ini agaknya pembesar yang di "hadiahi"
gadis itu, pikir Kwee Lun dengan marah sekali. Kalau dia harus menanti
lebih lama lagi, mungkin dia akan terlambat.
Kebetulan
sekali terdapat seorang penjaga meronda di dekat tempat dia
bersembunyi, "Keparat busuk!" Kwee Lun berseru marah dan dia meloncat
dari tempat sembunyinya.
Penjaga itu terkejut cepat menarik perisai kura-kura di depan dadanya dan mengangkat pedangnya, siap untuk menyerang.
"Haaaaiiiiittttt!!!" Tubuh Kwee Lun yang meloncat ke atas itu langsung menendang dengan tumit kaki kanan di depan.
"Bresss....!!"
Perisai
kura-kura itu ternyata kuat menahan tendangan Kwee Lun, akan tetapi
pemegangnya terdorong dan terjengkang bergulingan. Mendengar suara
berisik ini, berdatanganlah para penjaga lain dan dalam waktu sebentar
saja Kwee Lun terpaksa harus mencabut pedang dan kipasnya, mengamuk
dikepung oleh belasan orang penjaga yang bersenjata pedang ular dan
perisai kukra-kura itu.
Sementara
itu, perwira berkumis yang bukan lain adalah Perwira Ahmed tadi,
setelah berhasil meyakinkan para penjaga bahwa dia datang untuk
memeriksa apakah dara itu masih berada di pesanggrahan, terkejut
mendengar ribut-ribut dan ketika dia menengok, dia melihat seorang
pemuda perkasa sedang dikepung para penjaga. Perwira yang cerdik ini
menduga bahwa tentu pemuda itu datang untuk menolong Swat Hong, maka dia
bergegas memasuki rumah itu. Dua orang pelayan wanita dibentaknya untuk
minggir.
"Aku harus menjaga dia, ada orang jahat datang!
Didorongnya
dau pintu kamar dan cepat ditutupnya dari dalam. Melihat Swat Hong
rebah terlentang dan tidur pulas di atas lantai, Ahmed cepat berlutut
dan mengeluarkan sebuah botol hijau dari sakunya.
"Huh,
benar jahat! Mengorbankan siapa saja tanpa pilih bulu!" gerutunya
sambil membuka tutup botol hijau yang cepat dia tempelkan di depan
hidung Swat Hong.
Tak lama kemudian dara itu terbangun, mengeluh dan merintih, "Aduhh....pening kepalaku....."
"Sttt..... Nona Swat Hong...... sadarlah...... aku datang menolongmu......" Ahmed mengguncang-guncang dara itu.
Swat
Hong membuka matanya dan terkejut melihat Ahmed berlutut di dekatnya.
"Lekas kau cium ini....." Ahmed kembali mendekatkan botol di depan
hidung Swat Hong.
Gadis
itu memang sudah mempunyai kesan baik terhadap diri Ahmed, maka dia
tidak membantah dan disedotnya botol itu. Tercium bau keras dan dia
tersedak lalu berbangkis.
“Apa.... apa yang terjadi......?" Swat Hong bertanya, kepalanya masih agak pening.
"Lekas
kau telan ini...." Ahmed memberikan sebutir pel hitam. "Engkau telah
terkena racun Hashish yang dicampurkan di dalam anggur. Ini obat
penawarnya."
Teringatlah
Swat Hong dan tahulah dia mengapa dia tertidur di lantai. Tanpa
bertanya lagi dia lalu menelan pel kecil itu dan benar saja, peningnya
hilang dan pikirannya terang kembali.
"Nona,
aku mendengar bahwa siang tadi kau dijamu oleh mereka. Tahulah aku
bahwa kau tentu diberi anggur bercampur hashish. Lekas kau keluar, di
luar sedang terjadi pertempuran. Seorang pemuda agaknya datang hendak
menolongmu, dia bersenjata pedang dan kipas...."
"Kwee Lun.....!" Swat Hong berseru kaget, menyambar pedangnya di atas meja dan hendak lari keluar.
No comments:
Post a Comment